Keluarga 7

726 80 10
                                    

Fiat sudah diletakkan di brankar. Krist masih setia menunggu Fiat untuk membuka mata. Tangan Fiat masih mengeluarkan darah.

Tangan Krist menggenggam tangan Fiat. "Bangun, Sayang. Jangan tinggalin Papa. Katanya mau lindungi Papa. Kenapa harus seperti ini? Apa gak sakit tangan kamu? Kalau kamu marah, bilang ke Papa. Marahin Papa. Jangan kamu lukai tangan kamu."

Perawat masuk ke dalam UGD, menghampiri Krist dan Fiat yang masih belum sadarkan diri. "Maaf, Pak. Luka anak bapak ini termasuk dalam, dan harus dijahit. Sebentar lagi Dokter yang akan menjahit luka anak Bapak datang. Saya harap Bapak dampingi anak Bapak terus ya." Perawat itu memasang infus di tangan Fiat.

"Lakukan yang terbaik buat anak saya. Saya mohon." Krist menatap Fiat dengan kasihan.

"Pasti, Pak. Kita melakukan yang terbaik untuk pasien. Infus sudah terpasang. Bapak hanya tinggal menunggu Dokter datang. Saya permisi dulu, Pak." Perawat itu tersenyum kepada Krist.

Krist mengangguk. "Terima kasih."

Perawat itu meninggalkan Krist bersama Fiat. Menunggu Dokter datang, dan menyiapkan beberapa kebutuhan.

Krist mengelus rambut anaknya. "Jangan kayak gini lagi, Nak. Kalau ada apa-apa, cerita ke Papa. Jangan di pendam. Papa tahu apa yang kamu rasa, tapi Papa nunggu kamu buat cerita sendiri. Papa mau tunggu kamu terbuka sama Papa."

Fiat membuka matanya. "Pa..." panggil Fiat dengan suara lirihnya.

Krist segera berdiri, melihat anaknya. "Fiat kenapa? Haus? Atau mau apa? Bilang ke Papa."

Fiat menggeleng. "Maafin Fiat, Fiat selalu nyusahin Papa. Fiat gak bisa jadi kebanggan Papa. Fiat cuma bisa nambahin masalah Papa."

Krist menggeleng. "Gak, Fiat gak nyusahin Papa. Fiat gak nambahin masalah Papa. Jangan berpikir seperti itu, Nak. Kalau ada masalah cerita ke Papa. Jangan di pendam. Fiat katanya mau jadi pahlawan buat Papa. Tapi lihat sekarang? Pahlawan gak ada yang nyakitin diri sendiri, Nak."

Fiat menangis. "Pa, Fiat gak mau tinggal sama Ayah lagi. Ayo kita pergi, Pa."

Krist memeluk tubuh anaknya. "Kenapa Fiat mau pergi? Katanya Fiat sayang Ayah. Kenapa mau tinggalin Ayah?"

Fiat terdiam, namun tangisan Fiat mulai mereda. "Pa... kalau cerai itu berpisahkan? Cerai itu berapa lama, Pa? Lama banget ya, Pa?"

Krist hanya diam. Tak mampu menjawab pertanyaan anaknya. Krist tak bisa berpikir untuk sekarang.

Fiat menatap Papanya. "Pa, ayo kita beri waktu Ayah 3 hari. Setelah itu, Papa harus mengurus cerai itu. Fiat mau sama Papa. Fiat mau hidup berdua sama Papa."

Krist melepaskan pelukannya. "Jelaskan kenapa Fiat minta seperti ini? Cerai bukan cuma sebulan dua bulan, Nak. Setelah cerai, mungkin Fiat jarang bertemu Ayah. Urusan dewasa, bukan urusan Fiat. Fiat masih kecil. Fiat fokus ke kesehatan Fiat saja ya? Sama fokus sama sekolah Fiat."

Fiat menggeleng. "Lagian, kalau kita bertahan, Ayah sering bertemu kita? Gak kan, Pa? Ayah selalu sibuk. Dan, mungkin Ayah lebih bahagia sama anak kecil itu. Fiat kan cuma kesalahan buat Ayah. Fiat kan anak yang gak diharapkan sama Ayah." Fiat tersenyum polos menatap Krist.

Krist menggeleng. "Gak. Kata siapa Fiat anak yang gak diharapkan? Kata siapa Ayah hak mengharapkan Fiat? Kamu salah dengar, Nak. Ayah selalu nunggu kamu lahir. Ayah bahagia waktu kamu lahir."

Fiat menggeleng, namun, senyumnya tak pernah luntur. "Papa jangan bohong. Fiat sudah dengar sendiri dari mulut Ayah. Papa selalu nutupi, seolah-olah semuanya baik-baik saja, tapi Fiat sakit lihat Papa yang menangis karena Ayah. Kalau boleh memilih, Fiat gak mau lahir, Pa. Fiat gak mau jadi bebannya Ayah."

