Keluarga 36

1.3K 101 44
                                    

Setelah membujuk Fiat, akhirnya Fiat mau melihat jenazah Krist. Air mata Fiat menetes. Tapi, dengan cepat Fiat menghapus air mata itu. Fiat memeluk tubuh Krist yang sudah terbujur kaku.

"Papa, katanya mau buat roti hari ini? Kenapa kemarin yang jadi hari terakhir kita buat roti bareng? Kali ini, Papa bohong sama Fiat. Andaikan Fiat gak lepasin tangan Papa, pasti Papa masih sama Fiat. Papa belum tepati janji Papa mau main hujan sama Fiat. Pa, bangun yuk! Buka mata Papa. Jangan tidur, Pa. Papa selalu bilang sayang sama Fiat. Tapi kenapa Papa tinggalin Fiat. Fiat sama siapa, Pa? Siapa yang bakal peluk Fiat lagi." Fiat memainkan jari Krist.

"Lihat, Pa. Fiat gak nangis. Fiat anak kuatnya Papa. Fiat nepatin janji Fiat buat jadi anak kuat Papa. Fiat gak nangis, Pa. Pelukan hangat tadi, berarti pelukan terakhir kita ya, Pa? Atau ini pelukan terakhir kita? Pa, Tepati janji Papa untuk jadi kunang-kunang. Temani Fiat, Pa." Fiat mencium pipi Papanya.

Ryn mengelus rambut Fiat. "Sudah ya. Papa sudah tidur. Sekarang, kita tunggu Nenek sama Ayah kamu ya. Sebentar lagi sampai. Setelah itu, kita kremasi Papa kamu."

Sebelum Fiat menjawab. Mama Singto masuk dengan tergesa. Mama Singto langsung menuju ke peti mati Krist.

Tangisan Mama Singto begitu menyakitkan. "Krist bangun, Nak. Bangun. Baru kita baikan kemarin, kenapa sekarang kamu tinggalin Mama? Kenapa, Nak? Jangan tinggalin Mama, Nak. Ayo bangun. Bangun, Krist. Jangan tutup mata kamu."

Fiat menyentuh tangan sang Nenek. "Nek, jangan berisik. Nanti Papa bangun. Papa sudah tidur nyenyak, Nek. Papa sudah ketemu sama Adik. Papa sudah gak sakit, Nek. Papa sudah di istana surga sama Adik."

Mama Singto menatap Fiat. "Adik?" tanyanya bingung.

Ryn mengerti pembicaraan ini. Dia harus mengakhiri percakapan ini. "Tante, ucapan terakhir ya. Habis ini, Krist di kremasi," ucap Ryn.

Ryn menatap Singto. "Ucapan terakhir, Sing. Aku tahu, di otak kamu pasti banyak pertanyaan. Nanti ya?"

Singto akhirnya mengangguk. Singto mendekat ke arah peti mati Krist. "Baru kemarin kita ketemu. Kita belum sempat berbaikan, Krist. Kenapa secepat ini? Dunia masih butuh orang sebaik kamu. Seharusnya Tuhan ambil aku. Tenang di sana, Krist. Aku akan selalu kangen sama kamu. Maaf untuk masa lalu."

Peti mati itu di tutup, lalu di bawa ke tempat untuk kremasi tubuh Krist. Proses kremasi hanya dihadiri keluarga terdekat. Saat proses kremasi, tangisan Fiat baru terdengar. Suara tangisan Fiat yang memohon Papanya untuk kembali.

🌼🌼🌼🌼🌼

Setelah proses kremasi, abu dari tubuh Krist di masukan ke dalam guci. Fiat selalu memeluk guci itu. Fiat duduk termenung, memeluk guci itu. Fiat membiarkan pintu kamarnya terbuka.

"Belum sehari ditinggal Papa, rasanya sepi banget. Pa, apa nanti kehidupan Fiat bakal sepi banget ya? Yang dulu ada Papa, sekarang gak ada Papa. Gak ada yang peluk Fiat lagi, Pa. Gak ada yang bilang, Fiat anak kuatnya Papa. Gak ada yang bilang, Fiat anak kebanggaan Papa. Gak ada lagi yang temani Fiat tidur." Fiat mengelus guci abu itu.

Singto masuk ke dalam kamar Fiat. Fiat tak menghiraukan keberadaan Singto. Pikiran Fiat hanya kepada Papanya.

"Fiat, ikut sama Ayah ya? Tinggal sama Ayah di rumah kita dulu." Singto mengelus rambut Fiat.

"Mau ya? Kita tinggal berdua. Kita mulai dari awal lagi." Singto masih terus membujuk Fiat.

