38. Deja Vu

3.8K 518 453
                                    

"Aku antar!" Rio bergegas bangkit begitu Ify selesai berpamitan kepada orangtua Rio dan meraih tas.

"Tidak perlu, aku pulang sama Kak Arjun aja," sahut Ify sambil tersenyum simpul ke arah Arjun yang memang belum pulang sejak tadi.

Usai pulang dari sekolah dan makan siang, Atan kini tertidur, membuat Ify pun ingin pulang karena ia sangat merindukan kamarnya. Sebagus apapun kamar yang ada di mansion ini, Ify akan tetap merindukan kamarnya. Ify hanya ingin berbaring tanpa gangguan.

"Tidak, aku saja," Rio bersikeras.

"Lebih baik Pak Rio istirahat, tidak baik mengemudikan mobil dalam keadaan mengantuk," ucap Ify yang membuat Rio mengusap matanya. Memang, terasa sangat pedas, tapi ia juga tak bisa membiarkan Arjun dan Ify pulang berduaan.

"Tidak! Aku bisa minta supir untuk mengemudi."

"Kalau begitu saya bisa sekalian naik taksi, Pak Rio tidak perlu ikut."

"Ify--"

"Nak, apa yang dibilang Nak Ify bener, lebih baik kamu istirahat sekarang. Mata kamu sudah sangat merah." Hanafi menimpali.

Rio ingin membantah, tapi ucapan itu tertelan kembali melihat ekspresi Ify yang begitu dingin dan tak repot-repot melihatnya. Ify juga memanggilnya dengan sebutan 'Pak' sementara memanggil Arjun dengan sebutan 'Kak'.

Hah!

Rio menghembuskan napas kasar sebelum mengangguk dan melenggang pergi ke kamar. Tak mau lagi melihat kedua punggung yang berjalan menjauhinya dengan interaksi yang begitu dekat. Dadanya terasa sangat sesak dengan semua penyesalan. Apa yang sudah ia lakukan akhir-akhir ini? Bukankah ini tujuannya? Kenapa rasanya sangat sakit hingga Rio rasanya tak sanggup lagi menahan air mata yang mulai berkumpul di pelupuknya.

*

"Kamu lihat ekspresinya tadi?" Arjun terbahak sembari memukul-mukul setir mobil mengingat ekspresi Rio yang begitu pahit.

"Apa ini semua akan baik-baik aja, Kak?" tanya Ify sambil memasang sabuk pengaman.

Arjun menghentikan tawanya kemudian tatapannya menerawang ke depan. "Harus ada yang menyeret Rio keluar dari kegelapan itu. Dan aku optimis kamu bisa melakukannya." Arjun menghela napas panjang. "Ify sudah mendengar cerita garis besarnya dari Om dan Tante bukan?"

Ify mengangguk.

"Ini cara satu-satunya agar Rio tak terus kabur dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia hampir mati pas insiden kamu tertembak itu, Fy!"

Bola mata Ify melebar. Ia tak mengetahui fakta ini.

"Kok bisa, Kak?"

"Dia collapse tepat setelah kamu masuk ICU, sempat dirawat selama beberapa jam sebelum sadar dan segera menghubungi adikmu. Begitu adikmu datang, si bodoh itu langsung terbang ke Jepang."

Arjun menghentikan mobilnya saat lampu merah menyala di depan mereka.

"Kita semua sempat panik, bahkan asistennya sendiri misuh-misuh karena harus mengikuti kemauan gila Rio," Arjun terkekeh sejenak.

"Selama satu bulan keliling negara, Rio sebenarnya masuk rumah sakit dua kali."

Ify tercekat, tak menyangka jika efek dirinya begitu besar kepada laki-laki itu. Ify sempat merasa bersalah karena berpikiran jika Rio hanyalah lelaki brengsek tak bertanggung jawab, tanpa tahu apa yang tengah dihadapi oleh laki-laki itu.

"Jadi Cantik, aku harap kamu mau bantu Rio buat lepas dari traumanya, dia sudah terlalu lama menderita."

Ify termenung. Terbelenggu dengan trauma memang menyakitkan, Ify tahu rasanya. Rasanya terlalu menakutkan untuk memulai hubungan baru dengan seseorang. Itu juga yang dirasakan Ify saat pertama kali dekat dengan Rio, namun entah kenapa Ify sama sekali tak bisa membentengi hatinya. Rio datang dan langsung menghancurkan benteng yang susah payah ia bangun.

Hey, Mama! ✔️Where stories live. Discover now