Krist memeluk erat anaknya. "Bertahan 3 hari. Papa akan mengurus semuanya. Fiat jangan sedih lagi. Setelah ini, kita tinggal berdua bersama."

Krist mencium rambut anaknya. "Jangan cepat dewasa. Papa gak suka. Anak seumuran Fiat masih bermain, Fiat juga harus bermain. Jangan pernah pikirkan kehidupan orang dewasa. Dan, kalau dalam 3 hari, Fiat gak ketemu Ayah, Fiat jangan sedih ya. Kalau Fiat merasa capek, cerita ke Papa. Papa siap peluk Fiat. Papa siap dengar cerita Fiat."

Dokter masuk ke dalam UGD itu, diikuti perawat di belakangnya. Dokter tersenyum kepada Krist.

"Saya bius terlebih dahulu ya, Pak. Biar anaknya tidak kesakitan," ucap dokter itu menatap Krist.

Fiat memeluk Krist erat. "Gak mau. Fiat gak mau disuntik. Sakit, Pa... Pa, Fiat gak mau."

Krist mengelus punggung Fiat. "Tenang, Nak. Eh, kamu ingat cerita George? Hayo gimana ceritanya?"

Fiat menatap Krist. "Ingat. George si pemberani. Dia gak takut dengan apapun. George terus berusaha untuk membantu rakyat yang ditindas oleh raja."

Krist menatap Dokter, lalu mengangguk. Dokter yang mengerti kode dari Krist segera menyuntikkan bius.

"Tapi, George pernah gagal. Dia hampir ketangkap sama pengawal raja. Raja jahat, Pa. Fiat sebal sama raja. Seharusnya raja itu memakmurkan rakyatnya. Kalau Fiat jadi raja, Fiat akan membuat rakyat Fiat makmur." Fiat tak merasakan sakit ketika dibius. Fiat asik bercerita.

Dokter sudah selesai menyuntikan bius. Dengan cepat, dokter itu mengambil jarum dan benang untuk menjahit luka.

"Fiat suka lagu you are my sunshine kan? Nyanyi dong buat Papa. Kan biasanya Papa yang nyanyi buat Fiat," ucap Krist mencoba mengalihkan perhatian Fiat.

Fiat tersenyum menatap Krist.

You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are gray
You'll never know, dear
How much I love you.

Fiat menatap Krist. "Lanjutannya apa, Pa? Fiat lupa."

Krist tersenyum. "Please don't take. My sunshine away."

Fiat mengangguk. "Please don't take. My sunshine away."

"Pintar anak Papa. Nanti kita belajar lagi biar Fiat hafal." Krist mencium rambut Fiat.

"Sudah selesai, Pak. Untuk pelepasan jahitannya, ditunggu kering terlebih dahulu. Jangan lupa sering dibersihkan ya, Pak." Dokter merapikan alat untuk menjahit luka Fiat.

Krist mengangguk. "Terima kasih, Dok. Apakah hari ini, anak saya boleh di bawa pulang?"

"Boleh, nanti diatur jadwal untuk pertemuan selanjutnya." Dokter mengelus rambut Fiat. "Anak pintar. Cepat sembuh."

"Saya permisi, Pak." Dokter itu menyapa Krist untuk yang terakhir. Dokter dan perawat itu meninggalkan Krist dan Fiat.

Krist menatap Fiat. "Papa keluar sebentar ya, mau ketemu Aunty Ryn dulu. Fiat tidur dulu ya."

Fiat menggeleng. "Fiat gak mau ditinggal Papa."

"Sebentar, Sayang. Aunty Ryn ada di depan kok. Papa gak ninggalin Fiat. Sebentar ya," bujuk Krist.

Akhirnya Fiat mengangguk. Krist segera keluar dari ruang UGD itu, untuk menemui Ryn. Krist melihat Ryn yang menunggu di luar ruang UGD.

"Ryn," panggil Krist. Krist menghampiri Ryn.

Ryn melihat kearah Krist. "Gimana? Bocil gak papakan?"

Krist mengangguk. "Gak papa. Aku boleh minta tolong?"

"Boleh dong. Mau minta tolong apa?" tanya Ryn.

"Aku minta tolong, urus perceraian aku sama Singto. Fiat yang minta. Kamu bisakan urus secepatnya?" tanya Krist dengan senyum lelahnya.

"Bisa. Kamu tenang saja. Kebahagiaan kamu sama bocil itu yang terpenting. Kamu tenang saja. Tapi kamu sudah yakin?" tanya Ryn memastikan.

"Yakin. Ini juga permintaan Fiat. Mungkin dia sudah terlalu capek." Krist berusaha terlihat tenang.

"Oke, aku urus masalah ini." Ryn tersenyum.

Krist merasa sedikit lega. Dia tidak akan kehilangan Fiat, dan dia akan memulai hidup baru, cuma dengan anaknya.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Where stories live. Discover now