13. Mama Suka

7.1K 755 20
                                    

Ify hanya memandang datar entitas yang akhir-akhir ini selalu berada di sekitarnya. Laki-laki itu duduk dengan senyum lebar, belum menyadari bagaimana ekspresi Ify saat memandangnya.

"Maaf, saya telat karena ada kendala sedikit tadi di kantor," ucapnya sambil mendudukkan diri di kursi seberang Ify.

Suasana kafe tidak terlalu ramai karena belum memasuki jam makan malam. Malah lebih ramai jalanan di luar karena waktu jam pulang kantor.

Tak mendapatkan jawaban, Rio kemudian mendongak, menatap Ify yang juga tengah menatapnya tajam. Merasa aneh karena mendapat tatapan tak biasa, Rio kemudian bertanya.

"Ada yang salah dengan saya, Fy?"

Ify bergeming. Membuat Rio menggaruk tengkuknya bingung, hingga beberapa saat kemudian dia melotot.

"Maaf maaf, saya sebenarnya mau menjemput Atan, tapi saya kemudian berpikir kalau lebih baik saya menjemput kamu untuk bertemu Atan yang ada di rumah."

Ify mengangguk singkat, sama sekali belum berniat membuka suara.

"Ify, saya minta maaf karena tidak bilang terlebih dahulu, tapi menurut saya itu lebih baik, karena ibu saya juga ingin bertemu denganmu."

Ify tersedak. Apa-apaan dengan semua keputusan yang diambil sendiri seperti ini? Apakah dirinya sebagai manusia tak seberarti itu untuk dimintai pendapat?

"Bapak tau kesalahan Bapak itu apa?" tanya Ify tanpa menggunakan panggilan biasanya.

"Bapak?" tanya Rio terkejut. "Kamu manggil saya Bapak? Kita kan sudah sepakat sebelumnya."

"Iya, sebelum saya tahu siapa Anda, Bapak Azrio Sabian," ucap Ify penuh penekanan di nama lengkap Rio.

Rio tertegun, Ify tahu semuanya.

"Saya bisa jelaskan!"

"Tidak perlu," potong Ify. Ia kemudian meminum jus jeruknya hingga tandas sebelum lanjut bicara. "Saya sudah tahu semuanya, dan saya juga tidak mau menjadi orang munafik penuh drama dengan menolak kembali bekerja, karena bagaimanapun, saya membutuhkan pekerjaan ini."

Rio menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan sejak tadi. Takut jika Ify akan mengamuk padanya.

"Tapi saya juga tidak bisa membenarkan tindakan Bapak yang selalu memutuskan segala sesuatu sendiri padahal itu bersangkutan dengan saya. Saya di sini juga berhak memberikan pendapat."

"Maaf, maaf karena saya terkesan mengabaikan pendapatmu, tapi saya tidak bermaksud begitu."

"Lalu bagaimana dengan maksud Bapak yang langsung ingin menjemput saya karena Ibu Anda ingin bertemu dengan saya?"

Rio menghembuskan napas gusar. Terbiasa dengan panggilan akrab, kini ia merasa begitu aneh saat Ify memperlakukannya seperti orang asing.

"Karena ... saya takut kamu akan menolak," jawab Rio lirih.

"Apa hak Bapak menyimpulkan semua tentang saya saat kita saja kenal belum lama?"

Rio tertohok! Ia seperti dilempar pisau berkali-kali karena keputusan sepihak yang ia buat. Ini memang salahnya, harusnya ia bertanya terlebih dahulu kepada Ify sebagai pihak yang bersangkutan.

"Maaf!"

Ify menghela napas panjang. Sejak siang tadi, ia sudah menahan semua emosi yang ia rasakan demi profesionalisme saat bekerja. Ia benar-benar kesal dengan semua keputusan yang dipilih Rio tanpa bertanya terlebih dahulu padanya.

"Jangan diulang lain kali. Saya tidak akan melakukan apapun jika itu diputuskan tanpa meminta pendapat saya sebagai pihak yang bersangkutan."

Rio mengangguk pasrah. Menanamkan dalam dirinya sendiri jika ia tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tanpa Ify tahu, jika kini kedua tangan Rio yang gemetar tengah bertaut erat.

Hey, Mama! ✔️Where stories live. Discover now