Dementia, Dementor

Start from the beginning
                                    

***

Entah Sakti akan membawaku kemana. Ini bukan arah pulang. Oh, ternyata ke Braga. Kenapa gak bawa pulang kerumah aja biar sekalian ada perang saudarihood? Katanya mau anter pulang? Tuh... bohong kan.

Setelah motor berhasil parkir, tangannya... ngapain tangan lo nyeret gue, Sakti!

"Eh... lepasin! Gue bisa jalan sendiri!"

Dia langsung lepas tangannya, tanpa bilang apa-apa. Aku mengikuti saja kemana dia pergi.

Ada cafe kecil. Itu tempat favoritku, menu makanan manis kesukaanku marema disana. Sepertinya langkah kakinya mengarah ke sana. Betul saja!

Sakti... Sakti, lo masih tau makanan kesukaan gue.

Mungkin ini sogokan dari dia biar amukan gue ga terlalu liar. Boleh juga lah usaha lo.

Sakti memilih duduk dekat jendela. Refleks gue tolak "Sakti... lo mau rumah gue ancur kalau ada yang laporan ke Amel bahwa kita jalan bareng?"

"Bilang aja kita nggak sengaja ketemu disini. Lo kan adiknya ini."

Tuh kan, bohong banget ni orang ngajarin nggak bener! Ga ada bedanya sama Mario Bros Al Shiddiq.

"Justru karena gue adiknya! Denger ya, Gue nggak mau duduk disini atau gue pergi dari sini!"

"Eh jangan, Mal... oke fine, kita duduk di sebelah sana."

Sakti menunjuk ke tempat yang setidaknya aman dari jarak pandang jalan ke cafe. Kamipun duduk berhadapan, seperti mau duel panco.

"Oke. Waktu lo lima menit. Ada perlu apa?"

"Yaelah, Mala... santai aja kali. Kan belum pesen apa-apa."

60 kali 5 berapa ya? Oke! 300 detik!

"Tiga ratus, dua ratus dua puluh sembilan, dua dua lapan..."

"Sepanjang kita ngobrol, lo mau jadi stopwatch manual aja, gitu? Ayolah Mal..."

"...dua dua enam, dua dua lima, dua dua empat... terus dua dua tiga..."

Kedua tangannya tetiba menyambar dan menggenggam erat tangan gue yang lagi asyik pura-pura ngitung angka yang ratusan. Padahal tau sendiri, jari ini cuma sepuluh.

Tangannya, men! lagi-lagi beraksi! Aduh mati kutu gue.

"Lepasin Sakti! Kita bukan muhrim!"

"Gue mau lepasin kalau lo berhenti berkoar jadi stopwatch manual!"

"Oke fine!"

Baik. Baiklah Sakti. Plan B. Gue nggak akan ngomong apapun sama lo!

"Aa... kadieu A. Sayah mau pesen." Panggil Sakti pada pelayan dengan logat Sundanya. Kadieu maksudnya kemari. Mungkin biar disangka warga lokal, jadi dapet diskonan kali ya.

"Iya silahkan A, tulis disini."

Sakti menulis makanan yang sebenarnya dia nggak tanya makanan apa yang mau gue beli. Ya terserah aja deh, yang punya hajat kan dia. Gue terima sajen aja.

Tanpa waktu lama, Sakti selesai menulis dan dibaca ulang oleh Aa waitress. Pancasilais sekali kan pesenan dibaca ulang?

Selesai order, Sakti lalu mengarahkan pandangannya padaku. Kemaren kelakuannya kayak apa coba? Lihat gue kayak lihat jurig! Setan!

"Mala... apa kabar?"

Hah? Pertanyaan macam apa itu? Nggak punya perasaan banget!

Plan B gue lanjutkan.

Jodohkan Aku!Where stories live. Discover now