35

1K 40 3
                                    

"Tadi ada yang nyariin kamu siapa? Kenapa minta uang, staff di kantor bawah juga lagi asyik bergunjing seperti itu lhoh," cecar Syam.

"Salah paham aja itu, Mas," sahut Nadhira. Menutup yang sebenarnya terjadi.

"Cerita!" tegas Syam. Nadhira menutup matanya sejenak, sebelum membuka matanya kembali, untuk menceritakan semuanya. Namun, dia tidak akan memberi tahu siapa Alexa sebenarnya.

"Jadi, tadi tuh ada Bibi, anak kedua dari Dede, dia terlilit utang, nyuruh Aku untuk–" Nadhira menceritakan semuanya.

"Nggak bisa gitu dong, orang namanya berbisnis, dia harus mau nanggung resikonya, siapa yang utang, siapa yang disuruh bayar," kata Syam bersungut-sungut. Dan mendapatkan kekehan dari Nadhira.

"Kok kamu ketawa sih, malahan," tambah Syam.

"Kamu lucu aja, Mas, Dhira tahu apa yang Dhira harus lakukan, jadi Mas nggak usah terlalu khawatir dengan Dhira," ucap Nadhira. Mengelus wajah Syam, lembut.

"Tapi, mereka–"

"Mas, Dhira cuma cerita ini sama Mas Syam. Jangan sampai orang-orang tahu tentang peristiwa tadi, ya. Karena dapur rumah tangga orang lain, tidak harus orang-orang di luar sana, tahu. Apalagi kerabat kita, kalau kita sedang ber-gaduh/punya masalah dengan kerabat jangan sampai orang lain tahu. Karena ... Tidak semuanya akan memberikan solusi, ada kalanya mereka hanya ingin tahu, kemudian menjadikan bahan omongan," sahut Nadhira.

Syam meraih tangan Nadhira untuk mendekat ke arahnya yang sedang duduk. Nadhira pun menurut, Syam melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Nadhira. Menyandarkan kepalanya di perut Nadhira.

Nadhira membalas pelukan Syam, ia belai lembut rambut suaminya. Sikap dingin, dan keras Syam entah berimigrasi ke mana, yang ada sekarang hanya sikap manja, dan kepeduliannya.

"Tadi, ngobrol apa aja sama Mama, sama Bela?" tanya Nadhira. Memaksa Syam untuk mendongakkan kepalanya dan menjawab pertanyaan Nadhira.

"Biasa, Mama masih kekeuh dengan pendiriannya, yang mau menjodohkan Aku sama Bela," jawab Syam. Diakhiri dengan dengusan.

"Kamu nya mau, nggak?"

"Ya, enggaklah. Kalau Aku mau sudah dari dulu Aku menikah sama dia," jawab Syam, kesal. Dirinya harus mengingat saat Mamanya memprovokasinya untuk menceraikan Nadhira.

"Biasa aja dong, jangan nge-gas gitu," cicit Nadhira. Mengacak ujung rambut Syam.

"Yaang," protes Syam.

"Iya, dirapikan lagi nih." Nadhira merapikan ujung rambut yang sengaja ia acak tadi, karena Syam harus meeting sebentar lagi, dan harus berpenampilan rapi.

"Mas–"

"Hmm,"

"Sesekali kita liburan gitu, yuk!" ajak Nadhira.

"Ke mana?"

"Yaa ke mana kek, lihat pemandangan,"

"Kan di sini sudah lihat pemandangan, pantai noh di depan, sunset nunggu nanti sore," goda Syam.

"Iih, Mas Syam." Nadhira melepaskan tangan Syam yang melingkar di pinggangnya.

"Eeuuggh." Syam menarik lagi bantal hidup kesayangannya.

"Dhira ngambek nih," cicit Nadhira. Dengan wajah tertekuk.

"Insyallah, nanti kalau sudah saatnya kita liburan, kita liburan, yaa," ucap Syam. Menenangkan Nadhira.

"Nah, gitu dong. Kan enak dengarnya," cicit Nadhira. Penuh kemenangan.
**

"Tama nggak mau ke masjid, Tama mau sama tante Dhira!" Teriak Tama.

"Tama, Jangan kayak gini dong, sayang. Kita harus ke masjid sayang, laki-laki itu wajib salat di masjid," ujar Syarif.

"Nggak mau, pokoknya Tama nggak mau,"

Perdebatan antara Ayah dan Anak ini sampai ke lantai dua, membuat Nadhira keluar dari kamar, dan turun untuk membantu kakak iparnya menghadapi anaknya yang sedang tantrum.

Tantrum, adalah keadaan ketika anak meluapkan emosinya dengan cara menangis kencang, berguling-guling di lantai, hingga melempar barang. Kondisi seperti ini membuat Bunda/Ayah stres dan bingung.

Baru setengah jalan Nadhira menuruni anak tangga, Tama langsung berlari ke arahnya, memeluk Nadhira erat. Pasalnya semenjak Syarif dan Tama pindah ke tanah air, yang membantu mengurus Tama adalah Nadhira. Nadhira sudah menganggap Tama seperti anaknya sendiri. Meski usia pernikahannya sudah menginjak usia satu tahun, Nadhira belum di beri keturunan.

"Hey, kenapa nangis, sampai Tante dengar hloh dari kamar Tante." Nadhira menuntun Tama untuk turun  ke lantai satu bersamanya.

"Tama nggak mau ke masjid, Tante. Tama mau salat di rumah saja, terus mengaji sama Tante Dhira," adu Tama pada Nadhira.

"Tapi, Tama–" belum selesai Syarif bicara, kalimatnya sudah terpotong oleh sahutan Nadhira.

"Kak, it's okay. Kakak ke masjid dulu saja," sahut Nadhira.

"Tapi, Dhir–"

"Kak ...." Sampai akhirnya Syarif juga menyerah, kalau Nadhira sudah memanggil dengan satu kata saja.

Ia tahu adik iparnya itu pasti bisa memberikan pengertian kepada anaknya, seperti saat Nadhira memberikan pengertian kepada adik perempuannya, yang sedang di mabuk cinta, dan berakhir luka. Cinta sebelum halal memang lebih sering memberikan luka daripada bahagia.

"Tama tadi mau salat sama Tante, kan?" Bocah kecil itu mengangguk cepat.

"Oke, Sekarang ambil alat salat Tama, terus kita ke mushola, kajja! (ayo!)," ucap Nadhira, ceria.

"Dee boleh ikut nggak, Kak?" Sergah Deandra baru saja turun dari lantai dua.

Nadhira tersenyum tipis, kemudian mengangguk, memperbolehkan. Nadhira senang, Deandra memperlihatkan perubahan yang baik. Yang tadinya Nadhira hanya melihat ayah mertuanya saja yang berangkat ke masjid sendiri. Sekarang ada kakak iparnya yang ikut serta dengan mertuanya, dan adik ipar yang tak pernah ia lihat menjalankan kewajibannya, sekarang ia ikut berjamaah dengannya.

Dalam kehidupan, ada dua kemungkinan, mewarnai atau di warnai. Saat kita memutuskan untuk berada/tinggal di lingkungan yang kita rasa banyak madhorot-nya, kita bisa menjadi dua kemungkinan itu, kita akan di warnai/ terbawa arus lingkungan itu, atau membawa orang-orang yang ada di lingkungan itu untuk menuju kebaikan bersama kita.

Semuanya tidak lepas dari dzat yang membolak-balikkan hati, juga Sang Maha pemberi hidayah. Namun, itu semua juga tergantung manusia itu sendiri, mau mengambil hidayah itu dan mengistiqomahkan, atau tidak.
**

"Ada apa, Om? Astagfirullahal'azhim–"

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now