44

1K 30 5
                                    

"Tapi, Pa. Aku nggak salah, dia yang salah, dia selalu dekat-dekat laki-laki, apalagi sama 'dia!" Sentak Syam. Tangannya bergantian menunjukkan ke arah Nadhira juga Syarif.

"Kamu–" Syarif hendak memukul Syam. Namun, segera dicegah oleh Sandra juga Deandra.

"Cukup! Syam, Syarif!" Bentak Syamsuddin pada kedua putranya.

"Mulai sekarang, Dhira nggak usah masuk kantor dulu," ucap Syamsuddin.

"Tapi, Pa–" Nadhira hendak membantah keputusan ayah mertuanya, karena kalau dia tidak bekerja, bagaimana Nadhira bisa membantu ekonomi keluarganya di kampung. Terutama Dedenya, yang sudah sangat senja.

"Keputusan Papa sudah final, Dhira. Kamu khawatir dengan uang bulanan Dede kamu kan? Jangan khawatir, setiap bulan, insyaaAllah Papa akan penuhi semuanya," jelas Syamsuddin. Penjelasan Syamsuddin, membuat dirinya lega.

"Kamu!" Tunjuk Syam pada Nadhira.

"Besok, pekerjaan Dhira di hendle oleh Amel, dan juga soal marketing, Papa serahkan sama Syarif, ada lagi yang mau ditanyakan?"

"Nggak pa," sahut Syarif.

"Cih! Pinter banget cari muka, biar bisa jadi CEO," sindir Syam.

"Heh! Kamu ini kenapa Syam, dengar ya, tak terbesit pikiran aku buat rebut jabatan itu dari kamu, lihat diri kamu! Orang seperti ini mau jadi CEO, hancur sudah perusahaan!" Sahut Syarif.

"Kau!" Sanggah Syam. Mengepalkan kedua tangannya.

"Syam, Syarif! Tak habis-habisnya kalian, jabatan itu Papa berikan untuk anak Papa, yang Papa rasa layak mendapatkan jabatan itu, Papa nggak mau perusahaan keluarga, yang Papa bangun susah payah, hancur di tangan orang yang gila jabatan, gila hormat, congkak, dan bermalas-malasan," sahut Syamsuddin.

Kali ini tak ada sanggahan lagi dari Syam, persidangan keluarga pun ditutup dengan permintaan maaf ketiganya. Namun, sayangnya Syam masih bergeming dan memilih untuk naik duluan, Nadhira naik ke atas, menyusul suaminya.

Brak!

Suara bantingan pintu, membuat Nadhira terjingkat, kaget. Syam duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya kasar. Menunggu Nadhira sedikit mendekat padanya.

"Heh! Perempuan, kau senang kan? Aku kena marah sama Papa, kau senang, kan?" Cecar Syam.

"Ngomong apa lagi sih kamu ini?"

"Kau sudah kukasih kartu untuk nafkah kau, kenapa kau mempermasalahkan uang bulanan untuk Kakek kamu di kampung!" Sentak Syam. Yang berakhir dengan lengkingan di akhir kalimat.

Nadhira berjalan ke arah tas yang biasanya ia pakai, kartu hitam, bertuliskan nama suaminya dari salah satu bank besar di negaranya, ia tahu, kartu yang diberikan suaminya, termasuk kartu prioritas. Mengeluarkan kartu itu dari dompetnya.

Perempuan bermata hazel itu meraih tangan suaminya, meletakkan kartu hitam itu di telapak tangan suaminya. Dengan tatapan mata terus menatap dalam-dalam ke arah mata suaminya.

"Aku nggak pernah pakai uang yang ada di dalam. Aku masih bisa pakai uangku sendiri," tegas Nadhira.

Suara gigi yang diadu membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa ketakutan, tetapi tidak dengan  Nadhira kali ini. Ia berusaha memberanikan diri untuk terus menatap suaminya, meskipun suaminya sedang marah. Tatapannya berubah menjadi lembut, tidak tajam, melainkan berusaha mencari secercah harapan atas keutuhan rumah tangganya.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, kenapaa?" Teriak Syam. Kemudian ambruk ke lantai, seolah kakinya tak ada penyanggah.

Laki-laki berkulit putih, dan tak begitu kekar itu, menangis histeris. Ia merasa gagal menjadi suami, Syam marah dengan dirinya sendiri. Melihat suaminya terduduk di lantai dan menangis membuat Nadhira ikut menangis. Nalurinya membawanya untuk merengkuh tubuh suaminya, membawa Syam ke dalam pelukannya.

