DUA PULUH TUJUH

1.6K 326 19
                                    

Malissa tidak bisa, tidak akan, menuntut Lamar untuk mengubah perasaannya. Lamar memang mengatakan dirinya tertarik kepada Malissa, ingin mengeksplorasi segala kemungkinan, kalau dalam bahasa Lamar, tapi Malissa belum yakin hati Lamar bisa seratus persen terlibat. Sebagian besar pasti masih tertawan oleh masa lalu. Trauma di masa lalu.

"Mama tidak percaya orang bisa jatuh cinta dalam sekali lihat. Tertarik, itu bisa terjadi. Tapi cinta, cinta sejati, tidak terjadi begitu saja. Seperti orang menanam bunga dari biji. Tidak akan mekar dalam waktu semalam saja kan? Tapi memerlukan waktu. Juga harus selalu dirawat dan diperhatikan. Itu yang tidak terjadi padamu dan Bhagas."

"Apa yang mau dirawat, Ma? Nggak ada cinta di antara kami."

***

Mendapatkan jadwal kencan dari Malissa sama dengan meminta kesempatan bertemu orang nomor satu di negara ini. Susah sekali. Hingga hari ini Malissa tidak kunjung menyediakan satu malam saja untuk dihabiskan bersama Lamar. Bukan kencan, Lamar meralat, karena Malissa ingin mereka berteman. Tetapi latihan kencan. Ini membuat Lamar bertanya-tanya apa saja yang dikerjakan Malissa setiap malam. Ketika Lamar random menelepon Malissa, Malissa selalu menjawab sedang membaca buku, melipat baju, dan lain-lain. Itu bukanlah suatu kegiatan yang tidak bisa dilakukan di lain hari. Bukan kegiatan mendesak yang harus dilakukan saat itu juga. Bisa ditinggal jalan-jalan sebentar dengan teman. Apa Malissa begitu ingin menjaga jarak di antara mereka, sampai tidak mau menerima ajakan Lamar untuk pergi berdua? Atau mungkin, sama seperti Lamar, Malissa juga takut jatuh cinta?

"Aku sering lewat sini." Suara Kaisla, keponakan Lamar, yang duduk di samping Lamar di mobil double cabin, memutus analisis Lamar. "Aku kira ini toko biasa."

"Ini toko luar biasa. Nanti kamu bisa lihat sendiri." Lamar mengatur agar bak mobil tepat menghadap teras toko.

Begitu Lamar turun, beberapa relawan yang mengenalnya, termasuk Indri dan Oma Shelly, langung menyongsong dan bersahut-sahutan bertanya kenapa Lamar lama tidak datang.

"Agak sibuk. Tapi aku membawa sesuatu untuk menebusnya." Lamar membuka bagian belakang bak mobil dan mengambil satu batang bunga mawar hidup dari sana. Ada satu kuntum kuning yang sedang mekar. "Spesial untuk Oma Shelly. Dan untuk kita semua di sini."

Kaisla membantu membagi-bagikan bunga mawar dan matahari dalam polibek hitam kepada semua orang—baik relawan maupun pengunjung—yang tersenyum bahagia mendapat kejutan dari Lamar. Ucapan terima kasih bersahut-sahutan didengar Lamar. Keramaian di sekitar mobil, sesuai perkiraan Lamar, menarik perhatian Malissa dan Leah, yang bergegas memeriksa apa yang terjadi di depan toko.

"Hei, aku nggak pernah dapat bunga. Bunga hidup. Aku akan jaga ini baik-baik." Leah tertawa gembira menerima bibit bunga jatahnya dari Kaisla. "Ups, Malissa nggak kebagian."

"Punya Malissa akan kuberikan nanti malam, waktu dia pergi nonton konser denganku." Lamar menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya, mencoba menghilangkan kotoran dari sana. "Kenalkan, ini pasangan kencanku siang ini, Kaisla."

Kaisla menyikut pamannya. "Aku nggak mau kencan sama orang tua."

Lamar dan semua orang tertawa.

"Dia keponakanku tercinta," jelas Lamar.

"Terima kasih bunga-bunganya, Kaisla." Malissa mewakili semua relawan. "Pasti nanti kalau sudah mekar, cantik sekali. Bikin kami semua bahagia. Kamu kelas berapa?"

"Kelas enam."

"Umurnya masih sepuluh tahun." Lamar menjelaskan kepada Malissa, yang mungkin bisa memperkirakan usia Kaisla, tapi mendapat jawaban berbeda dari Kaisla tadi. "Dia suka belajar. Orangtuanya mau dia istirahat di akhir pekan dan melakukan kegiatan lain, jadi aku mengajaknya ke sini."

RIGHT TIME TO FALL IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang