Keluarga 8

719 87 12
                                    

Krist menggendong Fiat yang tertidur. Tangan Krist tak berhenti mengelus punggung Fiat. Krist berjalan dengan pelan agar tak menimbulkan suara yang akan membuat Fiat terbangun.

Krist masuk ke dalam kamar Fiat. Terlihat kamar yang sedikit berantakan, namun, masih terlihat bersih. Krist meletakkan Fiat dengan pelan. "Selamat tidur anakku. Jangan pikirin semuanya. Kamu harus bahagia." Krist mencium kening anaknya.

Krist mulai merapikan mainan Fiat yang berantakan. Tak lupa menata buku yang berantakan di meja belajar Fiat. Krist tertarik dengan buku yang sedang terbuka.

Krist mencoba mengambil buku itu, terdapat banyak goresan cutter. Namun, tulisan di kertas itu masih bisa terbaca.

Krist membaca pelan, "Ayah? Fiat gak tahu apa peran Ayah buat Fiat. Kenapa semua cerita harus memasukan Ayah sebagai keluarga? Fiat jadi tidak mengerti apa itu keluarga? Apa cerita di televisi itu nyata? Di dunia, tidak ada namanya keluarga. Anak Ayah ternyata satu sekolah denganku. Aku harus apa? Ya, aku hanya diam. Anak haram seperti aku gak berhak buat memarahi anak kesayangan Ayah."

Krist membalik halaman yang robek itu. "Apa aku harus pergi? Tapi bagaimana dengan Papa? Papa... ah malaikatnya Fiat. Bisa gak ya, Fiat buat bahagia Papa? Papa sudah banyak sakit karena Fiat."

Krist membuang buku itu. Dia tak mau Fiat hanya menulis, dia ingin Fiat langsung bercerita kepadanya. Krist lanjut membersihkan kamar Fiat. Tanpa Krist sadari, di buku itu ada darah Fiat yang masih tertinggal.

Pekerjaan Krist sudah selesai, dan Krist menatap Fiat yang masih tertidur. "Tunggu sebentar lagi, Nak. Sebentar lagi." Krist keluar dari kamar Fiat menuju kamarnya.

Krist ingin mandi terlebih dahulu sebelum tidur. Dia tak yakin jika Singto akan pulang malam ini. Krist masuk ke dalam kamar mandi. Mengisi bathtub dengan air hangat. Dia butuh ketenangan sejenak.

Krist masuk ke dalam bathtub, menatap kosong tembok di depannya. "Kenapa hancur? Kenapa anakku yang jadi korban? Kenapa harus anakku yang menderita? Kenapa gak aku? Kenapa anakku harus punya Ayah seperti dia?"

Krist menenggelamkan badannya. Menahan napas agar beban dan kesakitan hilang bersama air.

Tak berapa lama, Krist kembali mengangkat tubuhnya. Dia masih berpikir jernih, dia masih punya Fiat untuk dilindungi. "Hah... hah... hah..." Napas Krist tak beraturan.

Krist segera mandi dengan cepat. Dia ingin segera tidur. Selesai mandi, Krist keluar dengan pakaian tidur.

Krist melihat Singto yang sedang duduk di ranjang. Tubuh Krist terasa lemas melihat Singto.

Singto bangun dari duduknya, dia menghampiri Krist yang masih berdiri di tempatnya. Singto memeluk tubuh Krist. "Aku butuh kamu. Aku kangen sama kamu."

Krist mendorong tubuh Singto. "Aku capek. Besok saja." Krist berniat menjauh dari Singto.

Singto menarik rambut Krist. "Gak usah jual mahal. Bukannya ini yang kamu mau? Aku pulang dan puaskan nafsu kamu?"

Krist memegang tangan Singto yang menjambaknya. "Lepasin. Sakit. Kenapa gak ke pacar kamu? Bukannya kamu lebih suka sama dia?"

"Besok aku akan putuskan dia. Tapi sekarang, kamu harus puaskan aku dulu. Harusnya kamu sadar, dari dulu, aku cuma anggap kamu murahan." Singto menciumi tengkuk Krist.

Setelah puas menghirup aroma tubuh Krist, Singto mendorong tubuh Krist hingga terjatuh di ranjang. Lagi-lagi Singto menjambak rambut Krist. "Puasin aku."

