14. Deserve to be Happy

6.7K 637 12
                                    

Mas Rio :
Terima kasih, karena sudah mau datang ke rumah

Ify baru saja selesai mandi saat pop up ponselnya menampilkan pesan masuk dari Rio. Hari ini sedikit melelahkan. Lelah hati dan pikiran. Karena Ify terlalu banyak berpikir dan overthinking. Meski endingnya tak sesuai yang ia duga, padahal ia sudah menyiapkan mental kalau-kalau ia akan diusir dan dicaci maki. Namun, nyatanya Ibu Rio begitu baik padanya. Suasana makan malam hasil masakannya pun, terlihat sangat hangat, meski ia sendiri masih agak kikuk.

                        Me :
Sama-sama, Pak!

Mas Rio:
Jangan panggil saya Pak, berapa kali saya harus bilang?

Me :
Maaf, rasanya sangat canggung

Mas Rio : Saya yang harus meminta maaf. Maaf karena mengambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi denganmu.

Me :
Sudah, Mas! Tidak usah dibahas lagi. Aku udah maafin kok!

Mas Rio :
Syukurlah! Cepatlah istirahat, kau pasti lelah karena memasak untuk keluargaku.

Me :
Iya Mas, selamat malam!

Mas Rio :
Selamat malam, Ify. Have a nice dream!

Pesan itu berakhir tanpa balasan dari Ify.  Merebahkan dirinya di ranjang, Ify perlahan hampir terbuai dalam alam mimpi saat pintu kamarnya diketuk.

"Kak, lo udah pulang?"

Dengan malas, Ify bangkit dari posisi nyamannya, membuka pintu dan terlihat Ray yang sepertinya baru pulang.

"Baru pulang? Darimana?" tanya Ify heran.

"Bantuin temen buta take photo endors. Lumayan kak, buat sampingan," jawab Ray dengan cengiran lebar saat melihat muka Ify yang masam.

"Kenapa sih? Lo kan tinggal fokus sama kuliah aja. Karena sekarang gue udah kerja, nggak usah takut soal uang saku."

"Cuma kadang-kadang aja, Kak! Lagian kan gue belum mulai masuk kuliah, daripada gabut di apartemen kan lumayan ikut freelance."

Ify hanya menghembuskan napas panjang. Tak bisa membantah argumen dari sang adik.

"Udah makan?"

Ray menggeleng. Itu juga tujuannya mengetuk kamar Ify, karena perutnya sudah keroncongan meminta untuk di isi.

"Ya udah, mandi dulu sana! Gue masak."

Ray berlalu ke kamarnya sementara Ify mulai berjalan ke dapur. Melihat isi kulkas, dan mendesah lega karena masih banyak bahan yang bisa ia masak. Membuka rice cooker, Ify menemukan sisa nasi tadi pagi. Dengan berbagai pertimbangan, Ify pun memilih untuk memasak nasi goreng spesial dengan banyak toping.

Tepat saat Ify selesai menuangkan nasi goreng di piring, Ray terlihat keluar dari kamar dengan kondisi yang fresh. Titik-titik air tampak jatuh di wajahnya karena rambut yang masih basah.

Melihat itu,Ify berdecak. "Keringin dulu rambutnya, jangan jalan-jalan dengan rambut yang masih basah."

"Iya nanti, gue laper banget soalnya," ucap Ray tak peduli lalu duduk di meja makan dengan khidmat. Memandang sepiring nasi goreng yang masih mengepul dan segelas jus alpukat.

"Lo nggak makan?" tanyanya begitu mendapati nasi gorengnya hanya satu porsi.

Ify menggeleng. "Gue udah makan tadi."

"Sama Om?"

Tanpa sadar, Ify mengangguk, kemudian melotot. "Apaan, sih? Nggak usah kepo," sewotnya.

Ray terbahak. "Kan gue cuma nanya, lo punya opsi buat nggak jawab."

Ify mendengus, memang dirinya saja yang latah.

"Habis makan jangan lupa cuci piringnya. Gue ke kamar dulu," pamit Ify kemudian berlalu ke kamar.

Ting!

Notifikasi ponsel membuat Ify yang akan merebahkan diri di kasur urung, mendesah pelan dan mengutuk siapapun yang mengirim pesan saat ia berniat istirahat karena lelah luar biasa.

Dahi Ify mengernyit, mendapati sebuah nomor baru menghubunginya.

083422xxxxxx
Hai!

Tanpa menjawab pesan tersebut, Ify kembali mematikan ponsel lalu menuntaskan niatnya yang terus tertunda untuk bergelung di kasur. Ia tak punya lagi tenaga untuk meladeni orang iseng sehingga ia mengabaikan pesan dari nomor baru tersebut. Tak berselang lama, Ify sudah berada dalam alam mimpi.

*

Dua sahabat beda profesi itu tengah menikmati minuman masing-masing di meja bar.

"Jadi, gimana dengan chef cantik itu?" Arjun membuka percakapan karena tak tahan dengan keheningan di antara keduanya.

"Nggak gimana-gimana."

"you have a crush on that girl right?"

"Maybe?" jawab Rio sedikit tak yakin.

"Ayolah, sudah bertahun-tahun kau tak pernah membawa perempuan untuk makan siang bersama, apalagi sampai memintaku memasak." Arjun menyesap minumannya sebelum lanjut bicara. "Bahkan Shilla saja tak pernah kau lakukan seistimewa itu."

"She's just friend."

"With benefit," sambung Arjun yang membuat Rio mendengus.

Rio menenggak minumannya sekaligus. Rasa panas serasa membakar leher, namun tak menghentikan aktifitas Rio. Gelas demi gelas kini mulai membuat kesadarannya menipis. Hal itu membuat Arjun menyingkirkan gelas dan botol minuman dari depan Rio.

"Cukup, Yo! Lo udah mabuk."

Rio menggeleng. "I'm not drunk."

"Yes, you're!" Arjun mendengus. "Mending sekarang kita pulang aja." ajaknya, mencoba memanah Rio, tapi laki-laki itu menampik.  Wajahnya yang memerah, memandang Arjun sendu.

"Do I deserve to be happy?"

Arjun kembali terduduk. Menatap sahabatnya lamat-lamat sebelum menepuk pundaknya pelan.

"Selalu, lo deserve to be happy, kapanpun itu."

"But I'm monster."

"No, you're not!" Arjun berdecak. "Berapa kali gue bilang kalau lo bukan monster, Rio! You're human, MANUSIA!" tegas Arjun.

Rio terkikik. Matanya yang sayu mengedar tak tentu arah. "But I always hurt other people, I kill them."

"Dah, ini nggak bener. Ayo pulang!" Arjun memaksa Rio untuk bangkit. Memapah laki-laki yang terasa sangat berat untuknya. Mencoba untuk tak ikut terbawa perasaan meski kini ia mendengar isakan kecil dari sang sahabat.

"Kamu selalu berhak, Yo! Kamu berhak bahagia," bisik Arjun sebelum memasukkan Rio ke dalam mobil dan meminta sang sopir untuk mengantarkan sampai rumah dengan selamat.

Hey, Mama! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang