PART 2

46.6K 7.4K 529
                                    

 "Selamat datang." Seruan serempak bagai paduan suara menyambutku.

Mataku mengerjap menyaksikan tiga boneka barbie yang tengah berdiri di tengah-tengah ruangan. Oh, mereka bicara, jadi sudah pasti mereka bukan boneka. Tapi penampilan mereka persis seperti barbie, dengan wajah cantik sempurna, rambut pirang panjang bergelombang, kulit putih, tubuh langsing terbalut dress elegan dan kaki panjang terbalut heels.

Wow, jadi ini keluarga baru Daddy. Salah satu wanita melangkah mendekatiku, dia kelihatan lebih dewasa dari dua barbie yang lain, jadi pasti dia istri baru Daddy, Sofia. Dari yang aku tahu, usia Sofia sama dengan Daddy, 42 tahun. Tapi dia terlihat seperti perempuan yang masih berusia tiga puluhan.

Jadi dia wanita yang membuat Daddy meninggalkan Bunda. Jika disandingkan dengan Bunda, mereka mungkin akan terlihat seperti matahari dan bulan. Sama sama menawan tapi dengan cara yang berbeda. Jika Sofia mirip boneka barbie maka kecantikan Bunda adalah jenis kecantikan gadis Bali asli yang eksotis, dengan rambut hitam panjang dan kulit kecoklatan.

Well, kalau melihat Daddy sekarang, dengan wajahnya yang tampan, rambutnya yang pirang gelap dipotong pendek dan tertata rapi serta tubuh tinggi tegapnya yang terbalut setalan jas yang tampak dijahit khusus untuknya, dia memang cocok jika disandingkan dengan Sofia.

Mereka akan terlihat seperti Barbie dan Ken. Pasangan serasi. Match made in heaven. Bunda mungkin akan terlihat seperti asisten rumah tangga mereka dengan dress bunga-bunga seharga puluhan ribu yang biasa dia beli pasar seni Sukawati.

Anehnya, dulu aku selalu merasa Daddy dan Bunda adalah pasangan serasi. Mungkin karena dulu Daddy adalah sosok yang selalu mengenakan kaos, jeans belel, dengan rambut pendek acak-acakan, bakal janggut selalu memenuhi rahangnya dan gitar selalu tersandang di pundaknya. Dua belas tahun telah berlalu. Betapa waktu bisa membuat orang yang sama, terlihat sangat berbeda.

"Hai, Melody, kenalkan aku Sofia." Wanita itu mengulurkan tangan, senyum ramah tersungging di bibirnya.

Dia bicara dengan bahasa Inggris, mungkin aku bisa pura-pura nggak mengerti apa yang dia bilang agar aku nggak perlu berkomunikasi dengannya.

Sayangnya Daddy tahu pasti aku fasih berbahasa Inggris. Bisa dibilang bahasa Inggris adalah bahasa pertamaku karena sejak kecil Bunda dan Daddy selalu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi di rumah. Dengan terpaksa aku membalas uluran tangannya.

"Hai, Sofia." Aku berucap pelan. Seharusnya aku bilang nice to meet you, tapi itu sama saja dengan berbohong. Nggak ada yang 'nice' dari pertemuan seorang anak dengan perempuan yang terlibat affair dengan ayah anak itu hingga membuatnya pergi meninggalkan keluarga.

Wajah Sofia berubah mendung saat dia menggumamkan kalimat duka cita sedalam-dalamnya atas kepergian Bunda. Aku hanya mengangguk pelan. Aku tahu itu hanya basa-basi. Dia nggak mengenal Bunda untuk bisa berduka cita sedalam-dalamnya.

"Dee, kenalkan ini Livia dan Tessa, putri-putriku." Suara Daddy membuatku menoleh ke arahnya.

Aku menatapnya, sungguh-sungguh menatapnya. Putri-putrinya? Rasanya seperti ada sebilah pisau tajam ditusukkan ke jantungku. Apa dia memang sangat tidak peka hingga harus mengucapkan kata-kata itu di depanku. Seperti menaburi lukaku dengan garam hingga rasanya semakin menyakitkan.

Selama beberapa hari di rumah sakit, sebelum kepergian Bunda, Daddy sempat bercerita sedikit tentang kehidupannya di LA. Dia nggak punya anak lagi setelah menikah dengan Sofia. Livia dan Tessa adalah putri Sofia dari suami pertamanya. Namun tampaknya Daddy sudah menghabiskan waktu dengan mereka begitu lama—sejak mereka masih kanak-kanak, hingga dia sudah menganggap mereka seperti putrinya sendiri.

Broken MelodyWhere stories live. Discover now