Syam melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nadhira, menenggelamkan wajahnya ke dada Nadhira, masih dengan Isak tangisnya.

"Aku cuma mau memenuhi kewajiban aku sebagai seorang suami, menafkahi istri, aku juga nggak tahu, kenapa aku cemburu, sangat cemburu melihat kamu dengan laki-laki lain, aku tahu aku salah, aku tahu aku kasar, aku emang nggak pantas buat dicintai, aku emang nggak pantas mendapatkan kamu, kamu baik, kamu salihah." Syam memukul-mukul kepalanya keras, di sela-sela tangisannya.

Membuat Nadhira iba dengan Syam. Nadhira menarik kedua tangan Syam dan melingkarkan kembali pada pinggangnya. Membiarkan suaminya merilis semua emosinya.

Setelah sedikit tenang, Nadhira menciumi kepala, kening, dahi, pipi dan semua bagian wajah suaminya. Mendudukkan Syam dengan posisi yang nyaman. Keduanya sesekali masih mengusap air mata, Nadhira dibuat terharu dengan luapan emosi Syam yang tak terduga.

Nadhira mendekatkan tubuhnya, kedua pasang mata itu saling beradu, hangat. Sangat hangat. Nadhira menelangkupkan kedua tangannya ke wajah suaminya lembut.

"Bimbing aku ke surga-Nya, jalankan peran kamu dengan baik, aku akan mencoba untuk menjadi istri yang menjalankan perannya dengan baik juga," ucap Nadhira. Dengan senyum tipis.

Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Syam, tangannya menarik Nadhira kedalam pelukannya lagi. Dalam hati, Syam sangat bersyukur Nadhira memberikannya kesempatan sekali lagi, untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami.

Keharmonisan rumah tangga itu terletak pada kepimpinan seorang suami, apabila suami menjalankan perannya dengan baik, makan makmum akan mengikutinya. Kehidupan rumah tangga memang dipenuhi dengan ujian, pasang surutnya sebuah hubungan terletak pada pasangan.

"Kalau merasa ada yang perlu didiskusikan, bilang baik-baik, Mas. Jangan bentak-bentak ya, Dhira nggak suka di bentak-bentak," cicit Nadhira. Mendongakkan kepalanya menghadap wajah suaminya.

Cup!

Kecupan singkat pada bibir Nadhira, membuat pemiliknya membulatkan kedua matanya. Karena ia belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Bahkan melakukan hubungan suami istri pun belum, Nadhira masih takut, sedangkan Syam, masih dikuasai oleh ego untuk tidak menyentuh istrinya lebih jauh, karena pernah berkata tidak akan jatuh cinta pada istrinya. Sedangkan sekarang, ia menelan perkataannya sendiri. Syam sangat mencintai Nadhira, dan takut untuk kehilangan Nadhira.

"Maafin aku," ucap Syam. Dengan dagu bersandar pada kepala Nadhira. Nadhira mengeratkan pelukannya, sebagai jawaban.
**

"Alexa! Apa yang kamu lakukan disini?" Syam kaget, karena Alexa sudah memakai handuk baju, seperti kimono di sampingnya. Kepala Syam sangat pusing, ia tak ingat apapun.

"Kamu yang ngapain aku, Syam! Kamu memaksa aku untuk–" perkataan Alexa terpotong oleh sahutan Syam.

"Nggak! Nggak mungkin!" Sahut Syam. Kemudian berdiri, dan meninggalkan Alexa sendiri di ranjang.

Setelah melihat Syam berlalu, Alexa mengeluarkan ponselnya, melihat video dirinya dengan Syam.

[Aaahh jangan Syam, aku malu, sayaang. Jangan paksa aku, aaahh]

Setelah melihat sebagian isi video yang ia rekam sendiri dengan membayar salah satu staff, seolah dirayu dan dipaksa untuk melakukan hubungan intim.

"Kamu nggak akan bisa kabur dariku Syam, hanya aku yang akan menjadi nyonya Syam Mahardika," ucap Alexa. Bermonolog dengan dirinya sendiri. Diikuti senyum smirk, Penuh kemenangan.
**

"Tega kamu! Kenapa kamu melakukan ini, kenapa! Jijik, tahu nggak!"

NADHIRA CHAIRUNNISAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant