29

1K 43 0
                                    

Bruk!

"Sorry, sorry," ucap Nadhira tanpa melihat orang yang ia tabrak.

Orang itu terus memanggil Nadhira, tetapi Nadhira tetap acuh. Syarif, orang yang ditabrak oleh Nadhira.

Tok tok tok

"Masuk!" Sahut Syam. Dari dalam.

"Dek, Dhira kenapa? Kok tadi nabrak kakak, kayaknya dia nangis deh tadi," seru Syarif.

"Nangis? Cewek itu, habis mau bunuh gue tadi, woy!" Protes Syam. Namun, kalimat itu hanya sampai di tenggorokan, tak sampai ia katakan kepada kakaknya.

"Masak kak? Kangen kali sama Dedenya," sahut Syam. Syarif mengangguk sebagai jawaban.

"Oh iya, tadi pagi Tuan Pram, terkesan banget loh, Dhira emang keren, hendle project besar buat perusahaan kita, soalnya kamu tadi belum datang, jadi dia yang back up," puji Syarif.

Deg!

Seperti ada goresan pisau yang menyayat hatinya saat ini, Syam menyesal telah membentak Nadhira. Syam, menyangka kalau Nadhira tidak membangunkannya karena ingin dia tidak dapat jabatan CEO itu, sedangkan faktanya dia membantunya untuk segera peralihan jabatan itu, dan dianggap layak menjadi CEO.

"Kak, tadi kakak lihat Dhira dimana?" tanya Syam.

"Tadi sih ke arah mushola, kalian nggak papa kan?" Selidik Syarif.

"Nggak, nggak papa kok, Kak,"

"Ya sudah, kakak pamit dulu," pamit Syarif.

Syam segera menyusul Nadhira ke mushola kantor. Ia melihat istrinya sedang melakukan salat sunnah, ada desir di hatinya. Merutuki dirinya yang terlalu egois, dan tak pandai bersyukur, telah mempunyai istri seperti Nadhira.

"Ya Allah, ampuni Dhira, Dhira tidak bermaksud untuk berani pada suami Dhira, Dhira menyesal sudah menuruti amarah juga nafsu Dhira–"

Nadhira mengadukan semua hal yang membuat dadanya sesak, tetesan air mata yang tadi tertahan, sekarang telah menjadi anak sungai yang membasahi pipi juga mukena yang ia pakai. Wanita bermata hazel itu menangis sesenggukan. Syam mendengar semua do'a yang di langitkan untuknya, juga peraduan istrinya pada Rabb-Nya.

Nalurinya menyuruhnya untuk masuk dan merengkuh wanitanya. Namun, gengsi dan egonya terlalu besar dan meminta untuk dipertahankan. Syam, hanya menunggu Nadhira di luar mushola, dan duduk di bangku tunggu.

Setelah selesai, dan hatinya tenang, Nadhira keluar, ia dapati suaminya duduk di bangku tunggu melipat kedua tangannya di depan dada. Nadhira hanya meliriknya sejenak dengan wajah datar. Kemudian meninggalkan Syam di tempatnya. Syam mengikuti Nadhira, menaiki lift menuju ruangannya.

Bruk!

"Brengs–" Syam menabrak Nadhira yang berhenti tiba-tiba di depannya.

"Apa, apa? Kamu mau ngomong apa?" Nadhira berbalik arah, melihat Syam dengan tatapan menantang.

Syam salah tingkah, hatinya memerintahkan untuk diam, dan tidak berucap sembarangan lagi. Nadhira melihat dari atas sampai ke bawah, menyelidiki suaminya.

"Kamu ngapain di depan Mushola tadi? Mau salat?" Selidik Nadhira. Memicingkan matanya.

"Ss-Saya tadi cuma singgah sebentar kok, capek habis dari ruangan sebelah," ucap Syam.

"Ruangan sebelah kan toilet, kamu–" sergah Nadhira. Dengan sorot mata yang menggoda.

"Apa, apa! Dasar otak mesum!" Sahut Syam. Menuju meja kerjanya. Nadhira mengikuti dari belakang, dengan kalimat-kalimat godaannya.

"Alah bilang aja kamu tadi habis ituan kan kan kan." Nadhira terkekeh. Melihat pipi milik suaminya kemerahan.

"Enggak! Apaan sih." Syam ikut terkekeh karena godaan Nadhira.

Suasana kembali menjadi canggung, setelah mereka menyadari situasi ini, tidak seharusnya ada. Mata mereka saling beradu untuk sepersekian detik. Nadhira hendak kembali ke meja kerjanya, tetapi tangan Syam menarik lengan Nadhira, sehingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke pangkuan Syam.

Nadhira kaget dan mau berdiri dari duduknya. Namun, dicegah oleh Syam, tangan Syam melingkar di pinggang Nadhira, wajahnya terbenam di bahu milik Nadhira. Ada desiran yang menyapa hati Nadhira. Begitu pun dengan Syam, ia hanya mengikuti nalurinya untuk melakukan semua ini. Nadhira memejamkan matanya sejenak, kemudian membukanya, sebelum melepas tangan suaminya yang melingkar di pinggangnya.

"Kamu apa-apaan sih, malu!" Bisik Nadhira. Tangannya masih terus berusaha melepaskan tangan Syam.

"Maafin Saya, sudah kasar sama kamu, buat kamu nangis saat bertemu Rabb-Mu," ucap Syam lirih. Namun masih bisa di dengar oleh Nadhira.

Nadhira tak berusaha lagi melepaskan pelukan Syam. Syam, memang keras, tetapi Nadhira melihat sisi lain Syam yang sebenarnya, ia yakin suaminya adalah laki-laki yang baik. Sikap kasarnya hanya bentuk pertahanan diri saja.

Tangan Nadhira melingkar ke leher Syam, Nadhira tersenyum, menatap Syam dengan tatapan lembut, jemarinya mengelus Waja suaminya, Syam tidak menolak sentuhan-sentuhan itu. Syam memejamkan mata, merasakan setiap sentuhan dari Nadhira. Tangan Syam meraih tangan istrinya, ia kecup berulang kali. Nadhira menyatukan dahinya dengan dahi suaminya, sehingga terasa sapuan dari napas Syam.

"Tolong, percaya pada saya, saya akan berusaha menjadi istri yang baik untuk kamu," bisik Nadhira.

Syam membuka matanya, tatapan mereka bertemu, dan semakin memangkas jarak yang tersisa.

Tok tok tok

"Ehm,"

"Kakak," ucap Syam dan Nadhira bersamaan. Nadhira segera bangkit dari pangkuan Syam.

"Kalau bermesraan, kunci dulu kali," sindir Syarif.

Syam memegang tengkuk yang tak gatal, sedangkan Nadhira menunduk malu, karena ketahuan kakak iparnya, ia mainkan jemarinya, dan masih berdiri di samping Syam. Syarif menghampiri mereka berdua, mengantar berkas, yang memang harus di periksa oleh Syam.

"Adek, ini berkas dari PT. Sukma Indah, dan kita–"

"Oke, nanti Adek cek dulu, Kak," sahut Syam. Dan Syarif pun berpamitan.

"Jangan lupa kunci pintu kalau mau lanjutin yang tadi," goda Syarif pada Syam juga Nadhira. Tak lupa mengerlingkan sebelah matanya sebelum menutup pintu.

"Ss–saya kembali ke meja saya dulu," ucap Nadhira malu. Syam pun mengangguk malu-malu.
**

"Nggak ada yang pedulikan Aku, semuanya tentang kakak, Papa-Mama, cuma 'Dia, cuma 'Dia yang menganggap Aku penting!"

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now