Shaka menghembuskan napas kasar sekaligus mengepalkan kedua tangannya sendiri. Kedua manik hitamnya menyorot tajam bak elang. "Bangsat! Gue harus ngelamar kemana lagi?!"

"Sialan!"

"Sampah!"

"Bangsat semua!"

Decakan demi decakan keluar begitu saja. Shaka benar - benar frustasi. Segala jerih payah yang dilakukannya selama ini tidaklah membuahkan hasil.

Lantas ... waktu yang terkuras setiap malam itu terbuang sia - sia.

Mengapa?

Mengapa takdir begitu kejam padanya?

Apakah tidak ada unsur bahagia dalam hidupnya?

Seorang wanita cantik sudah direnggut paksa oleh semesta sejak usianya baru saja menginjak satu tahun. Seorang perempuan muda yang berhasil mengusik hatinya juga dilalap habis oleh bumi. Sekarang ... pria paruh baya yang mampu menumbuhkan kebencian dan sayang dalam waktu bersamaan juga dibuat terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit.

Semua kejadian tersebut memutar dalam otak kecil Shaka. Seperti sebuah kaset hitam yang terus melingkar tanpa diperintah.

"Kak.. Kakak haus?"

Pertanyaan tersebut membuat Shaka tersentak kaget. Dengan cepat, netra coklatnya mengarah pada gadis kurus yang mengenakan kaos lusuh berwarna pink serta celana pendek hitam.

"Aku cuman punya segini, kakak mau?" tawar gadis kecil tersebut seraya memperlihatkan botol yang hanya berisi seperempat air putih.

Manik Shaka beralih sekilas pada botol bening itu, kemudian menatap kembali gadis kecil cantik yang wajahnya seperti tidak pernah terawat. Rambut hitam sebahu yang sudah morat - marit ke sembarang arah dan .. kaki mungil yang tidak ada alas.

"Kak? Kakak jijik sama aku ya? Maaf, aku kesini cuman kasihan lihat kakak tadi marah - marah sendiri. Maaf ya, Kak.. Aku pergi dulu.." pamitnya sembari membalikkan badan.

"Tunggu." cegah Shaka dengan menarik pergelangan tangan mungil itu.

Sang gadis kecil pun kembali pada posisi semula dengan mata mengerjap, takut. Tak perlu lama lagi, Shaka menarik untuk mendekat ke arahnya.

"Nama kamu siapa?" tanya Shaka berubah sangat lembut.

Terlihat perubahan raut wajah dari yang semua tegang kini tenang. "Nama aku, Clara, Kak.."

"Oh Clara.. nama yang cantik, kayak orangnya." Shaka menarik kedua sudut bibirnya keatas.

Gadis kecil yang dipuji ini pun langsung tersenyum malu. Terlihat dari kedua sudut matanya yang menyipit.

"Haha, kamu umur berapa?" tanya Shaka sangat lembut.

"9 tahun, Kak."

"Oh, kamu sendirian?"

"Iya, Kak. Ayah lagi kerja. Aku nggak mau ganggu Ayah, jadi aku kerja juga." jawaban yang terdengar sangat lugu.

Kening Shaka mengerut. "Kerja? Kamu kerja apa?"

"Ngamen atau mulung, Kak. Tapi aku ngamennya nggak pakai alat, cuman nyanyi aja di warung - warung."

Jawaban barusan bagaikan kilat petir yang menyambar jantung Shaka. Usia sekecil itu harus mengalami keadaan yang mengenaskan. Lain dengannya yang dalam usia tersebut hanya disibukkan dengan les dan bermain. Mulai dari makanan, pakaian, apapun itu sudah tersedia sangat lengkap.

"Kakak kaget ya? Hehe.. Nggak papa, Kak. Aku tahu kok perasaan Kakak. Karena Kakak kan dari keluarga berada. Kakak harus banyak - banyak bersyukur ya, karena Kakak dikasih kehidupan yang mulus. Banyak diluar sana yang pingin hidup kayak Kakak, tapi Tuhan berkata lain hehe.."

WHITE LOVE Where stories live. Discover now