43. Sebuah Tanda

136 23 27
                                    

“Lalu, bagaimana denganku. apa kau juga mencintaiku? mana yang lebih besar cintamu padaku atau cintamu pada Hana? cecar Hyeri dengan pertanyaan yang begitu membingungkan bagi pria bermarga Baek itu. Seokjin hanya menghela napas, berkacak pinggang, dan memandang Hyeri lekat-lekat.

“Apakah yang kita lakukan malam ini masih membuatmu meragukan perasaanku, Hyeri-ya? jika aku tak cinta, tak mungkin aku kembali padamu dan mempertaruhkan rumah tanggaku. Apa bukti sebesar itu masih membuatmu tak puas? 

Jung Hyeri terdiam mendengar jawaban Seokjin dengan ekspresi cemberut. Semua yang dikatakan pria ini memang masuk akal. Kalau bukan karena cinta tak mungkin Seokjin mau lagi dengannya. Kalau boleh jujur Hyeri tak suka jika hati kekasihnya terbagi namun mau bagaimana lagi. Dia sebagai wanita kedua disini. Hanya perlu untuk terbiasa melihat Seokjin masih mementingkan wanita lain daripada dirinya. Seolah tak mau lagi berdebat tentang siapa yang ia cintai. Seokjin memilih untuk segera pamitan pada Hyeri. 

“Sayang, aku pulang dulu. Terima kasih untuk hari ini,” ucap Seokjin seraya berjalan mendekati kekasih gelapnya lalu mencium kening wanita itu lembut. Hyeri hanya mengangguk singkat. 

“Apa besok kau akan datang kesini lagi?” tanya wanita berparas cantik itu. 

“Tentu. Tenang saja. Sampai jumpa di kantor. Saranghae.” 

Semakin bayangan Seokjin semakin menghilang di antara dinding ruang tengah apartemen. Seutas senyum kebahagiaan pun terpancar jelas di wajah Hyeri mengingat momen intim yang ia lakukan bersama Seokjin. Setiap kali teringat hal itu, kupu-kupu di perut Hyeri berterbangan tak tentu arah. Yang jelas ia sangat bahagia bisa memiliki Baek Seokjin seutuhnya. Tak hanya hati saja namun seluruh raganya juga menjadi miliknya. Sayangnya, perasaan bahagia wanita ini berbanding terbalik dengan perasaan wanita lain yang merasakan sebuah kesedihan.

Park Hana duduk diam di ruang tengah sembari melihat televisi. Plester di jari telunjuk sebelah tangan kanannya menjadi bukti bahwa banyak usaha yang sudah ia lakukan untuk memasakkan makan malam. Ini kedua kalinya ia menunggu sang suami pulang melebihi jam-jam biasanya. Semua masakan pun menjadi dingin.Jam juga sudah menunjukkan pukul pukul dua belas malam lebih lima menit. Bahkan ini sudah mulai pergantian hari. Park Hana menghela napas panjang untuk menahan semua gejolak di dadanya. Matanya yang indah melihat meja makan yang penuh dengan makanan enak. Rasanya seperti dejavu. 

Bukan tanpa alasan kenapa ibu Hyunjin ini memasak berbagai macam makanan terlebih menu kesukaan Seokjin. Ini sebagai permintaan maafnya pada sang suami karena sudah  membangun pertikaian. Jika dua hari yang lalu ia langsung meluapkan emosinya namun kali ini Hana berusaha lebih tenang. Menahan semua egonya demi Seokjin. Ia hanya ingin menjadi seorang istri yang lebih pengertian tentang pekerjaan sang suami. Iya, mungkin tambatan hatinya itu pulang terlambat karena pekerjaan kantor yang menumpuk. Semakin lama ia menunggu rasa kantuk yang ia rasakan tak tertahankan. Setiap ia memejamkan mata, Hana langsung menggeleng-gelengkan kepalanya agar tetap terjaga. Tapi pada akhirnya ia kalah oleh rasa kantuk yang sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Wanita berambut panjang itu pun terlelap di sofa ruang tengah.  Hanya suara televisi yang menemani malamnya. 

Setelah menempuh perjalanan yang tak begitu jauh. Sampailah Seokjin di rumah. Pria itu tak langsung masuk. Ia diam sejenak seraya menghembuskan napas dalam-dalam di depan pintu. Tatapannya pun kosong memikirkan sang istri.  Seokjin sudah terlambat dua jam dari jadwal pulang biasanya dan dengan berat hati, pria berbahu lebar itu menekan beberapa angka dari pintu rumahnya dan sebuah sandi pun tertera. Terdengar bunyi klik sebelum pintu terbuka. Langkah kaki jenjangnya menuntun Seokjin masuk lebih dalam di rumahnya sendiri. Mata tajamnya dengan jelas melihat Hana tertidur tanpa selimut di sofa depan televisi yang ada di ruang tengah. Seokjin menarik napas untuk melepaskan rasa sedihnya. Ada perasaan tak berdaya melihat Hana menunggunya sampai seperti ini. Pria itu semakin merasa sedih karena makanan di meja yang masih utuh. Ada kebiasaan kecil yang tak bisa istrinya ubah. Hana tak akan memakan masakannya terlebih dulu sebelum suaminya datang. 

 BROKEN (MARRIAGE LIFE) Where stories live. Discover now