Keluarga 9

624 73 4
                                    

Hari ini, Krist sudah izin kepada guru Fiat, Fiat tidak masuk sekolah dikarenakan sakit. Fiat masih tidur di kamarnya.

Krist masuk ke dalam kamar Fiat. Menatap anaknya yang masih tertidur dengan senyum tipis. "Nyenyak banget kamu tidur, Nak." Krist berjalan mendekat ke arah ranjang Fiat.

Krist mengelus rambut anaknya. "Bangun, Sayang. Kamu harus ganti perban sama minum obat. Biar cepat sembuh lukanya."

Fiat membuka matanya dengan perlahan, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke dalam matanya. "Fiat sudah bangun, Pa. Selamat pagi," ucap Fiat dengan suara bangun tidurnya. Tangan kecilnya membersihkan matanya yang masih terlihat buram.

"Selamat pagi. Ayo mandi. Mau mandi sendiri atau dimandikan Papa?" tanya Krist dengan senyum yang tak pernah luntur.

"Boleh mandiin Fiat gak, Pa? Fiat takut luka Fiat kebuka." Fiat menatap Papanya.

"Boleh dong. Ayo mandi. Jagoan harus wangi." Krist menggendong tubuh Fiat menuju kamar mandi. Saat mengisi air di bathtub, Krist meninggalkan Fiat sendiri untuk memilih baju yang akan di pakai Fiat setelah mandi.

Krist masuk kembali ke dalam kamar mandi. Terlihat Fiat yang sudah memainkan air di bathtub. "Jangan banyak gerak, Nak. Takut belum kering itu luka."

Fiat terdiam menatap Papanya, lalu tersenyum dengan polosnya. "Maaf, Papa."

"Ayo sekarang mandi. Jangan terlalu lama di air, nanti Fiat keriput loh." Krist mengambil sabun yang ada di samping kanannya.

Krist dengan telaten memandikan Fiat. Dengan perlahan membasahi tangan Fiat yang tak terbungkus oleh perban.

"Pa, ada gak yang benci ulang tahunnya? Wajar gak kalau kita benci hari ulang tahun kita?" tanya Fiat dengan tiba-tiba.

Krist memberikan sikat gigi yang sudah diberi odol di atasnya. "Kenapa tanya seperti itu? Mungkin ada, tapi selama ini, Papa belum pernah bertemu sama orang yang membenci hari ulang tahunnya. Menurut Papa, kita harus tahu dulu, kenapa dia benci hari ulang tahun dia. Baru kita mewajarkan itu atau tidak."

Fiat hanya diam. Seolah-olah perkataan Papanya sama sekali tak masuk ke dalam telinganya.

Fiat selesai dengan sikat giginya. Memberikan sikat yang berbusa kepada Krist. Krist memberikan air untuk berkumur Fiat.

"Sudah selesai, ayo keluar dari bathub." Krist berdiri dari duduknya untuk mengambil baju Fiat.

Fiat keluar dari bathub. Menunggu Papanya memberikan handuk.

Krist menyelimuti Fiat dengan handuknya. Menggosok pelan rambut Fiat yang basah terkena air.

Setelah selesai, Krist memakaikan baju Fiat, tak lupa dengan celananya. Krist menggandeng Fiat keluar dari kamar mandi. "Fiat duduk di depan kaca ya. Papa taruh baju kotornya dulu."

Krist berjalan menjauh dari Fiat. Keranjang baju kotor terletak di pojok kamar Fiat. Setelah meletakkan baju kotor itu, Krist kembali ke Fiat. Krist menata rambut Fiat dengan sabar. Tak lupa membedaki wajah Fiat.

"Sudah selesai, ayo makan, terus minum obat." Krist mensejajarkan dirinya dengan Fiat.

Krist berdiri dari duduknya, lalu menggandeng Fiat keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Fiat hanya diam, tak banyak bicara seperti biasanya.

Sesampainya di meja makan, Fiat duduk di kursinya. Duduk anteng tanpa banyak bicara.

Krist mengelus rambut Fiat. "Papa ambil makanannya dulu ya."

Fiat mengangguk. Setelah mendapatkan persetujuan anaknya, Krist berjalan menuju dapur, untuk mengambil makanan Fiat.

Krist kembali ke meja makan. Lalu meletakkan makanan di depan Fiat. "Makan yang banyak ya."

Fiat mengangguk. Tangan Fiat berusaha untuk memegang sendok.

Krist yang melihat itu, mencoba membantu Fiat. "Papa suapin ya. Biar gak sakit tangannya."

"Gak Papa. Fiat mau makan sendiri. Gak sakit kok. Nanti kalau di suapin, Fiat jadi manja. Fiat gak mau manja." Fiat masih mencoba untuk makan.

Krist tak mau memaksa Fiat. Dia ingin, Fiat yang meminta bantuan terlebih dahulu. Namun, melihat ekspresi Fiat, Krist menjadi tak tega. Krist merampas sendok Fiat. "Papa suapin. Papa gak nerima penolakan. Nanti kalau tangan kamu sudah sembuh, baru Fiat makan sendiri lagi." Krist mulai menyuapi Fiat.

Dengan telaten Krist menyuapi Fiat. Fiat tak ada lagi protes. Dia hanya menerima suapan dari Krist. Setelah selesai makan, Krist memberikan obat untuk luka Fiat.

"Ke ruang tamu yuk, sekalian Papa mau ganti perban kamu. Kamu juga bisa nonton televisi di sana." Krist tersenyum menatap anaknya.

"Ayo, Pa." Fiat berdiri. Lalu melangkah terlebih dahulu menuju ruang tamu.

"Lah, ditinggal. Dasar bocil." Krist ikut menyusul Fiat. Tak lupa, Krist mengambil perban pengganti serta cairan infus untuk membersihkan luka. Tak lupa, obat merah untuk mencegah infeksi.

Krist duduk di samping Fiat. Tangan Krist dengan perlahan membuka perban Fiat. Fiat hanya menonton televisi. Krist menatap ekspresi anaknya. Krist merasa, ada sesuatu yang Fiat sembunyikan.

Krist membersihkan luka itu dengan perlahan, agar tak menyakiti Fiat. Cairan infus membasahi tisu di tangan Krist. Tidak terasa perih, sensasi dingin di kulit Fiat. Setelah bersih, Krist membubuhkan obat merah di tisu. Dengan pelan, meratakan obat merah di luka Fiat.

"Ini mau dibungkus lagi, atau biar dibuka saja?" tanya Krist.

Tanpa mengalihkan pandangan, Fiat menjawab, "lepas saja, Pa. Biar cepat kering."

"Ya sudah, di lepas. Tapi tiap 3 jam dibersihkan ya." Krist mulai membereskan semua alat mengobati luka itu. Krist menatap Fiat.

"Kalau gak lucu jangan tertawa, Nak. Jangan dibuat-buat tertawanya," protes Krist.

"Itu lucu, Pa. Hahaha..." Fiat masih terus tertawa.

"Tertawa kamu itu dibuat-buat, Nak. Papa tahu. Kamu kenapa?" tanya Krist dengan suara pelannya.

"Fiat memang gak bisa bohongi Papa." Fiat menatap Krist dengan tersenyum. "Pa, Fiat benci hari ulang tahun Fiat. Fiat benci hari kelahiran Fiat."

"Seandainya Fiat gak lahir, semuanya gak akan kacau seperti ini. Kalau Fiat gak lahir, Papa pasti sangat bahagia sama Ayah. Benar kata Ayah, Fiat pembawa sial. Fiat cuma nyusahin. Bahkan, setiap ulang tahun, pasti pakai uang Papa untuk merayakan. Fiat gak mau ulang tahun lagi, Pa. Pa, boleh gak kalau Fiat tukarkan nyawa Fiat dengan kebahagiaan Papa? Fiat mau Papa bahagia."

Krist memeluk anaknya. Sebisa mungkin, Krist menghindari tangan anaknya. "Kalau nyawa Fiat ditukar dengan kebahagiaan Papa, semua percuma nak. Karena, Fiat itu nyawa Papa, Fiat itu kehidupan Papa. Kalau Fiat gak ada? Bagaimana Papa hidup? Iya, hidup badannya, tapi jiwanya? Sudah pergi bersama Fiat."

"Fiat harus janji sama Papa. Fiat harus jadi anak yang kuat. Fiat harus menjadi diri Fiat sendiri. Papa gak mau kalau Fiat berubah. Papa gak mau Fiat merasa kalau diri Fiat itu pembawa sial. Fiat itu anugerah buat Papa. Fiat kebahagiaan Papa." Krist melepaskan pelukannya.

"Pa, kita tunggu Ayah pulang ya. Kalau hari ini Ayah gak pulang, kita masih ada 2 hari lagi." Fiat tersenyum polos.

Krist hanya mengangguk. Dalam hati, Krist yakin kalau Singto tak akan pulang. Bagi Singto, Fiat dan Krist itu cuma benalu. Bukan prioritas.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant