Keluarga 35

693 70 24
                                    

Krist diam di kamar Fiat, melihat Fiat yang dengan mandiri memakai seragamnya. Krist tersenyum ketika melihat Fiat yang kesusahan memasukan kancing baju ke lubangnya.

"Fiat... Fiat sayang gak sama Papa?" tanya Krist dengan tiba-tiba.

"Papa tanyanya aneh. Kan Fiat sudah sering bilang. Fiat sayang banget sama Papa." Fiat tetap fokus pada kancing bajunya.

"Fiat ada rencana gak? Kalau Papa pergi, Fiat mau gimana?" tanya Krist.

Fiat menatap Krist. "Papa mau pergi kemana? Kan Papa sudah janji mau sama Fiat terus."

Krist menggeleng. "Gak, Papa cuma tanya kok."

Fiat kembali memasang kancing bajunya. "Papa tenang saja. Fiat bakal bertahan, buktikan ke Papa kalau Fiat bisa. Fiat bakal jalani hidup Fiat dan sukses. Agar bisa buat rumah yang bagus buat Papa."

"Boleh gak Papa minta peluk? Peluk yang lama banget." Krist menatap Fiat dengan penuh harap.

"Boleh dong." Fiat berlari menghampiri Krist. Fiat memeluk erat tubuh Krist.

"Yang harus Fiat tahu. Papa sayang banget sama Fiat. Setelah ini, kita coba memaafkan ya? Kita harus coba memaafkan Ayah. Kita harus berdamai. Papa gak mau, kalau Papa pergi nanti, masih ada dendam di diri Papa. Papa pengen pergi dengan damai. Saking sayangnya Papa sama Fiat, Papa gak bisa bicara apapun lagi. Kalau ini yang terakhir. Papa cuma mau bilang. Papa beruntung punya Fiat. Fiat, anak tersayang Papa. Fiat anak kebanggaan Papa. Papa sayang banget sama Fiat." Krist mencium kening Fiat.

"Pelukan Papa hangat banget. Fiat malas melepas pelukan ini, Pa. Pelukan ini beda dari biasanya. Hangat banget." Fiat semakin mengeratkan pelukannya.

"Sudah, sudah. Fiat harus sekolah. Jangan sampai terlambat." Krist melepaskan pelukannya.

Fiat tersenyum kepada Krist. Lalu menarik Papanya menuju meja yang ada kacanya. "Pa, pakaikan bedak dong. Sama rapikan rambut Fiat ya, Pa," pinta Fiat.

"Boleh, boleh." Krist mengambil bedak yang ada di meja itu. Lalu memakaikan bedak itu di wajah Fiat. Setelah selesai, Krist merapikan rambut Fiat.

Krist mencium kening Fiat. "Anak kebanggaan Papa."

"Yey sudah selesai. Ayo berangkat, Pa." Fiat menarik tangan Krist keluar dari rumah.

Krist menggandeng erat tangan Fiat. "Nanti, Papa mau belanja buat bikin roti. Setelah Papa belanja, Fiat mau kan bantu Papa buat roti?" tanya Krist.

Fiat mengangguk dengan semangat. "Mau, Pa. Fiat mau buat roti yang ada wajah Papa."

Sesampainya di sekolah, entah kenapa Fiat tak mau melepaskan genggaman tangannya. Fiat merasa, nanti tak bisa menggenggam tangan Papanya kembali.

"Pa, Fiat merasa kangen banget sama Papa. Padahal Papa masih di depan Fiat. Bagaimana kalau Papa gak ada di depan Fiat ya? Duh, makin kangen Fiat." Fiat tersenyum menatap Krist.

"Ada-ada saja kamu. Sana masuk. Belajar yang rajin, Nak. Papa sayang banget sama kamu." Krist mencium rambut Fiat.

"Fiat masuk dulu ya, Pa. Papa hati-hati ya." Fiat tersenyum sendu. Entah kenapa senyuman itu tak menenangkan.

"Siap, Bos. Sekarang masuk sana." Krist tersenyum.

Fiat berlari masuk ke dalam sekolah. Sedangkan Krist, berjalan menuju pasar. Dia akan berbelanja untuk membuat roti bersama Fiat.

Krist ingin menyeberang jalan. Jalanan saat itu begitu sepi. Krist menyeberang dengan hati-hati. Namun tiba-tiba, mobil melaju dengan cepat. Mobil itu menabrak tubuh Krist. Tubuh Krist terpental jauh.

Krist tersenyum. "Pantas pelukan tadi terasa hangat. Pantas Fiat gak mau lepas. Pantas juga aku berat melepas genggaman Fiat. Ternyata ada musibah. Setidaknya, Fiat tidak terkena musibah," Krist mengucap lirih.

Krist terbatuk, darah keluar dari mulut Krist. "Terakhir. Tuhan. Jaga anakku. Lindungi anakku. Tolong jaga dia seperti aku menjaga dia," batin Krist.

Krist mulai menutup matanya. Angin ringan mengenai pipi Krist yang penuh darah.

Gheza yang berada di dalam mobil tersenyum senang. Dialah yang menabrak Krist. "Akhrinya kamu mati. Hidup aku hancur karena Mama mertua kamu. Dia belain kamu. Seharusnya dia diam. Kamu kan yang harus menanggung akibatnya. Rasakan itu."

Gheza melajukan mobilnya dengan cepat. Dia tak ingin masuk penjara.

🌼🌼🌼🌼🌼

Ryn datang ke sekolah Fiat dengan wajah yang sudah memerah. Bahkan, mata Ryn sudah membengkak. Ryn menemui guru yang sedang mengajar Fiat.

Ryn mengetuk pintu kelas Fiat. "Permisi."

Guru itu keluar menemui Ryn. "Iya, ada apa ya, Bu? Eh, kok menangis, Bu. Ada apa?"

"Boleh saya izin membawa Fiat pulang? Ada berita duka. Papanya Fiat meninggal dunia hari ini." Ryn mengucapkan itu dengan nada rendahnya. Air mata Ryn kembali menetes.

"Turut berduka cita, Bu. Saya masuk dulu ya. Saya bicarakan dengan Fiat." Guru itu meminta izin masuk.

Ryn mengangguk. Guru itu lantas menghampiri meja Fiat. Terlihat Fiat yang menatap gurunya dengan serius.

Tak lama, Fiat membawa tasnya keluar. Fiat menemui Ryn. "Aunty, kenapa Fiat disuruh pulang? Kan belum waktunya pulang."

"Fiat maukan ketemu Papa? Fiat maukan peluk Papa? Ikut pulang sekarang ya?" ucap Ryn menahan tangis.

"Tapi, tadikan Fiat sudah ketemu Papa. Ini baru jam berapa loh, Aunty," Fiat protes.

"Ikut dulu ya. Nanti kita bahas lagi." Ryn mencoba membujuk Fiat.

Akhirnya Fiat mengangguk. Dengan wajah yang masih seperti biasa, Fiat berjalan memasuki mobil Ryn.

Ryn mulai menjalankan mobilnya. Terdengar isakan pelan dari mulut Ryn. Namun, Fiat mencoba mengabaikan. Fiat hanya berpikir, jika Auntynya sedang ada masalah.

Sesampainya di rumah. Rumah itu sudah di penuhi orang. Tetangga Fiat sudah berkumpul. Fiat melihat itu dengan wajah bingungnya.

Fiat menatap Ryn. "Aunty kenapa di rumah Fiat ramai banget? Ada acara ya? Pantes, Fiat di suruh pulang."

"Ikut Aunty ya?" Ryn menarik pelan tangan Fiat. Terlihat peti mati yang ada di tengah ruang itu.

Fiat menatap peti itu. "Aunty siapa di dalam? Kok dibawa ke rumah Fiat?"

"Fiat mau peluk Papa untuk yang terakhir gak? Peluk Papa yang erat ya? Bilang ke Papa, Fiat sayang sama Papa. Cium kening Papa Fiat ya? Tapi jangan nangis." Ryn membuka peti itu.

Terlihat tubuh pucat Krist yang berada di dalam peti itu. Fiat menggeleng tak percaya. "Ini bukan Papa, Aunty. Tadi, Papa pamitnya ke pasar. Gak mungkin Papa bohongkan? Papa itu orangnya nepatin janji."

"Peluk Papa ya? Kita kremasi Papa hari ini. Habis itu, abunya diletakkan di kamar Fiat. Biar bisa Fiat peluk." Ryn mencoba memberi pengertian kepada Fiat.

Fiat masih menggeleng. "Gak mau, Aunty. Dia bukan Papa. Papa Fiat masih hidup. Papa Fiat masih di pasar. Kita tunggu Papa Fiat pulang ya? Biar Aunty percaya." Fiat masih tetap dengan pernyataannya.

Ryn menangis semakin menjadi. Bagaimana kalau Fiat tak mau menuruti permintaan Krist yang terakhir. Krist hanya ingin dipeluk anaknya sebelum dikremasi. Ryn harus terus membujuk Fiat.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