Krist tak menjawab, karena kepalanya terasa sangat sakit. Mata Krist sudah berkaca-kaca. Krist ingin melawan, namun, dia ingat, jika dia melawan Singto akan melakukan hal nekat yang membahayakan Fiat.

Singto melepaskan semua bajunya. Setelah selesai, Singto melepaskan baju yang dipakai oleh Krist. Singto mengocok pelan juniornya. Tak lama, Singto menarik Krist untuk berlutut di depannya. "Hisap," perintah Singto.

Krist hanya diam, tak melakukan apa yang diperintah Singto. Krist seolah menulikan pendengarannya.

Singto yang tak sabar, membuka mulut Krist dengan paksa. Memasukan juniornya ke dalam mulut Krist dengan tergesa. Singto terus memasukan juniornya hingga membuat tenggorokan Krist terasa sakit.

Setelah puas, Singto mendorong Krist ke ranjang. Dengan tergesa, menarik tubuh Krist hingga seperti yang dia inginkan. Singto memasukan juniornya tanpa pemanasan.

Krist merasakan sakit yang teramat di lubangnya. Tangan Krist menggenggam erat sprai kasurnya. "Keluarin.... ini sakit..."

Singto tersenyum. "Teruslah memohon. Suara rintihan kamu itu buat aku semakin bernafsu." Singto mempercepat gerakannya.

"Ahhhh... kenapa kamu nikmathh ahh..." desah Singto. Singto tak peduli dengan Krist yang menahan sakit.

Singto mempercepat gerakannya, dan semakin lama, gerakan Singto semakin tak beraturan. Tanda dia akan mencapai puncaknya.

Tak lama, Singto mengeluarkan spermanya di dalam lubang Krist. Setelah puas, Singto mendorong tubuh Krist hingga tersungkur. "Aku sudah puas. Sekarang, kamu bersihkan tubuh kamu. Aku gak mau ada kesalahan lagi. Cukup anak itu yang menjadi kesalahan."

"Fiat bukan kesalahan. Dia anak aku. Jangan pernah kamu sebut Fiat sebuah kesalahan." Krist mencoba mengungkapkan kekesalan.

Singto yang mendengar perkataan Krist merasa tak terima. Singto kembali menjambak rambut Krist. "Dia sebuah kesalahan. Aku gak berharap dia lahir. Aku sudah menyuruh kamu menggugurkan, tapi apa? Kamu bodoh. Kamu tolol. Kamu pertahankan dia. Uangku habis untuk biaya melahirkan kamu. Uangku juga habis karena biaya hidup dia. Aku selalu sial karena kamu sama anak kamu."

Singto menarik Krist hingga terduduk. Tanpa aba-aba, Singto menampar Krist. Tangan Singto juga masih menjambak rambut Krist. "Ingat satu hal. Aku gak butuh anak dari kamu. Aku gak mau punya pasangan seperti kamu. Murahan. Aku berharap, kamu dan anakmu musnah."

Singto melepaskan jambakannya. Dengan cepat, Singto memakai bajunya. Dia akan keluar untuk malam ini.

Krist yang melihat Singto ingin keluar segera mengucapkan kata yang membuat Singto terdiam sejenak. "Boleh aku minta waktu kamu 3 hari? Aku cuma mau kamu main sama Fiat. Fiat kangen sama kamu."

Tanpa menatap Krist, Singto berucap, "Aku sebenarnya gak sudi bermain sama anak pembawa sial itu. Tapi, aku akan usahakan."

Singto pergi meninggalkan Krist, membanting pintu kamarnya, membuat Krist memegang dadanya karena terkejut.

Sedangkan di kamar lain, Fiat mendengarkan semua ucapan Ayahnya. Fiat terduduk lemas. "Papa bohong lagi. Katanya Ayah mengharapkan Fiat. Tapi sekarang? Ayah dengan keras bilang Fiat anak pembawa sial. Emang benar sih kalau Fiat pembawa sial. Buktinya, Papa selalu tersiksa. Papa selalu sedih karena ada Fiat. Fiat emang pembawa sial. Fiat lemah."

Fiat memeluk lututnya. "Seharusnya, Fiat gak hadir di dunia. Kenapa Fiat harus lahir sih? Kan semuanya jadi berantakan. Fiat bodoh. Seharusnya Fiat mati saja."

Tangisan Krist bersama tangisan Fiat malam ini, terdengar sangat menyakitkan. Tak ada yang tahu seperti apa takdir.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Where stories live. Discover now