02

2.2K 83 0
                                    

"Nggak tahu adab. Untung anak yang punya toko, kalau enggak sudah aku habisi." Sepanjang jalan Nadhira mengomel.

Sesampainya di rumah, Nadhira mengambil air di dalam kulkas, untuk mendinginkan suhu badannya yang ikut memanas.

"Eh, kenapa nih. Mukanya ditekuk gitu? Belum ada setengah hari sudah balik rumah?" Sergah Fatimah. Sedang memotong sayuran untuk menyiapkan makan siang.

"Geram Sekali aku, Te. Masak tadi anaknya yang punya toko mau melecehkan Nadhira, pegang-pegang Nadhira, ajak cek in pula. Kalau bukan karena anaknya pemilik toko sudah–" Nadhira mengeratkan gigi, dan mengepalkan tangan ke udara.

Fatimah yang mendengar cerita keponakannya ikut geram juga dengan tingkah semena-mena anak pemilik toko itu.

"Terus? Kenapa Dhira enggak kasih dia pelajaran saja?" Fatimah duduk di kursi depan Nadhira.

"Pantas tahu, laki-laki seperti itu diberikan pelajaran," tambah Fatimah.

"Tak sampai hati aku, Tante. Melihat ayahnya memohon, membela anaknya." Nadhira meneguk air yang berada di tangannya.

"Besok Tante pergi ke toko seberang."

Fatimah beranjak dari duduknya, dan melanjutkan aktivitasnya, dibantu dengan Nadhira.

"Enggak usah, Tante." Tolak Nadhira. Menghabiskan air dalam gelasnya.

Tin tin tin

Bunyi klakson dari luar membuat keduanya menoleh ke arah jendela, di lihatnya perempuan berkerudung motif bunga-bunga yang berada di balik kemudi.

"Eh, Nia!" Seru Nadhira. Melihat sahabatnya bertamu ke rumah.

"Tante, Nadhira keluar dulu, ya." Gadis dengan setelan gamis hitam dan kerudung warna senada itu keluar menyambut sahabatnya.

"Eh, Nia! Apa kabar? Ingat kampung juga kamu?" cicit Nadhira. Memeluk sahabatnya.

"Kamu ini, aku datang juga. Enggak senang aku datang kesini?" Nia mengerucutkan bibirnya, dengan tangan masih memegang tangan Nadhira.

Nadhira terkekeh, mendengar Nia ngambek dengannya.

"Enggak! Balik sana," usir Nadhira. Menggoda Nia.

Plaak!

Nia melayangkan satu pukulan kecil pada lengan sahabatnya. Kemudian mereka tertawa bersama. Sudah hampir dua tahun, Nadhira tak melihat sahabatnya. Karena Nia merantau ke kota dan pulang jikalau ada kepentingan mendesak atau lebaran saja.

"Selesai kuliah, kamu belum dapat kerja lagi, ya? Kamu itu, aku ajak ke kota nggak mau, sekarang lihat? Begini-begini saja, kan?" Ujar Nia. Sembari melahap keripik buatan Nadhira.

"Belum, kemarin aku dapat kerja, tapi ya ... Begitulah, malas mau cerita."

"Ayolah, ikut saja aku ke kota. Nanti kamu tinggal sama aku, aku ngontrak rumah sendiri tahu, kalau ada kamu kan nanti bisalah, biaya kontrak kita bagi dua, lumayan buat cek out si oren," ucap Nia. Menyeringai jail.

"Ish ... Kamu ini, belanja saja. Kamu itu harus save uang kamu beberapa, untuk keperluan ke depan,"

"Iya iya ... Jadi kamu mau ikut aku apa enggak nih?" Nadhira menatap sahabatnya, dengan bimbang.

"Kamu tahu, kan. Aku enggak pernah pisah dari Dede dari kecil. Dede sudah semakin tua, aku enggak tega membiarkan beliau sendirian di rumah,"

"Eh, Om-Tante kamu kan ada." Nia kembali memasukan keping demi keping kripik ke mulutnya.

"Cobalah ... Memang susah kalau di desa, Dhira. Kalau mau cari gaji besar dan pekerjaan enak,"

"Pekerjaan enggak ada yang enaklah ... Kalau kita menikmati dan ikhlas mengerjakan karena Allah, baru itu enak," sanggah Nadhira.

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now