TIGA PULUH

3.1K 364 14
                                    

TERBIT 23 NOVEMBER 2022! Tersedia di seluruh toko buku. Ebook bisa dibaca di app Gramedia Digital. Cover Right To Fall In Love sudah ada. Aku sendiri yang menggambarnya. Di sana ada Malissa dan Lamar, si kembar, dan Einstein. Kamu bisa menyimpulkan Lamar dan si kembar pasti akan bertemu, tapi aku yang mengatur waktunya kapan.

 Kamu bisa menyimpulkan Lamar dan si kembar pasti akan bertemu, tapi aku yang mengatur waktunya kapan

Ουπς! Αυτή η εικόνα δεν ακολουθεί τους κανόνες περιεχομένου. Για να συνεχίσεις με την δημοσίευση, παρακαλώ αφαίρεσε την ή ανέβασε διαφορετική εικόνα.

"Aku menginginkanmu, Mylissa. Setiap kali melihatmu, aku menginginkanmu dalam hidupku. Aku ingin selalu memelukmu, menggenggam tanganmu." Ibu jari Lamar bergerak di bibir bawah Malissa. "Tapi sekarang, aku ingin menciummu."

My Lissa. Malissa tidak tahu apakah telinganya atau otaknya yang salah.

"Tapi...." Tapi apa? Otak Malissa tidak bisa berpikir dengan benar. Cium aku sekarang, suara hati Malissa menjerit. "Kita ... aku...."

"Aku nggak akan menciummu kalau kamu nggak menginginkannya."

Malissa yakin Lamar akan memenuhi janjinya. Tidak akan mencium Malissa kalau Malissa tidak menginginkannya. Tetapi Malissa menginginkannya dan Malissa ingin Lamar tahu. Persetan dengan nasib pertemanan mereka nanti akan seperti apa. "Kiss me, please...."

Malissa memeriksa ponselnya. Sudah pukul tujuh pagi. Tidak ada panggilan atau pesan dari orangtua maupun adiknya. Sepertinya si kembar baik-baik saja tanpa ibunya. Mendapati kenyataan ini, Malissa tidak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena si kembar semakin mandiri, tidak merindukan ibunya walaupun berpisah semalaman. Senang sebab dengan begini, mungkin satu malam sekali dalam sebulan, Malissa bisa punya waktu untuk berkencan. Kalau tidak ada pasangan, ya berkencan dengan diri sendiri.

Pukul sembilan nanti Malissa akan menjemput mereka, Malissa memutuskan. Malissa sudah tidak sabar untuk memeluk dua manusia paling penting dalam hidupnya. Sekarang Malissa masih ingin tidur lagi. Untuk pertama kali semenjak mengenal Lamar, Malissa bisa tidur pulas dengan mimpi indah. Malissa menarik selimutnya dan kembali memejamkan mata.

"Good night, Mylissa." Saat mengantar Malissa pulang, di teras rumah, Lamar mencium kening Malissa dan membirkan bibirnya berlama-lama di sana. "Masuk dan kunci pintunya."

Setelah Malissa menutup pintu dan tanda kunci diputar terdengar, baru Lamar berjalan menuju mobilnya. Malissa mengintip dari balik tirai.

Jemari Malissa bergerak ke bibirnya. Sulit dipercaya tadi malam dirinya meminta Lamar menciumnya. Ciuman kedua mereka lebih baik daripada yang pertama. Jauh lebih baik. Atau tadi malam adalah ciuman keempat? Karena pertama kali dulu, Lamar mencium Malissa tiga kali. Tidak pernah sekali pun dalam hidupnya Malissa mendapatkan rasa aman dari orang lain—lebih-lebih laki-laki. Tetapi Lamar, dengan lengannya yang panjang dan kukuh, yang mengunci pinggang Malissa, dengan dadanya yang lebar, yang bisa menjadi tempat bersandar, mampu memberikan rasa itu. Rasa yang terus dicari Malissa hingga hari ini.

Paha Lamar bagaikan dua tiang kuat yang mampu menyangga dunia Malissa yang pernah runtuh dan berhasil—dengan susah payah—dibangun kembali. Tubuh Lamar yang besar dan tinggi sama sekali tidak menghambat ciumannya. Justru memberi keuntungan. Sebab bisa menahan dan menopang badan Malissa.

Keseluruhan, Lamar sangat seksi dan tangguh. Malissa yakin Lamar akan selalu menggunakan kelebihannya untuk mencintai dan melindungi wanita yang dicintainya. Bukan menyakitinya. Sepanjang konser, Malissa meletakkan kepalanya di dada bidang Lamar. Mendengarkan irama detak jantung Lamar, yang lebih kencang daripada musik.

Lidah Lamar menjelajahi bibir Malissa, meminta Malissa membuka bibirnya. Membelai di sana. Menggoda. Tangan Lamar bergerak di sepanjang punggung Malissa. Sementara itu tangan Malissa mencari leher Lamar, mendorong kepala Lamar supaya Lamar memperdalam ciumannya. Sebuah rasa baru—Malissa tidak tahu apa namanya—bergejolak di dalam diri Malissa. Darah Malissa memanas dan mengalir cepat ke seluruh bagian tubuhnya. Saat itu, semua serpihan ketakutan, keragu-raguan, penyesalan, dan lainnya, hilang tidak berbekas.

Demi Tuhan, mereka belum bercinta. Tetapi kenapa Malissa merasa seluruh kebutuhan yang dulu tidak dapat dipenuhi Bhagas, saat mereka melakukannya, bisa dengan mudah dituntaskan oleh Lamar. Dan hanya dengan ciuman saja.

Kalau mereka adalah suami istri ... Malissa menggeleng ... pasti tadi malam mereka tidak sanggup pulang ke rumah. Terlalu jauh. Terlalu memakan waktu. Mereka akan pergi ke hotel terdekat dan menghabiskan malam di sana. Mereka tidak memerlukan baju tidur. Cukup tidak membuat kusut baju yang sedang dipakai dan mereka akan menghabiskan malam tanpa mengenakan—

"Mama!!!"

"Ma? Ma! Ma! Mamaaaaaa!!!"

Seperti ini rasanya sedang bercinta dengan laki-laki yang dicintainya, lalu tiba-tiba ada seseorang yang mengguyur tubuh Malissa dengan air dingin.

Suara-suara dari ruang tengah membuat Malissa menendang selimutnya dan bersiap untuk menyambut anak-anaknya. Namun sebelum Malissa turun dari tempat tidur, Anna dan Andre berlari masuk kamar dan berusaha naik ke kasur. Malissa mengangkat mereka dan memeluk mereka erat-erat.

"Mama kangen Anna dan Andre." Malissa menciumi wajah kedua anaknya. "Anna dan Andre kangen Mama nggak? Apa lupa sama Mama, karena main sama Tante Thea?"

"Kangen Mama." Anna menggeliat ingin melepaskan diri dari dekapan Malissa.

"Andre pulang naik apa? Nyetir mobil sendiri?" Malissa memeluk Andre, yang belum ingin beranjak dari pangkuan Malissa, erat-erat.

Andre menggeleng, senyumnya lebar sekali. "Andwe masih kecil."

"Jadi gimana Andre bisa sampai rumah? Kan Mama belum jemput."

"Sama tante terbaik di seluruh dunia dong." Alethea muncul di pintu dengan cangkir berwarna putih di tangannya. "Begitu bangun tadi mereka langsung nyari mamanya. Nggak mau makan, nggak mau main. Mau Mama."

"Tante terbaik." Malissa mendengus. "Mereka cuma punya satu tante. Anna, Andre, sini dulu, Sayang. Peluk Mama lagi."

Si kembar melemparkan diri ke pelukan ibunya.

"I love you so much, My Little Bunnies. Nggak ada siapa pun yang lebih berarti bagi Mama selain Anna dan Andre." Malissa mencium kepala anaknya satu persatu, kemudian melepaskan mereka. "Mama bikinkan sarapan, ya. Anna dan Andre bisa main dulu. Tapi harus di ruang bermain."

"Not so fast, My Beloved Sister!" Alethea menahan lengan Malissa, saat Malissa hendak meninggalkan kamar. Anak-anak sudah berlari keluar duluan. "Gimana tadi malam? Gimana Mbak ketemu sama Lamar? Mbak janji mau cerita."

Gimana tadi malam? Gimana? Malissa menggigit bibir bawahnya, mencegah dirinya tersenyum atau dirinya akan terlihat seperti remaja yang baru jatuh cinta untuk kali pertama.

"Uh, oh, Mbak blushing." Alethea mengamati wajah kakaknya dalam jarak sangat dekat.

Malissa mendorong adiknya. "Kita bisa ngobrol sambil bikin sarapan."

Di dalam kulkas, Malissa selalu memiliki beberapa makanan beku, sehat dan bergizi, yang dibuat oleh seorang ibu tunggal sepertinya. Anak mereka pergi ke day care yang sama. Pagi ini adalah waktu yang tepat untuk memanaskan dan menyajikannya untuk si kembar.

"Apaan tuh?" Alethea mengerutkan hidungnya.

"Mini egg muffins."

"Hmmhh ... pasti di dalam ada sayurannya. Kenapa para ibu suka membodohi anaknya?"

"Wortel dan brokoli." Malissa memasukkan dua mini egg muffins ke dalam microwave, kemudian bergerak mengambil buah dari kulkas. "Demi kebaikan anaknya."

"Jadi, gimana, apa Anna dan Andre bakal punya ayah baru?" Alethea duduk di kursi dapur dan mengambil pisang dari meja di depannya.

###

RIGHT TIME TO FALL IN LOVEΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα