38

942 31 7
                                    

"siapa? Alexa, ya?" tanya Nadhira.

Syam menganggukkan kepala, ragu-ragu. Namun, Nadhira hanya menganggukkan kepalanya. Tak ada amarah atau cemburu yang terlihat dari raut wajah Nadhira.

"Kamu nggak cemburu?" sahut Syam.

"Cemburu sih, kalau suamiku membalas pesan atau telepon wanita lain. Kalau berinteraksi-nya masih wajar, Aku masih bisa mentolerir," ujar Nadhira.

"Jadi selama ini, waktu Aku bermesraan sama Alexa, kamu cemburu?" Goda Syam.

"Menurut Anda, Tuan muda Syam Mahardika, wanita itu bisa menyembunyikan perasaannya bertahun-tahun, tanpa orang lain ketahui, tapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya," sergah Nadhira. Memutar bola matanya, malas.

Syam mendekatkan tubuhnya pada Nadhira, yang berada di sampingnya. Dengan setelan kaos panjang bersablon-kan quotes "sabar tidak ada batasannya" di ujung kaos, yang dipadukan dengan kulot.

Membawa wanitanya ke dalam dekapannya, menciumi setiap inci wajah Nadhira. Dari kening, berganti ke jidat, kedua pipi, hidung, dan berakhir pada bibir yang masih basah karena habis mandi.

"Kenapa nggak bilang, kalau udah cinta?" Tanya Syam.

"Memangnya cinta harus diungkapkan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Syam dengan jawaban, Nadhira malah menjawab dengan pertanyaan juga. Baginya cinta itu bukan terletak pada kata-kata semata, melainkan ada pada tindakan dan seintens apa kita menyebutnya dalam setiap do'a.

"Of course, karena kita jadi tahu orang yang kita cintai, juga mencintai kita," jawab Syam.

"Kenapa bisa gitu?"

"Ya ... Karena, dengan begitu kita merasa rasa kita berbalas,"

"Tapi, kan bisa aja, kita balas perasaan pasangan kita dengan tindakan, misalkan ... Tiba-tiba memeluk, atau ngasih perhatian gitu,"

Bukan Nadhira dan Syam, kalau tidak memperdebatkan hal-hal kecil, jangankan bicara tentang cinta, dan penyalurannya, perkara makan bubur ayam diaduk atau dipisah saja, mereka perdebatkan. Namun, dengan begitu mereka semakin dekat, dan saling mengenal satu sama lain.

"Udah, sayang. Oke oke, kamu yang menang," ucap Syam. Menyerah dengan argumen Nadhira, yang tidak ada habisnya.

"Hahaha, kamu capek ya, menghadapi Aku yang cerewet ini?" Nadhira menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Syam.

Secara naluri, tangan Syam bergerak, melingkar di perut Nadhira. Keduanya melihat foto pernikahan yang terpajang di kamarnya. Memory pernikahan yang tak pernah mereka inginkan satu sama lain. Pernikahan yang akan berakhir karena sebuah perjanjian.

"Enggak, enggak capek. Hanya saja, kok bisa Aku dapat jatah istri modelan kayak kamu itu," cicit Syam. Mempermainkan hidung Nadhira.

"Iya, Aku juga heran. Kenapa Aku dikasih suami modelan es batu gini juga sih," balas Nadhira. Melirik Syam penuh arti.

Syam, yang tidak tahan dengan tingkah istrinya, menariknya ke tengah ranjang, dan menggelitiki Nadhira tanpa ampun. Keduanya larut dalam canda.

"Udah, udah, Mas. Geli, geli, aaaa." Tangan Nadhira menahan tangan Syam yang terus mencari celah untuk terus membuat Nadhira geli.

Tok tok tok

"Tuan Syam, Non Dhira, makanan sudah siap, disuruh Tuan besar sama Nyonya turun," ucap Tia dari balik pintu.

"Iya, Bu Tia. Kami segera turun, terima kasih, yaa," sahut Nadhira dari dalam.

"Iya, Non, sama-sama," jawab Tia.

"Astagfirullahal'azhim, tadi kan Dhira mau bantuin Bu Tia masak, jadi mendekam di kamar," cicit Nadhira. Menepuk jidatnya sendiri.

Syam, terkekeh melihat Nadhira, dia pun juga lupa kalau istrinya itu mau membantu asisten rumah tangga, yang sudah bertahun-tahun bersama dengan keluarganya.

"Turun, yuk! Nanti mamah ngomel lagi," ajak Syam.

"Yuk!" Nadhira menggandeng lengan Syam yang sudah berdiri dekat pintu.
**

Aku adalah orang dibalik layar, yang melihatmu secara utuh. Manusia yang didamba jutaan pasang mata yang memandangi-mu. Kamu adalah gunung  es yang siap membunuh semua orang yang memandang-mu rendah.

Nadhira bermonolog dengan dirinya sendiri, di dalam hati. Pagi ini Nadhira sengaja tidak beranjak dari tempat tidur, setelah menyelesaikan kewajibannya, memandangi wajah tampan milik suaminya. Wajah, yang akhir-akhir ini berani ia tatap hangat, tanpa harus beradu mulut.

"Udah mandangin Aku-nya?" gumam Syam. Masih menutup matanya.

"Malu," ucap Nadhira. Menutup wajahnya dengan bantal.

Meskipun mata Syam tertutup, Syam bisa membayangkan wajah Nadhira yang memerah, seperti kepiting rebus. Syam mengulum senyum di wajahnya. Menarik wanitanya ke dalam pelukannya, dengan menjadikan lengannya sebagai bantal untuk Nadhira.

"Kok malah dipeluk lagi," cicit Nadhira.

"Dingin,"

"Ye ... Coba bangun, terus mandi pagi-pagi pakai air dingin, pasti dinginnya udah enggak kerasa,"

"Nggak, kamu aja sendiri,"

"Lah, emang Dhira udah mandi, sebelum subuh tadi," jelas Nadhira. Menatap langit-langit kamar, yang dihiasi dengan lampu hias yang menyorot ke langit-langit.

"Kamu udah mandi?" Syam tiba-tiba menaikkan tubuhnya, dan menatap istrinya. Sedikit terkejut dengan yang dilakukan istrinya, pasalnya selama ini Syam bangun selalu siang. Saat mentari sudah meninggi.

Nadhira menganggukkan kepala pelan, sebagai jawaban. Pria dengan rambut masih tak beraturan itu, mengerutkan dahinya.

"Hah?"

"Kenapa sih, biasa aja kali,"

"Enggak, heran aja kok ada orang yang mandi sepagi itu." Syam menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur.

"Ya ada lah, kan mandi pagi bagus. Buat kesehatan,"

"Kok bisa?"

"Ya bisa, bermanfaat banget buat tubuh, kayak baik untuk meningkatkan kesuburan pria, menjaga kesehatan kulit, ngilangin hipertensi, menghilangkan stres, kan Dhira sering Mas bikin stres tuh kemarin-kemarin, makanya mandi pagi," goda Nadhira, terkekeh.

"Masih dendam nih?" Sahut Syam.

"Enggak, kan Dhira cuma menyampaikan. Bukannya tugas kita cuma menyampaikan,"

"Allahuakbar, pagi-pagi Aku sudah di skakmat terus sama istri sendiri," ucap Syam. Membenamkan wajahnya di bahu Nadhira.

"Kenapa coba, kan cuma ngomong Dhira, Mas,"

"Aku malu, karena belum bisa jadi suami yang bisa membimbing kamu," cicit Syam. Masih diposisi yang sama.

"Ngomong apa sih, kita sama-sama berproses Mas, rumah tangga itu bukan siapa yang lebih unggul, tetapi saling to saling,"

"Saling to saling?" Syam mengulang kalimat terakhir Nadhira, dan sedikit menjauh wajahnya untuk menghadap istrinya.

"Iya, saling menjaga, saling menasihati, saling menyayangi, dan saling yang lainnya," ujar Nadhira. Kemudian mengecup kening suaminya.

"MasyaaAllah, Papa emang nggak salah milih in Aku istri," sahut Syam. Membalas kecupan Nadhira.

"Sekarang, masih mau tiduran aja? Kan udah tahu manfaatnya," sarkas Nadhira.

"Iya, iya iyaa." Syam beranjak dari kasur, malas. Nadhira mengikuti dari belakang, sesekali memeluk suaminya dari belakang. Setelah melihat suaminya masuk ke kamar mandi, Nadhira menyiapkan pakaian ganti untuk Syam.
**

"Oh, jadi dia yang buat kamu mengabaikan Aku!"

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now