Bab 4

41.1K 7.1K 512
                                    

Hai..hai...Melody kembali lagi untuk menemani malam minggu kalian. Selamat membaca....

 Tampaknya tubuhku benar-benar lelah karena aku tidur lelap semalaman. Aku baru terbangun saat Sofia mengetuk pintu kamar untuk mengajakku sarapan. Aku menolaknya. Pagi ini sangat cerah, dan tidur nyenyak membuat hatiku bahagia. Aku ingin perasaan itu bertahan lebih lama. Dan aku cukup yakin, perasaan itu akan lenyap begitu saja bila aku ikut sarapan dan bertemu dengan orang-orang yang nggak ingin kutemui.

Aku baru keluar kamar saat hari beranjak siang. Suasana rumah sepi, tampaknya semua orang sudah pergi. Daddy tadi pamit kerja, Sofia pergi shopping, Tessa dan Livia entah kemana, aku nggak tahu dan nggak ingin tahu. Aku berjalan tanpa arah tujuan mengelilingi rumah, langkahku terhenti saat melihat foto keluarga besar memenuhi salah satu dinding.

Mereka benar-benar gambaran keluarga Amerika sempurna. Di foto itu, Livia dan Tessa terlihat masih kecil. Daddy memeluk mereka dengan senyum lebar terkembang di bibirnya. Dia terlihat bahagia. Apa dia lupa kalau nun jauh di sana ada seorang putri yang selalu menantinya pulang?

Aku menghela napas berat, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran yang hanya akan membuatku semakin terpuruk. Aku melanjutkan langkah menuju pintu kaca yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang.

Halaman belakang rumah ternyata sangat luas, lengkap dengan kolam renang yang tampak menggoda dengan airnya yang biru jernih. Aku duduk di salah satu kursi santai lalu mengeluarkan handphone-ku.

Ada beberapa pesan dari teman-temanku di Bali yang menanyakan kabarku tapi aku mengabaikannya. Aku sedang nggak mood menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang LA atau tentang keluarga baruku. Aku membuka Instagram dan melihat feed-ku penuh dengan foto dan potongan video konser Grayson King di New York semalam.

Hampir semua temanku mengidolakan Grayson King—penyanyi pop rock yang beberapa tahun ini merajai industri musik dunia, bahkan ada temanku yang khusus terbang ke New York untuk menonton konsernya. Wow, talk about dedication.

Aku nggak akan pernah bisa memahami, nggak pernah memuja seseorang seperti itu. Well, pernah sekali, dan lihat betapa kecewanya aku saat menyadari orang yang kupuja ternyata nggak sesempurna yang kukira.

Aku keluar dari Instagram karena nggak ada hal menarik yang bisa dilihat. Musik bukan lagi sesuatu yang menarik minatku. Salah seorang asisten rumah tangga memanggilku untuk makan siang. Aku menikmati makan siangku seorang diri lalu kembali masuk kamar untuk membaca bukuku.

Setelah terbiasa hidup penuh kegiatan, hidup santai seperti ini rasanya membosankan. Di Bali, selain sekolah, aku juga kerja. Biasanya aku menari Bali untuk acara di hotel-hotel. Hampir tiap malam selalu ada job. Hal yang sangat aku syukuri karena sangat membantu keuangan kami saat Bunda nggak bisa lagi kerja. Aku berencana melakukannya lagi segera setelah aku pulang ke Bali. Aku nggak akan kelaparan, aku sudah terbiasa berjuang seorang diri mencari sesuap nasi.

Seharian ini suasana cukup kondusif hingga tiba waktunya makan malam. Semua keluarga berkumpul lagi di meja makan dan saat itulah Daddy menjatuhkan bom yang membuat mulutku ternganga.

Dengan wajah berseri dia mengatakan kalau dia sudah menelepon beberapa orang penting dan berhasil mengamankan satu posisi untukku kuliah di UCLA walau sebenarnya masa penerimaan mahasiswa baru sudah ditutup.

Apa dia sudah gila? Aku nggak akan kuliah di UCLA atau dimana pun yang jaraknya masih memungkinkan kami bertatap muka satu sama lain. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari dia dan keluarga sempurnanya.

Aku sudah menghitung hari untuk mengucapkan selamat tinggal selama-lamanya dan kembali ke Bali. Mungkin di Bali aku nggak akan bisa kuliah karena nggak ada biaya, tapi setidaknya hidupku lebih tenang.

Broken MelodyWhere stories live. Discover now