20. Sekilas memori

5.6K 612 20
                                    

Tangan Rio masih gemetar. Meski dokter sudah menjelaskan jika Ify hanya kelelahan dan kekurangan cairan, bahkan bisa sadar tak lama lagi, tapi rasa takut masih menjalar di hatinya.

"Kamu pembawa sial, tau nggak?"

"Semua orang yang ada di dekatmu bakalan sial."

"Anak sial, orangtua kamu mati gara-gara kamu."

"Gara-gara kamu, anak saya mati. Harusnya saya tidak ijinkan anak saya menjalin hubungan sama kamu."

"Pak Rio, bapak tidak apa-apa?"

Rio terbangun dari lamunan dan menatap Sivia yang tengah melihatnya dengan raut khawatir.

"Saya tidak apa-apa," ucapnya mencoba untuk tak bergetar. Kedua tangannya mengepal erat di samping tubuh.

"Ify nggak akan kenapa-kenapa kok, Pak! Memang gitu anaknya sering lupa minum. Apalagi hari ini dia gantiin posisi Pak Lintang, jadi kecapean." jelas Sivia.

Rio hanya mengangguk. Penjelasan Sivia sama sekali tak membantunya.

"Bapak pucet banget, apa nggak lebih baik bapak pulang buat istirahat? Kan nggak lucu kalau Ify siuman tapi gantian bapak yang pingsan," Sivia mencoba membujuk Rio, tapi laki-laki itu hanya menggeleng pelan.

"Saya tidak apa-apa."

Sivia berdecak, tapi ia juga tak bisa memaksa. Meski penampakan Rio sudah seperti mayat hidup. Bahkan Ify saja yang masih pingsan tak sepucat Rio. Wajah Rio seolah tak dialiri darah sama sekali.

Keadaan kembali hening. Hanya terdengar detak jam juga suara napas teratur dari Ify yang masih memejamkan mata. Sivia bermain ponsel sembari duduk di sofa empuk. Fasilitas kamar VIP memang tidak perlu diragukan lagi. Bahkan jika harus tidur di sini, Sivia yakin ia akan tidur dengan nyenyak.

Berbeda dengan Sivia, Rio sama sekali tak mengalihkan pandang dari Ify. Pikirannya tengah kalut dan ia merasa sangat pusing. Namun, meninggalkan Ify yang belum sadar hanya akan membuatnya semakin pusing.

Brakkk!!

"Kakak gue mana?"

Baik Rio maupun Sivia terlonjak kaget mendapati pintu yang tiba-tiba terbuka dengan kasar. Ray di sana dengan seragam ospek lengkap. Pasti pemuda itu belum pulang dan langsung menuju ke rumah sakit begitu mendapat kabar.

"Buset, Boy! Bisa kalem dikit, kan? Kakak lo nggak apa-apa, cuma kecapean aja sama dehidrasi." Sivia menjawab.

Ray mendekat ke ranjang, menatap sang kakak yang terlihat agak pucat lalu berdecak.

"Pasti tadi malem kurang tidur," gumamnya yang membuat Sivia mendekat.

"Emang kenapa?"

Ray mengedikkan bahu. "Nggak tahu, rusuh banget kayanya sampe berisik. Dari kamar gue aja kedengeran. Sampai teriak-teriak gue pikir ada apa."

"Nggak lo lihat?"

"Udah, gue tanya ada apa, dia jawab gapapa, ya udah."

"Terus tadi pagi sarapan?"

Ray menggeleng, Sivia berdecak. Sementara Rio terdiam menyimak percakapan kedua orang itu. Mencoba menanamkan dalam hati, jika Ify seperti ini bukan karenanya.

"Gini nih, udah pagi nggak sarapan, kurang tidur, siangnya makan cuma dikit padahal handle double job."

"Lo berisik banget, Via," suara lemah itu membuat mereka kemudian menoleh le arah Ify yang mendesis sambil memegang i kepalanya.

Hey, Mama! ✔️Where stories live. Discover now