11. Bolehkah?

7.2K 738 16
                                    

Sekian lama bersahabat dengan Ify, Sivia tidak pernah dikejutkan dengan sebegini hebatnya. Kehidupan Ify itu cenderung flat, kalau Sivia boleh bilang, sangat membosankan. Karena kehidupan Ify hanya berputar antara restoran dan rumah. Tak pernah berminat jika Sivia mengajak Ify untuk sekedar bersenang-senang di luar. Karena Ify cenderung menghindari hal-hal yang akan membuatnya repot, dan Sivia tak pernah bisa memaksa. Akhirnya, hanya Sivia yang sering berkunjung ke kosan Ify jika sedang ingin bermain bersama.

Namun akhir-akhir ini, Sivia sudah tidak bisa menghitung berapa kali ia terkejut karena Ify. Puncaknya adalah saat ini, di depan pintu apartemen milik sahabatnya itu, melihat bos besar yang dengan santai keluar dari apartemen, dengan bocah cilik yang memanggil Ify dengan sebutan 'Mama'. Sungguh, Sivia merasa sedang berada diantara nyata dan mimpi.

"Mama, tadi Atan di sekolah diajarin menggambar. Dipuji sama Bu guru katanya gambar Atan bagus," celoteh bocah tiga tahun menceritakan kesehariannya di PAUD.

"Oh ya? Atan pinter! Tante boleh lihat gambarnya nggak?" sahut Ify dengan senyum lebar lalu menyambut Atan dalam gendongan.

"Boleh! Tadi Atan langsung ke sini diajak sama Ayah, jadi gambarnya Atan bawa di tas." Keantusiasan bocah itu untuk bercerita, membuat Ify benar-benar tak tahan karena menggemaskan. Mata bulatnya berbinar jernih, berbeda dengan mata Rio, sang ayah yang tajam karena bentuk mata dragon eyes. Mungkin bentuk mata Atan didapat dari sang Ibu, sementara Rio mewariskan bibir dan lesung pipi.

"Vi .... Via!" Ify melambai-lambaikan tangan di depan Sivia yang terdiam bengong. Gadis itu tampak terlonjak kaget.

"Ya ... aduh, gue ... saya ....!" Via tergagap,  ia menatap Rio yang menatapnya balik dengan pandangan datar. Mungkin juga tidak mengenalnya karena mereka tak pernah bertemu secara langsung.

"Kenapa bengong di situ? Ayo masuk! Mumpung Mas Rio dan Atan ada di sini, kita harus cepet-cepet masak."

Sivia lagi-lagi menganga. Ia masih kagok mendengar sahabatnya memanggil bos mereka dengan sebutan yang sangat akrab seperti itu. Dengan terlatih, Via pun mengikuti langkah Ify untuk masuk ke dalam apartemen, menunduk dengan canggung saat melewati Rio yang berdiri di sisi pintu untuk menahan pintu lalu menutupnya saat semua orang sudah masuk.

Apartemennya tak begitu luas tapi terasa sangat nyaman. Jendela yang langsung mengarah ke restoran membuat Sivia pun bisa melihat teman-temannya yang sedang bekerja. Usai meletakkan belanjaan di meja dapur, ia hanya berdiam diri karena bingung harus apa.

"Om, gue keluar dulu, ya!" Ray keluar dari salah satu kamar, dan terkejut saat melihat ruang tamu yang sangat ramai.

"Loh, Kak! Udah pulang?" sapa Ray saat melihat entitas sang kakak dan satu wanita asing yang Ray tebak adalah sahabat yang sering diceritakan kepadanya.

"Iya, mau kemana sore-sore gini? Belum makan kan?" tanya Ify sambil menurunkan Atan dari gendongannya.

"Cuma bentar mau fotocopy berkas buat daftar ulang. Takutnya kalau ditunda malah lupa."

"Loh, mau naik apa? Naik mobil saya aja ini," Rio mengulurkan kunci mobil miliknya.

"Mana bisa saya bawanya, Om! Jalan enggak, nabrak iya!" timpal Ray dengan kekehan.

"Saya antar saja?" Ray menggeleng brutal. Ia membenarkan letak tas ransel di pundaknya sebelum menjawab. "Ada tempat fotocopy di ujung jalan sana, Om! Nggak jauh kok paling jalan cuma lima menit. Jadi saya jalan kaki aja sekalian olahraga," ucapnya.

"Ya sudah! Kalau ada apa-apa hubungi saya."

"Siap!" Ray memberi gestur hormat lalu melangkah keluar setelah berpamitan sekali lagi.

Sivia yang sejak tadi menyimak pun semakin dibuat heran karena bahkan adik Ify pun terlihat begitu akrab dengan bos besarnya.

"Ya sudah! Mas Rio dan Atan main aja dulu, saya sama Via mau masak. Kasihan Atan belum makan 'kan?" tanya Ify yang membuat Atan mengangguk lucu.

"Atan mau makan masakan mama yang enak."

"Iya, nanti tante masak yang enak, Atan nunggu sebentar tidak apa-apa 'kan?"

Lagi-lagi Atan mengangguk lucu membuat Ify gemas berakhir mengusap rambut Atan yang membuat bocah itu tersenyum hingga lesung pipinya terlihat.

"Saya juga," tiba-tiba Rio menyela.

"Iya, kenapa, Mas?" tanya Ify heran dan mengalihkan atensi dari sang anak kepada sang ayah.

"Saya juga belum makan, Ify!"

"Iya, Mas! Nanti kita makan bareng-bareng, ya!"

"Saya nunggu juga nggak apa-apa."

Ify memicingkan mata bingung karena sikap Rio yang aneh, namun tak urung ia mengangguk lalu berlalu pergi ke dapur, menghampiri Sivia yang tetap terdiam menjadi pengamat, meninggalkan Rio yang mendengus.

"Atan, kok saya nggak diusap kepala, ya?" tanyanya kepada sang anak yang membuat bocah itu terkikik.

*

Suasana meja makan meriah karena celetukan Atan. Setelah hampir satu jam bergelut dengan dapur, Sivia dan Ify kemudian menata makanan di meja. Bisa dibilang, ini adalah makan besar, karena aneka masakan yang dikuasai keduanya kini terhidang dengan tampilan yang menggugah selera. Ray juga sudah pulang dan duduk dengan antusias di sebelah Rio. Atan meminta duduk di sebelah Ify sehingga balita itu kini berada tepat di tengah-tengah Sivia dan Ify sementara Rio dan Ray duduk di seberang.

"Selamat makan, semuanya! Maaf ya, karena baru sempat ngadain acara makan-makan sekarang, padahal udah hampir satu minggu pindah," ucap Ify mengawali kegiatan mereka.

"Tidak apa-apa, Ify! Saya sebenarnya juga tidak expect kalau kamu mau ngadain jamuan makan. Tadi Atan meminta bertemu sama kamu jadi saya ke sini tanpa rencana, kalau tau kamu mau ngadain jamuan makan, saya tadi bisa bawa sesuatu sebagai tambahan."

"Tidak apa-apa, Om! Semakin rame semakin seru," Ray menyela. Ia dengan tak sabar meraih centong nasi dan mengisi piringnya. Ia sudah lapar sejak tadi, dan ini adalah makan siang yang terlambat.

"Ayooo! Silakan makan!"

Semuanya kemudian sibuk dengan hidangan di hadapannya, sementara Ify sesekali mengurus Atan. Meski balita itu sudah pintar makan sendiri, tetapi terkadang belepotan, membuat Ify sesekali menyeka bibir, pipi dan juga tangan Atan yang kotor.

Rio melihat semua yang dilakukan Ify. Gadis itu terlihat begitu sabar menghadapi anaknya. Senyum tak bisa lepas dari bibirnya melihat pemadangan yang ada di depannya. Diam-diam meraih ponsel, lalu memotret tanpa seorang pun tahu.

Sebenarnya, pemandangan seperti ini adalah impiannya, tapi mau bagaimana lagi? Mimpinya sudah pupus,  dan semua karena dirinya. Rio tak mampu menciptakan rumah tangga bahagia seperti yang selama ini ia idam-idamkan. Katakanlah, ini adalah kegagalan terbesar Rio sebagai laki-laki.

Sudah lama Rio mengubur mimpinya, tapi melihat pemandangan di depan itu, mimpi yang lama tertidur perlahan menggeliat bangkit. Tapi ... bolehkah? Rio meragu. Apakah ia diberikan kesempatan lagi? Ketakutan perlahan menyebar ke dalam sel tubuhnya, menimbun rasa bahagia yang baru saja ia rasakan, sehingga Rio hanya diam sepanjang makan sampai pulang, membuat Ify bertanya-tanya, apakah Rio tak menyukai masakannya?

Hey, Mama! ✔️Where stories live. Discover now