48. Sandera

7.2K 905 152
                                    

Lelaki itu terpaku di depan pintu rumahnya, menatap satu pasang sepatu berwarna hitam. Setelahnya lelaki itu menggeleng seraya mengangkat bahunya acuh.

Cklek.

Hal pertama yang ia lihat saat membuka pintu rumah adalah, sang ayah yang tengah terduduk dengan tatapan lurus kedepan. Seperti biasa, tatapan itu terlihat kosong.

"Ayah.."

Lelaki itu---Gavin, menghampiri sang ayah.

"Ayah sedang apa?" tanya lelaki itu lembut, tidak lupa senyuman manis terpatri di kedua sudut bibirnya. Sang ayah hanya tersenyum menanggapi itu.

"Apa ayah sudah makan?" tanya Gavin lagi, sang ayah hanya mengangguk untuk menyahutinya.

"Ayah, ayah habis dari luar?"

Pertanyaan sang anak, membuat---Putra, ayah Gavin. Merubah raut wajahnya, namun tidak lama, karena setelahnya ia menggeleng.

Huft.

Gavin menghela nafas lega, bukannya ia melarang sang ayah keluar. Namun kondisi sang ayah-lah, yang membuat Gavin melakukan ini.

"Tapi yah, sepatu yang di depan itu bukannya sepatu milik ayah? Kenapa ayah taruh luar?"

"Ayah sengaja menaruhnya karena ayah ingin jalan berdua sama kamu Gavin."

Kening Gavin mengernyit, merasa aneh dengan ucapan sang ayah. Pasalnya, ayahnya itu tidak pernah meminta hal itu. Jangankan mengajak, di ajak saja kadang-kadang susah.

"Yah?"

"Ayah bosan di rumah terus Gavin. Ayah ingin keluar sendiri, tapi ayah tidak berani."

Gavin tersenyum sendu, merasa kasihan dengan sang ayah. Semenjak Meta ketahuan selingkuh, psikis sang ayah sedikit terganggu. Pernah waktu itu, tiba-tiba ayah-nya mengamuk di jalanan. Dan ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Cukup, waktu itu saja.

"Baiklah, ayah tunggu disini. Gavin ganti baju dulu, habis itu kita jalan-jalan keluar okey?"

*****

"S-sejak kapan?" tanya Nilam dengan suara bergetar, matanya sudah memanas bahkan memerah.

"S-sejak kapan mas? Sejak kapan anakku di vonis? Sejak kapan, beritahu aku mas. Jangan diam saja."

Laskar menggeleng, "Saya tidak tau kapan Revano di vonis memiliki riwayat penyakit mematikan itu Nilam. Yang saya tau, penyakit mematikan itu memang bersarang di tubuhnya. Dan saya tau itu, baru-baru ini."

"Hiks," Nilam menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar, isakannya begitu terdengar memekakkan.

Sungguh, ia seperti tersambar petir di siang bolong. Perasaannya seperti di jungkir balik kan.

'Kalau Revano enggak ada, apa mama tidak apa-apa?'

Perkataan Revano kala itu kembali terngiang. Dan itu sungguh membuat sesak dada Nilam.

Bagaimana bisa ia tidak tau anaknya memiliki riwayat penyakit mematikan. Dan bagaimana bisa, Revano menyembunyikannya sedemikian rupa, hingga tidak ada yang sadar bahwa anaknya itu sakit sendirian.

"Hiks, kenapa, kenapa kamu menyembunyikan ini Revano? Hiks. Kenapa?"

Nilam meraung, seraya meraup wajahnya kasar. Ia kesal, ia marah, ia sedih.

GaReNdra (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang