SEMBILAN BELAS

1.7K 401 32
                                    

Ya sudahlah ya, belum bisa jadi ayah untuk anak-anaknya Malissa, jadi ayah dulu untuk kucing liar :-D :-D Jangan lupa kirimkan komentar untukku ya. Oh ya, aku jarang mengecek message di Wattpad ya. Kalau kamu ingin menyampaikan/bertanya padaku, kamu bisa menghubungiku di Instagram ikavihara :-)

Aku tunggu komentar darimu ya. Yang banyak, supaya bisa kubalas-balasi nanti hehehe.

Thank you. Love, Vihara(IG/Twitter/FB/Tiktok ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Tidak hanya bibir, sentuhan Lamar bisa menjangkau relung hati Malissa yang paling dalam. Memberi terang dan harapan di area yang tak pernah terjangkau oleh cinta. Demi Tuhan, mereka baru kenal beberapa bulan, masih bisa dikategorikan sebagai dua orang asing, tapi kenapa ketika mereka berdiri begini dekat, semua terasa familier? Terasa sangat tepat? Apakah ini karena Malissa sudah sangat lama mendambakan kedekatan dengan laki-laki dewasa? Atau karena memang Malissa memiliki perasaan khusus kepada Lamar?

Malissa melarikan tangan kanannya di dada Lamar. Menelusuri setiap jengkal. Meneliti setiap inci. Keras, hangat dan begitu hidup. Jantung Lamar berdetak di permukaan telapak Malissa. Pasti nyaman menyandarkan kepala di sini, sejenak mencari perlindungan dari kerasnya dunia. Jemari kiri Malissa terkubur di rambut tebal Lamar yang mulai memanjang. Malissa melilitkan jari-jarinya di sana, meminta Lamar lebih dalam lagi menenggelamkannya.

Saat Lamar—akhirnya—menarik wajah, Malissa mendesah tidak rela. Kenapa semuanya harus berakhir secepat ini? Malissa tidak tahu apakah besok dirinya bisa mendapatkan perhatian Lamar yang tiada batas seperti tadi.

Malissa tidak mengalihkan pandangan dari wajah Lamar. Sepasang bola mata biru yang kini menatap Malissa itu masih gelap. Hasrat menyala-menyala di sana.

"Aku nggak bermaksud ... itu kebiasaan ... I am a hugger, toucher...." Malissa membuka mulut terlebih dahulu. Sebab Malissa tidak ingin mendengar permintaan maaf keluar dari bibir Lamar. Bibir yang tadi mencium Malissa hingga Malissa tidak ingat sedang berada di mana.

"And a kisser?" Lamar berusaha menguasai dirinya. Sebab Lamar pun sama gelisahnya dengan Malissa, setelah mereka berciuman dengan penuh gairah seperti tadi, tapi tidak bisa melakukan lebih daripada itu. "Aku nggak pernah keberatan dicium wanita cantik."

Tiba-tiba amarah menggelegak di dalam diri Malissa. Bukan marah kepada Lamar. Tetapi marah kepada dirinya sendiri. Kenapa Malissa berpikir ciuman tadi istimewa, sementara itu mungkin Lamar sudah sering dicium wanita—yang cantik—sepanjang hidupnya?

Oh,Lissa. Kenapa kamu bodoh sekali, kembali termakan pesona laki-laki yang memiliki segalanya tapi tidak mau menjanjikan apa-apa kepada satu wanita saja? Sebuah suara di kepala Malissa terdengar jelas di telinganya.

Tapi Lamar bukan Bhagas. Lamar mencintai almarhum calon istrinya. Sangat mencintai sampai dia memilih untuk tidak lagi membuka hati demi membuktikan betapa besar cintanya. Hati Malissa, yang tidak pernah bisa diatur itu, mendebat.

"Kamu yang menciumku!" Malissa mendorong dada Lamar.

"Tapi kamu yang memulai—

"Bawa dia pulang!" Malissa menyurukkan kucing malang di tangannya ke dada Lamar, kemudian berjalan cepat menuju mobilnya.

"Hei, Lissa!" Seru Lamar panik. "Kenapa ... kucing ini ... gimana? Harus kuapakan?"

Namun Malissa tidak peduli. Saat ini dia tidak ingin menghadapi Lamar. Karena Malissa sangat malu. Bisa-bisanya dia mencium Lamar seperti itu. Mencium laki-laki yang masih mencintai wanita dari masa lalunya. Malissa memang mau berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan. Jika dia menginginkan Lamar, dia mau bekerja keras untuk menjadikan Lamar miliknya. Tetapi Malissa juga tahu, sulit untuk berkompetisi dengan musuh yang tidak ada wujudnya. Perlu tenaga ekstra untuk bertarung mewalan kenangan. Dan Malissa tidak tahu apakah saat ini dia punya energi lebih untuk memperjuangkan cintanya.

RIGHT TIME TO FALL IN LOVEWhere stories live. Discover now