23

952 51 1
                                    

"Sudah, nangisnya?" tanya Hasan. Yang mendapat anggukan sebagai jawaban.

"Oke, sebelum kita pulang, kamu mau nggak Aku aja ke suatu tempat?" tambah Hasan.

"Kemana?" Nadhira mengeryitkan dahi.

"Seru deh, pokoknya," ucap Hasan. Mulai menghidupkan kendaraan roda empat miliknya.

Sepanjang perjalanan, Nadhira dibuat  tertawa lepas oleh Hasan, celetukan, gombalan dan tebak-tebakan lucu, ia lontarkan, hanya demi membuat wanita yang telah menawan hatinya ceria kembali.

Satu setengah jam perjalanan, tak terasa untuk mereka berdua, bentangan wahana terpampang nyata di hadapan mereka.

"San ...," Panggil Nadhira. Binar mata terpancar dari gadis bermata Hazel, yang baru saja turun dari mobil.

"Are you ready, Princess?" tanya Hasan. Membuat gerakan seolah menyambut tuan putri, seperti di film-film kartun.

"Yes, I'm ready, Prince," jawab Nadhira. Merendahkan tubuhnya sedikit dan mencupit gamis A-line yang ia pakai dengan jemari-jemari-nya.

Mereka menghambur masuk ke dalam taman hiburan seperti anak kecil. Memulai permainan dengan wahana roller coaster.

"Aaaaa ...," teriak Nadhira. Kebahagiaan terpancar dari mata pemuda dengan setelah kaos hitam yang membentuk tubuhnya, saat melihat wanita di sampingnya tersenyum bahagia.

Sedangkan di bawah sana, ada pria berkaos putih dipadukan dengan kemeja yang tak dikancingkan melihat dengan tatapan penuh dendam. Siapa lagi kalau bukan Syam Mahardika.
**

Setelah bersenang-senang dengan Hasan. Nadhira sengaja tidak mau diantar oleh Hasan. Karena tidak mau Syam marah padanya.

"Terima kasih, Pak," ucap Nadhira pada sopir taksi online yang ia pesan.

Dari balkon lantai dua sudah berdiri pria berkulit putih menyilakan kedua tangannya di depan dada.

"Assalamu'alaikum," sapa Nadhira.

"Waalaikumussalam," jawab Syamsuddin dan penghuni rumah lainnya, kecuali Syam.

"Wow ... tahu jalan pulang juga ternyata kamu!" sindir Sandra, melipat tangannya di dada. Dengan tatapan merendahkan.

"Baru pulang, Dhir, bersihkan diri kamu dan istirahat. Syam juga baru pulang satu jam yang lalu," ujar Syamsuddin.

"Baik, Pa. Dhira, naik ke atas dulu, yaa," pamit Nadhira. Bergegas menaiki tangga yang mengantarkannya ke lantai dua.

Ceklek!

"Wah ... Bahagia sekali ya, kelihatannya," sindir Syam.

Wajah Nadhira datar, dan dingin melihat Syam. Ia mengambil handuk dan mau membersihkan dirinya. Namun, ditahan oleh suaminya.

"Saya belum selesai bicara!" Syam mencengkeram tangan Nadhira. Memojokkan tubuh mungil itu sampai terhalang oleh tembok. Menguncinya.

"Seru, main ke taman hiburan sama kekasih kamu? kamu mau balas saya, kan? Kamu cemburu ketika saya bersama Alexa," tuduh Syam pada Nadhira. Tangannya beralih mencengkeram kedua pipi Nadhira. Membuat Nadhira harus mendongakkan kepala menghadap ke Syam.

Meski di perlakukan seperti itu, Nadhira tetap bergeming, tak mau menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan-pertanyaan Syam. Karena Nadhira tahu, Syam tidak pernah mau mengalah.

"Apa nafkah dari saya 'kurang! Sampai-sampai kamu harus menjual diri kamu untuk pergi dengan laki-laki itu ke taman hiburan," teriak Syam tepat di depan wajah Nadhira.

Plak!

Tamparan keras, mendarat ke pipi mulus milik Syam. Mata Nadhira memerah, tetapi ia enggan untuk menjatuhkan air matanya di depan Syam. Karena itu hanya akan memperlihatkan kalau ia lemah.

"Jaga bicara kamu," ucap Nadhira. Penuh penekanan.

Nadhira melepaskan cengkeraman Syam kasar, membuat Syam marah, mengeratkan giginya, membuat urat syarafnya terlihat. Nadhira mau meraih gagang pintu, tetapi di tarik oleh Syam.

"Lepasin, lepasin," ucap Nadhira. Berusaha melepas cengkeraman Syam.

"Kalau kamu ingin saya lepaskan, kamu. Bilang, bilaaang!" sentak Syam. Berakhir lengkingan di akhir kalimat. Nadhira mendengus kesal. Membiarkan Syam mengumpatnya, untuk kesekian kalinya. Setelah melihat Syam, tak mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya. Nadhira bergegas masuk ke kamar mandi.

Ia tatap pantulan dirinya di depan cermin, rambut hitam dengan panjang sebahu, mata hazel yang kini telah membuat genangan di sekitarnya.

"Kasihan sekali kan, kamu Dhira, terjebak oleh perjodohan, dan virus merah jambu itu sendirian, cih!"

"Harusnya tidak secepat ini, Dhir. Kamu jatuh cinta sama kulkas berjalan itu, harusnya kamu tidak bersama dengannya, harusnya kamu–"

Nadhira bermonolog dengan pantulan dirinya di kaca. Nadhira terduduk lesu di lantai, menopang kepalanya dengan bertumpukan kedua kaki yang ia dekap, tangisannya seketika pecah. Tak lama kemudian Nadhira bangkit dan menempatkan tubuhnya di bawah guyuran shower. Tangisannya menyatu dengan air yang jatuh dari atas.

Setelah selesai membersihkan diri, Nadhira duduk di tepi kolam renang, entah hayalannya sampai mana, yang jelas, untuk saat ini, ia tak ada semangat untuk melanjutkan hidupnya.

"Kak," panggil Deandra.

"Hei ... duduk sini," sambut Nadhira. Menepuk bangku di sebelahnya.

Deandra duduk di samping Nadhira, mengikuti kemana mata Nadhira memandang.

"Akhir-akhir ini, Dee perhatikan, kakak murung terus, kakak baik-baik aja?"

"Kakak, baik-baik saja, Dee. Cuma capek sedikit, pekerjaan kantor lagi banyak-banyak nya. Kemarin habis ada tamu dari Korea, kan. Sebentar lagi Papa-Mama mau liburan ke Eropa, jadi sibuk sedikit,"

"Beneran?" Deandra sudah menghadap Nadhira. Mengharuskan Nadhira menghadap ke arah adik iparnya juga.

"Iyaa," sahut Nadhira. Memegang kedua tangan adiknya lembut.
**

"Sayang, makan siang, yuk!"

NADHIRA CHAIRUNNISAWhere stories live. Discover now