11. Kepulangan Anastasya

69 8 0
                                    

"Aku berada di ramai orang, tetapi aku tetap kesepian."

—Sylvia Ivy Vianly.

***

"Are you okay, Vy?"

Satu kata terlontar hebat dari mulut Raka, membuat seorang gadis yang sedang termenung di pinggir kolam mengalihkan pandangannya ke pria yang menatapnya lekat. Gadis itu langsung mendekap erat tubuh kekasihnya, membenamkan wajahnya di dada bidang pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.

Jujur saja, sejak mendengar pembicaraan keluarga besar yang seolah tak percaya dengan Ivy, mereka yang masih menganggap Ivy adalah gadis nekat membuat Ivy merasa kacau sekaligus kecewa bukan main. Ivy merasa terus bertanya-tanya kepada dirinya. Kapan ia dipercaya oleh keluarganya sendiri? Kapan ia diberikan kepercayaan selayaknya seorang anak, selayaknya seorang cucu tanpa perlu dibandingkan oleh cucu lainnya. Ivy haus akan validasi. Ivy haus akan kepercayaan keluarganya sendiri.

"Aku kacau, Raka. Aku sekacau ini. Banyak hal yang lari-larian di kepalaku. Tolong suruh mereka berhenti lari di kepala, Raka. Aku ingin tenang."

Raka yang tak tahu permasalahan apa yang kini sedang ada di kehidupan gadisnya pun diam, ia hanya bisa mendekap erat tubuh lemah wanita yang ia sayang itu. Tubuh yang kedinginan karena berada di luar rumah malam-malam. Ivy tak bisa terkena angin malam, gadis itu mudah sakit.

"Hei, Sayangku! Kita masuk ke dalam rumah aja ya? Kamu boleh cerita ke aku, sepanjang apa pun ceritanya. Pasti aku dengerin kok, Vy. Tapi jangan di sini, oke? Kamu kedinginan soalnya."

Ivy diam, ia tak menjawab perkataan dari Raka. Gadis itu hanya ikut saja saat Raka membawanya masuk ke dalam rumah. Gadis itu seolah memercayakan dirinya sendiri kepada kekasihnya. Meyakini bahwa kekasihnya pasti tahu hal yang terbaik untuk Ivy. Kekasihnya yang sudah sembilan tahun lamanya bertumbuh bersama dengan Ivy jelas tahu hal apa yang bisa Ivy lakukan dan hal apa yang tidak bisa Ivy lakukan.

Setelah berada di dalam kamar Ivy yang berisi hanya mereka berdua, sepasang kekasih yang sudah menghabiskan sembilan tahun lamanya bersama. Kembali, diam menjadi situasi terkini antara keduanya. Masih dengan Ivy yang diam dan tak bersuara, suaranya hanya berteriak di dalam benak saja, dan Raka yang menatap lembut kepada sang pujaan hati.

"Aku haus sama kepercayaan, Raka. Aku haus sama validasi orang. Aku terluka. Aku mau semua orang menganggap aku yang terbaik. Aku perlu pengakuan itu. Aku mau orang-orang menganggap kalau aku kayak gitu, aku gak suka dibandingkan. Aku gak suka kalau jalan yang aku ambil gak disetujui sama orang. Kamu tau itu semua, kan?"

Setelah lima menit berdiam dengan kesunyian di kamar Ivy, akhirnya gadis dengan piama biru muda itu berbicara, mengungkapkan semua yang ada di kepalanya. Memberitahukan kepada semesta apa yang selama ini ia bungkam dengan berdiam diri saja.

Raka yang berada di beberapa langkah depan Ivy pun hanya mengangguk, ia tahu itu semua. Sembilan tahun bersama dengan Ivy membuatnya memahami gadis itu. Sembilan tahun itu lama, kan? Jelas semua baik buruknya Ivy, kini Raka mengerti tanpa ada yang perlu memberitahukan kepadanya lagi.

"Aku tau, Ivy. Aku tau itu semua. Ada apa emangnya? Kamu ada masalah lagi sama Opa? Kamu ada masalah sama mamah sama papah? Atau ada masalah sama Natasya? Mau cerita ke aku?"

Siapa pun tolong beritahukan kepada Ivy, hal di masa lalu apa yang ia lakukan sampai ia diberikan hadiah seorang Raka yang sempurna. Raka yang selalu mengerti tentang dirinya. Raka yang selalu menjadi sandaran ternyaman untuk seorang anak yang tak ingin bersandar di bahu kedua orang tuanya.

"Kak—"

"IVY!"

Ucapan Ivy terpotong saat pintu kamarnya dibuka tiba-tiba oleh seorang gadis yang menyeret koper dengan tangan terbuka di depan pintu. Gadis dengan jaket pink yang membalut tubuhnya.

"Iya gue tau kok kalau kalian udah tunangan atau semacamnya lah. Tapi tolong dong, jangan buru-buru sampai di kamar terus! Gue pulang loh ini!" teriak gadis jaket pink itu lagi.

"Astaga, Natasya! How matcha i miss you so much, Bitch!" teriak Ivy yang langsung berlari mendekap erat tubuh sepupunya itu. Ia merindukan Natasya. Ia merindukan saudara yang selalu menjadi cucu terbaik dan cucu yang paling bisa diandalkan oleh Opanya. Meskipun seperti itu ceritanya, Natasya adalah saudara terbaik menurut Ivy. Saudara yang paling dekat dengannya. Saudara yang selalu berada di pihaknya jika ia sedang berada dalam titik masalah.

"Ya ya, gue tau kalau gue ngangenin. Gue tau itu dengan pasti kok," jawab Natasya dengan nada menyebalkan. Langsung saja Ivy menampar kecil pipi saudaranya itu dengan kesal. Tingkat kepercayaan diri saudaranya ini memang tak perlu diragukan lagi! Natasya memang selalu pandai membuat orang lain muak dengan tingkat kepercayaan dirinya!

"Diem lo! Balik gak cerita-cerita! Gue pundung ya sama lo! Gue kesel abis pokoknya sama lo!" lanjut Ivy dengan bersedekap dada. Menunjukkan raut kesal supaya Natasya percaya bahwa ia memang kesal dengan saudaranya itu.

Ivy berjalan lurus, duduk di pinggir ranjangnya dengan tatapan menunduk. Matanya sebisa mungkin tidak ia biarkan menatap ke Natasya karena jika sekali saja menatap ke Natasya, ia yakin jika ia akan tertawa. Ia akan memperlakukan Natasya dengan manis lagi karena rindu kepada saudara laknatnya itu.

"Ya menurut lo aja sih, Nona Sylvia. Masa iya sih sepupu gue yang paling cantik ini wisuda, gue enggak dateng. Kata gue sih congrats ya. Akhirnya saudara gue satu ini yang dari awal gak mau jadi dokter, sekarang jadi dokter juga. Terus abis itu tunangan sama pacarnya yang sembilan tahun bareng coba, kan gue jadi iri gitu ya. Kalian langgeng banget, semoga bisa langgeng sampai acara pernikahan nanti ya. Semoga acara pernikahan kalian diberikan kelancaran. Terus juga semoga kalian bisa langgeng sampai kakek nenek. Ini tuh surprise ya, Vy. Jadi gak mungkin gue kasih tau ke lo lah, kan surprise, Sayangku!"

Natasya menjelaskan kepada Ivy, Ivy yang pada dasarnya gengsi pun hanya diam saja, ia tak mau mendengarkan apa pun. Bodo amat, anggap saja ia benar-benar marah kepada Natasya.

"Nat, Opa sama Oma manggil lo di bawah." Belum sempat berbicara banyak dengan Ivy, Natasya sudah dipanggil saja oleh Opa dan Oma. Hawa cucu kesayangan memang kentara sekali di sini ya? Hawa Natasya sebagai cucu kesayangan yang baru saja pulang, pasti langsung dipanggil oleh banyak orang. Langsung disambut dengan meriah oleh semua orang.

"Oke, Ra. By the way, lo gimana selama jadi dokter, Ra? Semuanya aman, kan? Lo gak ada niatan ngenalin pacar lo ke kita gitu? Gue yakin kalau lo pasti punya pacar kan! Gak mungkin seorang Ayra gak punya pacar, kalau enggak, pasti punya crush lah." Natasya menjawab, meledek Ayra yang tadi diperintahkan oleh Opa dan Oma untuk memanggilnya.

Bukannya mendapatkan jawaban baik dari Ayra, pertanyaan Natasya hanya diberikan decihan sebagai respon beserta dengan bola mata kesal yang ditampilkan Ayra. "Gue males cinta-cintaan."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang nungguin cerita ini update!

Aaaa, long time no see and long time no talk, aku kangen banget sama kalian semua. Hampir dua tahun cerita ini gak aku sentuh. Terakhir aku sentuh pas aku  kelas 11 dan sekarang aku udah kuliah!

Maaf ya kemarin-kemarin gak aku lanjutin ceritanya karena kemarin-kemarin aku fokus sama kelas akhir di SMA dan aku fokus buat berjuang masuk kuliah di perguruan tinggi yang aku ingin. Sekarang, aku kembali! Semoga aja bisa rajin update buat kalian semua!

Jangan lupa votee ya, jangan lupa komen juga!

See you secepatnya!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

Dokter VS AkuntanWhere stories live. Discover now