32. Jangan Peduli

4.6K 532 14
                                    

Satu bulan berlalu dijalani Ify dengan hati tak menentu. Karena dalam satu bulan itu, sejak dirinya masuk rumah sakit, Ify tak melihat penampakan Rio. Laki-laki itu seolah lenyap meskipun sesekali masih membalas pesannya.

Berbagai pertanyaan yang dilontarkan Ify pun tak mendapat jawaban. Keluarga Rio pun tak mampu memberikan jawaban memuaskan. Karena Rio tak pernah ada di rumah.

Dalam satu waktu Ify mendapat kabar jika Rio sedang ada di Jepang untuk urusan bisnis. Dalam waktu lainnya Rio sudah berada di Korea untuk undangan kolega. Rio seolah bertekat untuk keliling dunia.

Marah dan bingung Ify rasakan. Ketakutan yang dulu kembali, membuatnya benar-benar jatuh dalam keputusasaan. Ia tak tahu apa salahnya hingga Rio terkesan menghindarinya.

"Ify, dipanggil Pak Bagas!"

Ify menghentikan kegiatannya dan berlalu pergi tanpa kata. Sivia yang melihat sahabatnya kembali terpuruk seperti tiga tahun yang lalu hanya menghela napas panjang. Dalam hati ia sudah menyiapkan berbagai makian dan hujatan kepada orang yang sudah membuat sahabatnya seperti ini. Tak peduli, meski itu adalah bosnya sendiri.

Di ruangan Bagas, Ify sudah melihat sosok Lintang yang duduk di sofa berhadapan dengan sang manager. Entah apa yang terjadi sampai Ify dipanggil seperti ini.

"Duduk!"

Ify menuruti perintah Bagas, duduk dengan tenang sembari menunggu apa yang akan diucapkan oleh managernya ini. Lintang yang melihat Ify seperti ini menghela napas iba. Hidup tapi tak hidup. Ify memang tak membuat kesalahan selama di dapur, justru gadis itu melewati batas dirinya sendiri dan bekerja sangat keras. Semua nasihat Lintang hanya hinggap sementara di telinganya. Tak ada lagi ekspresi berarti dari wajah ayu yang terlihat kuyu. Datar, dan kosong. Meski sudah banyak resep baru ciptaan Ify, Lintang juga terpaksa tak meloloskannya karena citarasa yang berbeda. Tak bisa dipungkiri kalau suasana hati juga berimbas pada cita rasa.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Bagas yang membuat Ify mengernyit heran. Sebenarnya ke arah mana pembicaraan mereka?

"Ya, saya baik-baik saja," jawab Ify meski singkat.

"Pasti kamu sangat bingung kenapa saya panggil kemari bukan?"

Ify hanya mengangguk.

Bukannya menjawab, Bagas justru menyodorkan sebuah amplop yang diterima Ify dalam diam.

"Permintaan cuti?" tanya Ify dengan heran begitu membaca isinya.

Bagas mengangguk, berpandangan sejenak dengan Lintang sebelum menjelaskan kepada Ify.

"Begini," Bagas terdiam sejenak, Ify menunggu dengan sabar. "Saya pikir kamu butuh waktu istirahat, apalagi kamu baru saja mengalami kecelakaan itu dan butuh waktu lama untuk sembuh. Saya hanya ingin memberi kamu waktu untuk istirahat sampai kamu benar-benar pulih."

"Tapi saya sudah sembuh." Ify menggerakkan lengan kirinya, mencoba menunjukkan jika dirinya baik-baik saja.

"Kalau saya nggak kerja gimana saya dan adik saya? Bapak jangan khawatir, saya tidak akan membuat kesalahan yang akan merugikan bapak."

Bagas melambaikan tangannya dengan cepat. "Bukan seperti itu. Kamu tenang saja, karena ini dihitung cuti, kamu akan tetap mendapatkan gajimu."

Ify semakin menyipitkan matanya. Ini terlalu mencurigakan.

"Saya terluka di luar jam kerja, dan bukan tanggung jawab restoran sampai mau memberikan saya gaji padahal sedang cuti."

Bagas dan Lintang tampak menahan napas sesaat. Ify bukanlah gadis yang mudah dibujuk.

"Tolong bilang ke bos anda, berhenti ikut campur dengan kerjaan saya. Saya bisa mengurus diri saya sendiri."

Ify langsung berdiri tanpa menunggu reaksi dari Lintang dan Bagas yang kini tercengang. Sama sekali tak menyangka dengan respon Ify yang sangat tegas dan menebak tepat sasaran. Memang, tanpa campur tangan dari Rio mustahil Bagas akan memperlakukan Ify dengan begitu istimewa. Meskipun ia akan mengjininkan gadis itu cuti, tapi tidak dengan gaji. Itu hanya akan membuat karyawan lain iri, tapi saat bos besar yang bersabda, apa yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintahnya?

*

Keluar dari ruangan Bagas, Ify tak langsung kembali ke dapur. Mumpung restoran sedang sepi, Ify melangkahkan kakinya ke rooftop. Pikirannya total kacau. Ia bukannya tidak tahu jika selama ini ia diawasi oleh anak buah Rio. Ify hanya mencoba tidak peduli. Toh, laki-laki itu juga tidak peduli. Menghilang sesuka hati tanpa penjelasan.

Memangnya apa lagi yang Ify harapkan.

"Hahaha!" Ify tertawa sarkas dengan setetes air mata yang menuruni pipi tirusnya. Ia merasa hidupnya begitu penuh komedi. Hidup dicengkeram ketakutan dan trauma dalam hubungan membuat Ify selalu skeptis dalam menyikapi sebuah hubungan. Beberapa orang yang mencoba mendekat bahkan tak sanggup melanjutkan langkah karena Ify benar-benar membangun temboknya dengan kokoh.

Sampai Rio datang dan mengacaukan semuanya.

"Aaargghhhh!" Ify berteriak frustasi.

"KALAU MAU PERGI HARUSNYA GAK USAH PEDULI BANGSAATT!! MAU LO APA?? HATI GUE BUKAN MAINAN! JANGAN DATANG DAN PERGI SESUKA HATI LO SEOLAH GUE DI SINI BUKAN MANUSIA!"

Ify menangis pilu. Menyembunyikan wajah dalam lipatan lutut. Suara tangisannya benar-benar menyayat hati. Membuat Sivia yang hendak menyusul kini mematung di depan pintu. Air matanya ikut menetes melihat sahabatnya yang hancur untuk kedua kalinya.

Benar-benar bajingan!

Sivia rupanya salah menilai Rio. Sivia pikir, Rio bisa mengobati trauma Ify dalam sebuah hubungan. Ia begitu bahagia melihat Ify yang mulai berani melangkah setelah patah.

Tara dan Rio, Sivia ingin sekali mematahkan hidung mereka.

*

Yuhuuuu!! Yang kemarin kasihan sama Rio, sekarang masih kasihan apa udah sebel nih? Wkwkwkkwk

Hey, Mama! ✔️Where stories live. Discover now