BC/19

278 18 0
                                    

'Kamu tidak akan sesakit ini, jika kamu tidak menginginkan seseorang secara berlebihan. Seperti yang kamu lakukan sekarang.'

~Bukan Cerminan~

•••
Di pagi Jumat yang cerah, seluruh santri pondok pesantren Ar-Rahman, dibebaskan ke mana pun mereka ingin pergi dengan batas waktu yang telah pesantren tetapkan. 

Hari Jumat adalah hari yang mereka nantikan kedatangannya. Tak terkecuali, dua gadis yang sedang berdiri dengan wajah berseri, tak sabar ingin menyeberangi jalan untuk membeli makanan yang hampir semua anak muda Indonesia menggemarinya. Apalagi kalau bukan jajanan yang berbahan dasar tepung yang dibentuk bulat kecil itu. Cilok.

"Pak, cilok kayak biasanya dua porsi, ya!" Kata Aiza setelah sampai di depan gerobak penjual cilok yang sudah menjadi langganan mereka.

"Dibungkus atau makan di sini, Nduk?"

"Dibungkus saja, Pak."

"Nggih, siap. Silakan duduk dulu," Bapak penjual cilok yang berumur tak lagi muda itu memberikan dua kursi plastik yang selalu ia sediakan kepada dua gadis yang telah menjadi pelanggan setianya di setiap hari Jumat.

"Terima kasih, Bapak," ucap Adeeva dan Aiza serempak setelah menerima kursi yang diberikan kepada mereka.

Dua gadis bergamis hitam dan biru itu duduk dengan tenang melihat pemandangan kendaraan yang berlalu-lalang di hadapan mereka, sembari menunggu cilok mereka selesai disiapkan.

"Ini Nduk, ciloknya sudah selesai."

Adeeva dan Aiza berdiri, kemudian menerima kresek yang disodorkan kepada mereka.

"Ini Pak, uangnya. Pas ya, Pak," Adeeva memberikan dua lembar uang lima ribuan yang disambut baik oleh penjual cilok itu.

"Nggih, Nduk, matur nuwun."

"Nggih, Pak, sama-sama. Kita pamit pergi dulu, ya?" Pamit Adeeva dengan senyum yang mengembang dari bibir kedua gadis itu.

"Hati-hati, Nduk."

"Nggih, Mari, Pak."

Kedua gadis itu melangkah menjauh dari tempat penjual cilok itu.

"Kita mau ke mana lagi?" Tanya Adeeva sembari menjatuhkan bokongnya di bangku yang ada di bawah pohon.

"Gimana kalo abis ini, kita ke pasar?" Tawar Aiza yang dijawab anggukan setuju dari Adeeva yang mulutnya kini dipenuhi jajanan bulat itu.

"Tapi, kita cuma lihat-lihat aja, nggak usah beli apa-apa." Ucap Adeeva membuat bahu Aiza seketika merosot.

"Lihat-lihat doang, mana bisa, Deeva!"

"Hemat, Aiza," Adeeva menekankan kata 'hemat' di sana.

"Enggak seru. Kamu aja deh yang hemat, aku hematnya kapan-kapan aja," ucap Aiza membuat Adeeva geleng-geleng.

"Nanti kalo kamu mau apa-apa, tinggal bilang, ya? aku yang bayarin," sambung Aiza tanpa beban membuat Adeeva terbatuk.

Uhhuk!

"Kamu dapet kiriman berapa, sih?" Tanya Adeeva, "Tumben banget kayak gini," lanjutnya keheranan.

Aiza menatap Adeeva datar. "Bilang alhamdulillah kek, temennya bisa traktir, ini malah diintrogasi."

"Iya, alhamdulillah." Ujar Adeeva, "Tapi---"

"Astagfirullah! Ya Allah ... dipakein 'tapi' segala lagi," Aiza memotong ucapan Adeeva.

"Ya ... abisnya kamu---"

Bukan Cerminan Where stories live. Discover now