Bab 42

24.4K 4.7K 131
                                    

GRAY

Aku menyandarkan kepalaku di sofa, sikuku terangkat, menempel di kening sementara mataku terpejam. Hell, apa yang baru saja terjadi? Livia menyatakan cinta? Kenapa aku bisa nggak menyadari kalau dia punya perasaan seperti itu untukku? Aku mengenalnya sejak kecil, dan ya, kami memang punya sejarah yang panjang, tapi aku dan Livia nggak pernah mengungkit tentang cinta sebelumnya. Semakin dewasa, kami bahkan semakin jarang menghabiskan waktu bersama karena, well, seperti yang dia katakan tadi, aku sibuk dengan duniaku. Aku lebih sering mengurung diri di studio mengerjakan musik, atau tur konser keliling dunia, atau menghabiskan waktu senggangku untuk menikmati seks panas tanpa ikatan dengan wanita-wanita yang menyadari sepenuhnya kalau yang mereka bisa dapatkan dariku hanya orgasme dan nggak ada lagi hal lainnya.

Livia juga punya dunianya sendiri, yang biasanya terdiri dari kuliah, shopping, clubbing, partying, dating. Ya, dia bahkan punya beberapa pacar selama bertahun-tahun ini. Yang membuatku semakin nggak menyangka kalau dia memendam perasaan cinta untukku sejak kecil.

Aku menyayangi Livia, berusaha selalu ada untuknya kalau dia membutuhkanku, seperti tengah malam saat dia menelepon dan bilang kalau dia ingin bicara—malam saat aku bertemu Melody, tapi aku nggak pernah menganggapnya lebih dari teman. Kami punya banyak kenangan masa kecil, tapi beranjak remaja, aku semakin menyadari kalau kami nggak punya banyak kesamaan. Pembicaraan kami selalu tentang keluarga, karena memang itulah yang membuat kami dekat dulu. Di luar itu, nggak ada topik yang bisa kami bahas.

Saat aku membicarakan tentang musikku, dia akan selalu bilang musikku luar biasa. Saat dia membicarakan tentang tas yang baru dia beli, aku akan bilang tas itu luar biasa. Aku nggak tahu apa-apa tentang tas, dan aku rasa dia juga nggak tahu apa-apa tentang musik. Kami hanya mengatakan apa yang aman dan mudah untuk dikatakan, karena mengatakan sebaliknya hanya akan menuntut penjelasan lebih. Dan aku nggak ingin memberi penjelasan lebih karena sesungguhnya aku nggak peduli tentang tasnya, sama seperti dia nggak peduli tentang musikku.

Ya, dia memang tahu semua laguku, tapi itu lebih karena hampir seluruh dunia tahu laguku. Dia hanya mengikuti tren, karena jika ada seseorang yang paling peduli tentang tren, maka orang itu adalah Livia. I don't give a shit about trend, dan itu satu hal lagi yang membuat kami sangat berbeda.

Aku menghela napas panjang. Aku bisa memberi banyak lagi alasan, tapi nggak akan ada gunanya, karena pada akhirnya, yang terpenting adalah getaran itu nggak pernah ada. Getaran yang kurasakan sangat kuat saat aku bersama Melody. Damn, apa aku benar-benar mengatakan kalau aku mencintai Melody di depan Livia? Why the hell did I say that?

Aku membuka mata saat terdengar suara dehaman. Fuck, Melody sudah berdiri di tengah-tengah ruangan. Itu artinya dia pasti sempat berpapasan dengan Livia karena Livia baru saja keluar. Aku langsung duduk tegak, kepalaku sibuk menyusun penjelasan agar dia nggak salah paham. Sial, tampaknya aku benar-benar jadi lembek. Sejak kapan aku ketakutan seorang wanita salah paham hingga harus bersusah payah memberi penjelasan?

"Babe, aku benar-benar nggak tahu kalau Livia akan datang ke pesta. Tadi dia mengikutiku ke sini dan bilang ingin bicara. Aku nggak mau ribut di koridor, jadi aku mengajaknya masuk. Nggak terjadi apa-apa, I swear," ucapku sungguh-sungguh, mataku menatapnya serius.

"Livia?" Melody mengangkat alis, tangannya bersedekap di depan dada, wajahnya datar tanpa ekspresi.

Shit, apa dia tadi nggak berpapasan dengan Livia? Apa aku menggali kuburanku sendiri dengan memberi penjelasan sebelum ditanya?

"Ya, Livia, kamu nggak bertemu dia barusan?" tanyaku hati-hati.

"Oh, aku bertemu dia barusan. Aku bahkan sempat mendengar pernyataan cinta yang yang sangat meyentuh hati."

Broken MelodyWhere stories live. Discover now