04

1.4K 66 3
                                    

"Dede, kami pamit dulu, ya." Nadhira dan Syam bergantian untuk mencium punggung laki-laki berusia senja itu.

"Iya, hati-hati. Nanti kalau sudah sampai kota, kabarin, ya." Pesan Ali pada kedua cucunya.

Kendaraan beroda empat itu, melaju semakin jauh dari rumah Ali. Sepanjang jalan hanya ada alunan lagu. Tak ada satu pun diantara mereka yang mau mengawali pembicaraan. Nadhira menikmati pemandangan dari balik jendela mobil, rinai hujan mengiringi perjalanan mereka. Sesekali melirik laki-laki yang berada di belakang kemudi.

'Emaknya ngidam apa sih, anaknya bisa sedingin ini.' batin Nadhira.

"Nggak pernah lihat cowok ganteng? Matanya biasa aja," sahut Syam. Tahu kalau sedari tadi diperhatikan oleh Nadhira. Nadhira malu, kepergok telah memperhatikan pria di sampingnya.

"Alhamdulillah, ternyata bisa ngomong. Saya kira–" Nadhira mengusapkan kedua tangannya ke wajah, dan tak melanjutkan perkataannya. Ia langsung sadar, enggak boleh ngomong kasar sama orang. Kalau enggak mau di kasarin.

"Jangan kurang ajar, ya. Tunggu perhitungan saya," ancam Syam. Dengan mata tetap fokus ke depan.

Nadhira, memilih untuk diam, untuk berjaga-jaga. Karena suaminya ini penuh misteri, memperlakukan orang mengikuti moodnya. Tak ada yang bisa dilakukan untuk membunuh waktu selain tidur. Ya, Nadhira memilih untuk tidur, menatap jalanan dengan berjejal kendaraan, membuatnya pusing.
**

Nadhira, membuka matanya perlahan. Mobil yang ditumpanginya memasuki gerbang besi putih tinggi, dengan pohon Casuarinaceae yang berjajar rapi dan beberapa pohon lainnya, menambah kesan asri halaman. Carport dengan berbagai jenis mobil ada di dalamnya. Sampai tibalah mereka di depan pintu masuk,  berwarna putih juga. Rumah ini di dominasi warna putih dan pastel. Di luar pintu sudah ada dua perempuan dan juga dua laki-laki yang menyambut mereka. Salah satu dari mereka membukakan pintu untuk Nadhira.

"Selamat datang, Nona, Tuan," sapa perempuan paruh baya.

"Hm, urus dia." Es batu berkedok manusia itu memerintahkan dua wanita itu mengurus Nadhira. Dan berlalu begitu saja.

"Mari, Non,"

"Dhira saja, Bu. Nggak usah pakai Nona," sanggah Nadhira. Tidak nyaman di panggil nona.

Wanita separuh baya itu, tersenyum pada Nadhira, dan mengenalkan satu persatu orang yang berdiri di sampingnya.

"Baik, kenalkan ini namanya Sasa. Sasa, yang akan membantu mengurus keperluan Nona Dhira, jadi kalau memerlukan apa-apa anda bisa mencari Sasa, Nona." Wanita itu mengelus punggung wanita yang lebih muda darinya.

Nadhira mendengus kasar, karena wanita yang lebih tua darinya itu masih menyebut dirinya dengan embel-embel 'Nona'.

"Kenalkan Nona, saya Sasa. Yang akan mengurus keperluan Nona," ucap wanita itu. Memperkenalkan diri.

"Laki-laki yang berbaju hitam itu adalah Pak Toto sebagai sopir Keluarga, sedangkan yang masih membawa gunting tanaman itu  Andre, anaknya Pak Toto, yang membantu merapikan taman, sedangkan saya sendiri Tia, yang mengurus rumah ini, Nona," ujar Tia.

"Baik, formal sekali, ya. Hahaha ... Kenalkan saya Nadhira Chairunnisa, kalian bisa panggil Dhira saja, enggak usah pakai embel-embel, 'Nona. Oke?"  Kali ini Nadhira memperkenalkan diri kepada mereka, sengaja menekan kata nona, agar mereka tidak memanggilnya dengan sebutan itu.

"Tidak bisa, Nona. Itu sudah tugas kami, kami harus memanggil anda dengan itu," sergah Tia. Yang diikuti dengan anggukan kepala yang lainnya.

"Kalau begitu, waktu tidak ada orang. Kalian wajib memanggil saya dengan panggilan nama saja. Ok." Nadhira membentuk bulatan dengan menyatukan ibu jari dan telunjuknya.

Sasa mengantarkan Nadhira ke kamarnya. Nadhira hanya membawa beberapa potong baju saja dari rumah Ali. Karena sebagian baju ada di rumah kontrakan yang ditinggalinya bersama Nia.

"Ini kamar Tuan Syam, dan Nona Dhira." Sasa membukakan pintu kamar untuknya.

"Tu–tuan Syam?" Sorot matanya seakan meminta penjelasan.

Bagaimana bisa dia harus sekamar dengan Syam, manusia kulkas empat puluh pintu itu, ia pikir akan mendapat kamar terpisah dari Syam, melihat Syam tidak setuju dengan perjodohan ini.

"Iya Nona, masak terpisah. Kalian kan sudah suami istri," goda Sasa. Nadhira tersenyum malas ke arah Sasa.

"Baik, Nona. Saya permisi dulu, ya. Nanti kalau butuh apa-apa silakan cari saya." Sasa meninggalkan Nadhira sendirian di ambang pintu.

Dinding putih yang dipadukan dengan warna abu-abu juga wallpaper dinding itu menambah kesan elegant kamar ini. Nadhira memasuki kamar, dan menutup kunci. Matanya menjelajahi detail dari kamar ini. Tak ia jumpai, pria bermata hitam, dengan gummy smile itu.

Nadhira mendaratkan tubuhnya di kasur, tetapi baru juga beberapa detik. Suara barinton itu mengagetkannya.

"Siapa yang nyuruh kamu disitu?" Syam muncul dari pintu kamar mandi, ternyata laki-laki itu mandi. Padahal di luar baru saja selesai hujan.

"I-inikan kamarku juga," ucap Nadhira gugup.

"Minggir, kamu tidur di sofa. Ini kamar saya," ucap Syam. Tak mau kamarnya di klaime milik Nadhira juga.

Nadhira berpindah ke sofa, tidak mau berdebat dengan Syam. Ia keluarkan ponsel miliknya dan mencari nomor Nia. Mengirimkan pesan untuk sahabatnya itu, memberitahu kalau besok sepulang kerja, ia akan mampir untuk membawa barang-barangnya.

"Hei ...,"
"Hei ...." Nadhira melirik ke arah Syam, sengaja tidak menjawab panggilannya. Karena dia merasa mempunyai nama, namanya bukan 'hei'.

"Kamu nggak mandi? Jangan buat kamar Saya bau busuk, ya!" Cela Syam.

"Ish, itu mulut pengen aku semprot pakai obat nyamuk," umpat Nadhira. Namun kata-kata itu hanya terhenti di tenggorokan. Nadhira masuk ke kamar mandi.
**

Nadhira sudah siap dengan baju kantornya, hari ini akan bekerja di resort indah permai.

"Morning, Bu Tia, Morning Sasa." Nadhira menyapa kedua wanita yang menyambutnya sewaktu ia datang.

"Morning, Nona," jawab Tia dan Sasa bersamaan.

"Nona, langsung ke meja makan saja, sudah di tunggu Tuan besar sama Nyonya," ucap Tia.

Nadhira kaget, ternyata ia satu rumah dengan mertuanya, padahal kemarin tak ada satupun orang dalam rumah ini. Selain dua orang yang disapanya tadi. Juga laki-laki yang ada di depan sekarang.

"O-oh ... Baik, Bu." Nadhira bergegas ke ruang makan, dan di sana sudah lengkap dengan penghuni rumah.

"Morning, Pa, Ma, Tiara," sapa Nadhira.

"Morning, Dhira. Duduk," jawab Syamsuddin.

"Nggak tahu malu, perempuan bangun lambat," sindir Sandra. Melirik tajam ke arah Nadhira.

Baru ingin menyanggah perkataan Mama mertuanya, tangannya sudah digenggam Syam, kencang. Nadhira meringis, kesakitan.

"Sakit, lepasin!" Bisik Nadhira pada Syam.

"Jangan kurang ajar sama Mama, ya!" Balas Syam. Semakin meremas tangannya. Nadhira mengulas senyum, kepada semua penghuni rumah. Setelah selesai sarapan, Nadhira membantu Bu Tia dan Sasa mencuci piring.

"Dhira, mulai hari ini kamu jangan membereskan kamar resort, hari ini Papa kenalkan kamu sebagai menantu, pada staff," ujar Syamsuddin.

"Uhuk!" Nadhira tersedak. Mendengar perkataan Syamsuddin.

"Ma-maksudnya gimana, Pa?" tanya Nadhira pada Syamsuddin.

"Kamu kerja di Resort Indah Permai, kan?"

"Iya, baru dua minggu, Pa,"

"Itu Resort Papa, perusahaan keluarga kita." Mata hazel itu hampir saja copot. Tak menyangka kalau dia jadi menantu pemilik resort tempat ia bekerja.

"Eh, nggak papa, Pa. Dhira nggak enak sama staff yang lain," tolak Dhira.

"Sudahlah, Pa. Memang sesuai dengan  perempuan itu, kerja bersih-bersih seperti itu," sahut Sandra. Dengan wajah ketus.

'Sabar-sabar ... Masuk kandang Mak Lampir emang seperti ini, Dhira," batin diri. Menenangkan dirinya sendiri.

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now