Keluarga 19

604 80 23
                                    

Krist masih setia menggenggam tangan anaknya. Sesekali, Krist mengelus dada anaknya dengan gerakan sangat pelan, agar anaknya tak merasa kesakitan.

"Pa..." panggil Fiat pelan. Bibir Fiat sudah memucat.

Krist dengan mata yang sembab menatap Fiat. "Fiat mau apa? Sakit ya, Sayang? Kamu haus? Tapi kamu gak boleh minum dulu."

Fiat menggeleng. "Sakit, Pa. Fiat mau pulang sama Papa. Fiat mau tidur sama Papa. Ayo pulang, Pa. Fiat gak mau di sini."

Krist mengelus rambut anaknya. "Fiat di sini dulu ya? Sampai sembuh. Nanti, kalau sudah sembuh, baru kita pulang. Katanya mau jadi pahlawan buat Papa. Kalau sakit, gak jadi pahlawan Papa dong. Tahan sebentar ya, Sayang. Sakit, ya? Mau papa elus lagi?"

Fiat mengangguk dengan pelan. Badannya terasa sangat sakit, dan napasnya masih tak beraturan.

Krist mengelus dada Fiat dengan hati-hati. Air mata Krist masih tak berhenti menetes. Yang dilakukan Krist, hanya mengelus, itupun tangan Krist sudah bergetar, takut Fiat akan semakin sakit karena tangannya.

"Pa, uang Papa habis karena Fiat ya? Fiat terus nyusahin Papa ya? Pa, Fiat gak mau habisin uang Papa lagi." Fiat ingin menangis, tapi ketika ia menangis, dadanya akan semakin sakit dan sesak. Fiat tahan tangisnya.

"Papa ada uang kok, Sayang. Tenang saja, ya. Pokoknya Fiat harus sembuh. Jangan pikirin biaya, ya?" Krist tersenyum tipis untuk Fiat.

Ryn yang sedang menunggu di luar UGD hanya mampu menatap orang yang berlalu lalang. Ryn sudah membayar semua biaya rumah sakit.

"Kenapa sih, hidup Krist gini banget? Gak bisa apa keluarga tuh laki bikin tenang Krist," Ryn berbicara pelan agar orang-orang tak mendengar gerutuannya.

Krist keluar untuk menemui Ryn, mau bertanya tentang pembayaran rumah sakit. Krist berdiri di samping tubuh Ryn. "Jangan ngedumel, gak baik."

Ryn menatap Krist. "Aku sebal sama mantan kamu. Kamu sama dia sudah pisah, tapi kenapa sih, keluarga itu setan masih saja mengganggu. Kemarin kamu hampir mati, sekarang bocil."

Krist menatap Ryn dengan tanda tanya. "Siapa yang kamu maksud? Siapa yang lukai Fiat?"

"Anak setan wanita," ucap Ryn dengan nada emosinya.

Krist menghela napas. "Padahal, aku lepasin Singto buat dapat ketenangan. Tapi, dia sepertinya tidak mau lihat aku tenang. Ada saja yang dia lakuin."

"Kamu harus laporin itu orang Krist. Biar gak seenaknya nyakitin orang." Ryn berdiri di depan Krist.

"Buat apa? Aku pengen lepas dari dia. Kalau laporin dia, semakin aku ada hubungan sama dia. Semakin gak tenang hidup aku. Aku bisa bongkar semua keburukan dia, aku bisa laporin dia. Tapi, aku gak mau. Semakin aku berbuat seperti itu, orang gak punya otak itu akan semakin nekat. Aku cuma pengen tenang. Biar dia capek sendiri." Krist tersenyum sedih menatap Ryn.

"Ya sudah, kalau kamu butuh bantuan buat lapor, bilang ke aku." Ryn mengelus pundak Krist.

Krist mengangguk. "Aku mau tanya biaya operasi Fiat. Bayarnya dimana? Kamu udah di kasih tahu biayanya kan? Berapa?"

"Sudah aku bayar lunas. Sekarang, kamu cuma perlu fokus ke kesehatan bocil." Ryn tersenyum.

"Gak enak, aku selalu ngerepotin kamu. Nanti aku ganti ya, tapi aku cicil gak papa kan?" tanya Krist.

Ryn tersenyum lalu menarik tubuh Krist. "Sekarang masuk. Bocil butuh kamu. Pasti dia kesakitan banget." Ryn mendorong tubuh Krist untuk masuk kembali ke ruang UGD.

Krist masuk kembali dan duduk di samping Fiat yang menatapnya. "Kenapa, Sayang?"

Fiat menggeleng pelan. "Pa, janji ya, jangan apa-apain Anne. Fiat gak mau makin dibenci sama Ayah."

Krist mengelus rambut Fiat. "Jadi, kamu sering terluka karena dia? Kenapa gak bilang?"

"Fiat cuma gak mau Papa kepikiran. Fiat juga gak mau nambah beban buat Papa." Fiat tersenyum lemah.

"Sudah, jangan dipikirkan, Sayang. Papa selalu ada uang kok, kalau buat Fiat. Jangan mikir Fiat itu beban buat Papa ya. Cuma Fiat yang Papa punya." Krist mengelus rambut Fiat.

"Pa, dada Fiat makin sakit." Air mata Fiat akhirnya menetes.

"Sebentar lagi ya. Habis ini, Fiat gak ngerasain sakit lagi. Papa janji." Krist menyentuk kening Fiat. Tubuh Fiat mulai memanas. "Dingin ya, Sayang?"

Fiat mengangguk. "Pa, kapan ya kita bahagia? Apa gara-gara Fiat, kita gak bahagia?"

"Gak, jangan bilang begitu. Kita bakal bahagia kok. Belum waktunya, Sayang."

"Papa kalau pergi pengen jadi kunang-kunang, Fiat pengen banget jadi kupu-kupu yang indah, yang temani Papa terbang. Nanti kita terbang sambil gandengan ya, Pa." Fiat menatap Papanya dengan tersenyum.

"Iya, nanti kita gandengan terbangnya. Sekarang, Fiat istirahat ya. Masih sesak kan kalau bicara?" Krist mengelus dada Fiat.

Fiat memejamkan matanya. Ngantuk mulai melanda Fiat. Napas Fiat masih terasa berat.

Krist menangis dalam diam. Tangan Krist membekap mulutnya, agar tak mengeluarkan suara. Air mata Krist mulai membasahi pipinya kembali.

"Cepat sembuh, Nak. Jangan seperti ini lagi. Papa sakit lihat kamu terbaring di rumah sakit lagi. Papa gak masalah dengan uang, tapi Papa takut, kamu pergi ninggalin Papa. Papa takut, Papa gak bisa lihat senyum kamu lagi. Papa takut, takut semuanya, Nak," batin Krist.

Kepala Krist terasa sangat sakit karena menangis terus-menerus. Namun, dia harus tahan untuk mendampingi Fiat.

Krist menggigit tangannya, karena tangisnya tak terbendung lagi. Sangat sakit melihat anaknya yang susah bernapas. Wajah Fiat pun sudah memucat.

"Bertahan, Nak. Bukan Papa egois gak mau kamu pergi. Tapi, Papa belum siap. Lebih baik orang tua yang pergi dulu, daripada anaknya." Krist menggigit tangannya semakin kencang.

Fiat berkeringat. Tangan Krist segera menghapus bulir-bulir keringat yang ada di dahi Fiat. "Sakit banget ya, Nak? Tahan ya?" ucap Krist pelan.

Fiat kembali tidur dengan sedikit tenang, dan Fiat masih berusaha untuk bernapas. Krist diam, agar tak mengganggu tidurnya Fiat.

🌼🌼🌼🌼🌼

Keluarga [ Singto x Krist x Fiat ]Where stories live. Discover now