"Fiat mau tinggal sendiri saja. Fiat gak mau ganggu kehidupan Om. Fiat gak mau dibilang anak pembawa sial lagi. Dulu, masih ada Papa yang tenangin Fiat waktu dibilang anak pembawa sial. Sekarang, yang menguatkan Fiat sudah gak ada," ucap Fiat tanpa menatap Singto.

"Dulu, Fiat selalu nunggu Om pulang. Fiat selalu tertidur di ruang tamu. Biar digendong Om waktu Om pulang. Ternyata, yang gendong Fiat, terus pindahin ke kamar itu Papanya Fiat. Om gak pulang. Di hari ulang tahun Fiat, Fiat berharap, Om bisa ada di samping Fiat. Tapi apa? Om gak ada di hari ulang tahun Fiat. Cuma ada Papa di samping Fiat. Dulu, Fiat pengen banget diambilkan rapot sama Om. Tapi Om ambilkan rapot anak yang lain. Fiat gak papa kok, Om. Mungkin lain kali. Dan, Papa selalu ada buat Fiat." Fiat menatap guci sang Papa.

"Saat semuanya cerita tentang keluarga mereka, Fiat hanya diam. Fiat gak tahu harus cerita apa. Setiap hari Fiat sudah cerita tentang Papa. Fiat mau cerita tentang Om, tapi Fiat gak tahu apa-apa tentang Om. Kadang, Fiat pikir, Fiat bukan anak Om. Tapi, sepertinya memang seperti itu. Fiat bukan anak, Om. Fiat cuma anak Papa." Fiat memeluk erat guci Papanya.

Singto ingin memeluk tubuh Fiat, namun Fiat melarang. "Om jangan peluk Fiat. Nanti anak Om marah ke Fiat. Kemarin, masih ada Papa yang nangisin Fiat kalau Fiat kenapa-kenapa, sekarang sudah gak ada."

"Om. Fiat sudah turuti kemauan Om loh. Fiat sudah gak ganggu hidup, Om. Kali ini turuti permintaan Fiat ya?" Fiat menatap Singto.

"Apapun permintaan Fiat, Ayah bakal turuti." Singto menatap penuh harap. Dia berharap Fiat mau bersama dengannya.

"Jaga ginjalnya Papa yang ada di tubuh Om ya. Papa ngelunasin hutang Fiat dengan ginjal Papa. Dan, Om harus janji, jangan ganggu Fiat lagi. Fiat gak mau bebanin Om lagi. Papa pernah janji, mau bahagia setelah operasi. Tapi, Papa malah pergi." Fiat menatap Singto.

"Ikut Ayah ya, Nak. Hidup sama Ayah. Ayah janji bakal jagain kamu. Ayah janji bakal jadi seperti Papa kamu." Singto memohon.

Fiat menggeleng. "Gak ada yang bisa seperti Papa. Papa sayang ke Fiat tulus. Papa gak pernah anggap Fiat pembawa sial. Cuma Papa yang gak pernah ngeluh ketika Fiat nyusahin. Om, Fiat mohon banget, jangan ganggu Fiat ya. Kita bisa hidup masing-masing."

Singto mencoba menggendong Fiat. Namun, Fiat terus memberontak. Fiat tak mau digendong oleh Singto.

"Lepasin Fiat. Lepasinnn... jangan pisahin Fiat sama Abu Papa. Lepasin, Fiat. Fiat mau tinggal sendiri," teriak Fiat.

Ryn masuk ke dalam kamar Fiat. Membantu Fiat agar lepas dari gendongan Ayahnya. Ryn membentak Singto.

"Lepasin Fiat. Kalau kamu maksa seperti ini, Fiat semakin gak mau sama kamu. Biar aku yang bujuk Fiat. Sekarang kamu pulang," usir Ryn.

Singto menatap Fiat yang memeluk erat guci abu Krist. Fiat ketakutan. Singto menatap Ryn. "Aku tunggu di depan saja ya. Aku mau jaga anak aku. Aku gak tega ninggal Fiat sendiri. Aku janji gak bakal maksa Fiat lagi."

Ryn memilih mengangguk. Dia tak ingin memperpanjang urusan.

Singto keluar dari kamar Fiat. Dengan tubuh lemah, Singto berjalan menuju kursi ruang tamu. Mendudukan diri untuk menenangkan diri.

"Krist. Lihat. Seistimewa itu kamu di mata Fiat. Kenapa kamu yang pergi? Kenapa gak aku?" ucap Singto perlahan.

Air mata Singto menetes deras. Penyesalan semakin menjadi. Rasa sayang yang belum hilang, kini kembali muncul, setelah seseorang itu pergi.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Where stories live. Discover now