31

1K 45 4
                                    

Sang surya mulai memperlihatkan eksistensinya, semua penghuni bangunan yang didominasi warna putih ini sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. Nadhira menyiapkan keperluan Syam, kemudian membantu perempuan paruh baya, yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri memasak untuk anggota keluarga yang lain.

"Deandra! Papa bicara sama, kamu!" teriak Syamsuddin. Namun, gadis berambut sebahu itu tetap acuh dan naik ke lantai dua.

"Pah," cegah Nadhira pada Syamsuddin. Yang hendak menyusul anak bungsunya.

"Papa serba salah, Dhira. Menegur salah, Papa diam juga salah," keluh Syamsuddin. Nadhira pamit untuk naik ke lantai dua, menyusul adik iparnya itu ke kamarnya.

Tok tok tok

"Dee, Kakak boleh masuk nggak?" Nadhira meminta izin pada Deandra. Karena kamar, termasuk privasi, meskipun itu adalah milik keluarga kita sendiri.

"Dee nggak mau diganggu kak, Dee butuh waktu sendiri," sahut Deandra dari balik pintu.

"Dee ... Lima menit aja, boleh?" Nadhira sedikit memaksa, karena ia melihat mertuanya sedih, dan merasa menyesal karena tidak bisa merangkul keluarganya sendiri.

"Iya,"

Akhirnya, Nadhira mendapat izin dari Deandra untuk masuk ke dalam kamarnya. Nadhira membantu melipat baju yang disiapkan Deandra, dan akan dibawanya nanti.

"Dee," panggil Nadhira. Masih dengan baju di tangannya.

"Hmm,"

"Kamu menginap berapa hari di rumah teman kamu?"

"Entah, Kak. Di rumah ini sudah tidak ada yang peduli pun dengan Dee, Papa-Mama sibuk mengurus Kak Syarif dulu, setelah Kak Syarif pergi, mereka ngurus Kak Syam. Sekarang–"

Deandra menaikan kedua bahunya, meminta Nadhira untuk menjawab sendiri, fokus orang tuanya tertuju pada siapa.

"Mama-Papa itu sayang sama kamu loh, Dee,"

"Kalau sayang, kenapa Dee selalu seperti orang asing di rumah ini, Kak?"

Nadhira menghela napas berat, sebelum menjawab keluh kesah adik iparnya. Menasihati orang yang merasa sudah cukup tahu tentang dirinya memang membutuhkan pendekatan yang ekstra. Merasa dirinya benar, dan tutup telinga dengan nasihat yang datang kepadanya. Seperti gelas yang terisi air tiga seperempat, gampang goyang.

"Setidaknya kamu masih mempunyai orang tua, Dee. Kakak sudah nggak ada orang tua, Kakak sedih tahu, melihat Papa tadi, Papa tadi waktu Dee tolak gitu aja, sedih tahu," ujar Nadhira.

Deandra menghentikan aktivitasnya, mencurahkan semua isi hatinya pada Nadhira. Untuk sekarang memang lebih baik menjadi pendengar yang baik. Menasihati orang yang lagi kasmaran, sama saja seperti buih di lautan, percuma.

"Iya, Kakak tahu perasaan kamu, Dee. Kakak cuma mau, kamu tahu satu hal.  Kak Syarif, Kak Syam, Papa, Mama, Kakak. Kita semua sayang sama Dee," ucap Nadhira. Tulus.

Deandra langsung memeluk Nadhira, hubungan kedua kakak beradik, semakin erat, meski tak sedarah.

"Kamu berangkat jam berapa?" tanya Nadhira. Melepas pelukannya.

"Dee langsung berangkat, Kak. Habis ini,"

"Nggak sarapan dulu, Kakak capek tahu masak makanan kesukaan kamu." Nadhira memanyunkan bibirnya.

"Uluh-uluh, capek ya? Dee, bawa boleh? Buat sarapan di kampus nanti," sergah Deandra. Mengelus wajah kakak iparnya.

"Of course, boleh. Kakak siapin ya." Nadhira beranjak dari tempat duduknya.

"A a a, Jangan lama-lama tahu, nginep di rumah teman kamu, nanti Kakak kangen," cicit Nadhira. Sebelum keluar dari kamar Deandra.

Deandra tersenyum, sebagai jawaban. Ia sangat bersyukur, Nadhira hadir dalam hidupnya, kekosongan yang selama ini ia rasakan, terisi oleh kehadiran Nadhira.

Sementara itu di dapur, Nadhira menyiapkan bekal untuk dibawa Deandra ke kampus, nasi, ayam teriaki kesukaan Deandra, dan sayuran. Ia kemas seperti bekal makanan di Jepang. Agar yang menikmati tambah semangat. Tak lupa ia menyelipkan noted, yang berisikan kata-kata penyemangat dan perhatian diatas tutup bekal itu.

"Kakak," panggil Deandra. Menghampiri Nadhira ke dapur.

Kedua wanita itu mendapat tatapan heran seisi rumah. Deandra menatap keluarganya acuh. Sedangkan Nadhira, tidak enak dengan tatapan Ibu mertuanya padanya, seoalah menyimpan dendam.

"Pantas saja, kelakuannya seperti itu, gaulnya dengan perempuan tak ada Marwah!" sindir Sandra.

Brak!

Deandra menggebrak penyekat yang memisahkan dapur Dengan perabot yang lain, dan ingin melabrak ibunya sendiri. Namun, dicegah oleh Nadhira. Nadhira menggelengkan kepalanya pelan.

"Dee, berangkat dulu, Kak," pamit Deandra. Setelah menerima bekal yang dibuat Nadhira.

"Iya, hati-hati," jawab Nadhira.

Berbagai hidangan sudah tersaji di meja makan. Hening, suasana menjadi hening. Semua orang hanya fokus untuk menghabiskan makanan yang ada di piringnya masing-masing.
**

"Sayang, Dee tadi cerita apa saja?" tanya Syam. Tatapannya fokus ke depan. Sedangkan salah satu tangannya memegang tangan Nadhira.

"Ya gitulah Mas, merasa sendirian di rumah. Karena kita sibuk dengan urusan masing-masing, merasa tak ada yang memperhatikan dia–"

Nadhira menceritakan semua keluh kesah adik iparnya kepada suaminya, karena bagaimanapun dia berhak tahu, agar bisa bersikap lebih bijak lagi lagi pada adiknya.

"Apa Aku se-cuek itu, Yang?" tanya Syam. Yang dibalas dengan anggukan Nadhira sebagai jawaban.

"Yaaang," rengek Syam. Manja.

"Iya, kamu itu dingin banget, Mas. Sampai-sampai kemarin itu Aku hampir menyerah untuk mempertahankan rumah tangga kita, tapi ... Aku merayu Allah, agar Allah lembutkan hatimu," ujar Nadhira. Kemudian menciumi punggung tangan Syam dan tersenyum.

"Curang!" Syam memanyunkan bibirnya.

"Kok curang? Nggaklah!" Protes Nadhira.

"Curang dong, pantas saja hatiku berdetak kencang, saat dekat sama kamu, merasa kosong, kalau kamu nggak ada. Ternyata kamu merayu Allah," ucap Syam. Mengulum senyum di wajahnya.

"Nggak ada kekuatan paling kuat selain kekuatan Allah swt, nggak ada senjata paling ampuh selain do'a, bukan?" cicit Nadhira.

"Istri siapa sih ini, sholehah banget," goda Syam.

"MasyaAllah, istrinya Tuan Syam Mahardika dong, siapa lagi." Nadhira dan Syam terkekeh. Nadhira mengucap syukur terus dalam hatinya.

"Ya muqollibal qulub, wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, terima kasih Engkau telah menjawab do'a-do'aku" batin Nadhira dalam hati.

Sepanjang perjalanan Nadhira dan Syam berbincang, dari topik pembicaraan kerjaan, sampai ke topik yang tidak penting untuk diperdebatkan, bukan Nadhira kalau tidak menjawab apa pun yang dikatakan Syam.

"Kamu itu memang suka menjawab, ya. Dari awal ketemu," cicit Syam. Memainkan pipi milik Nadhira. Gemas.

"Masak?" Sanggah Nadhira.

"Kan, kan kan." Nadhira terkekeh sendiri. Ketika sadar dirinya telah menjawab omongan Syam.

"Sampai ...," seru Syam. Memarkirkan mobilnya. Keduanya keluar dari mobil, dan masih terkekeh, Syam membukakan pintu untuk ratunya. Keduanya tersenyum bahagia.

"Sayang!" Teriak seseorang yang sudah berdiri di depan pintu lobi. Dan berdiri seorang pria di sampingnya.

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now