Chapter 44: Jembatan

324 60 1
                                    

EDWIN, Asta, dan Endro memerlukan dua jam di perjalanan menuju perusahaan rekaman Stardust, seperti yang Pak Bondan katakan. Sebenarnya, letak perusahaan itu tak jauh dari kota mereka, hanya saja, hari ini adalah hari Senin, ditambah lagi mereka memutuskan untuk baru berangkat sekitar pukul empat sore. Alhasil, mereka terjebak macet di jalan dan hal itu menyebabkan Edwin mengomel sepanjang perjalanan, menyalahkan Asta dan Endro yang lelet.

"Ngomel mulu dah," komentar Asta. Lelaki itu duduk tepat di sebelah kursi kemudi, kursinya Edwin. "Sejak pacaran sama Luna, lo jadi si paling disiplin atau gimane?"

"Si paling disiplin pala lo. Dikasih tau yang bener malah kaya gitu," ujar Edwin, memutar kedua bola matanya sebal. "Lagian, kalau aja malem itu lo berdua beneran dinner, mungkin sekarang malah elo yang jadi si paling disiplin, ya?"

Asta terkekeh. "Iya."

"Malah iya lagi si bangke."

"Udah, udah. Berisik banget. Sesama mantan gebetan Luna harus akur," ujar Endro, dari kursi belakang.

"Anjir," umpat Edwin. "Nih orang bukan gebetannya Luna, kali."

"Lo juga bukan. Lo kan temennya, awalnya," balas Asta.

"Udah, udah."

"Sebenernya, gue sempet kasih tau Bang Kemal soal hari ini," ucap Asta, mengganti topik pembicaraan mereka. "Maksudnya… yah, siapa tau dia berubah pikiran untuk keluar dari kita dan masih mau berusaha sekali lagi."

Edwin dan Endro terdiam sejenak.

"Mungkin, Bang Kemal bakalan mikir kalau ini gak ada gunanya karena endingnya kita bakalan digantungin lagi," balas Edwin. "Yaudahlah. Kalau Bang Kemal beneran keluar, kita cari bassist lain aja."

"Gue juga tadi sempet ngasih tau Bang Kemal soal hari ini," ucap Endro. "Tapi, tetep gak ada balasan."

Edwin menghela napasnya berat. "Kalau dia masih mau berjuang bareng kita, dia bakalan dateng, kok."

"Dan kalau hari ini dia tetep gak ada balasan, berarti kita emang harus cari bassist lain," tambah Asta. Edwin dan Endro pun mengangguk membenarkan.

Sesampainya di perusahaan rekaman tersebut dan memarkirkan mobilnya, Edwin, Asta, dan Endro pun berjalan memasuki gedung tersebut. Perusahaan ini jauh lebih besar daripada perusahaan waktu itu. Ketika Edwin, Asta, dan Endro masuk dan menanyakan kesediaan Pak Bondan, mereka justru langsung diantarkan ke ruangan pria tersebut dan jujur saja, itu membuat Edwin, Asta, dan Endro merasa kaget karena hal ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya mereka alami.

"Selamat malam," sapa Pak Bondan, tersenyum manis. Lelaki itu mengulurkan tangannya, meminta tiga lelaki itu duduk. "Silakan duduk."

Edwin, Asta, dan Endro pun duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan ini. Pak Bondan yang semula sedang berkutat dengan laptopnya ketika mereka baru saja memasuki ruangan ini, lantas meninggalkan laptop itu dan lebih memilih untuk duduk di sofa tunggal yang ada di dekat Edwin, Asta, dan Endro.

"Maaf karena saya meminta untuk bertemu kalian secara mendadak dan ngerepotin kalian," kata Pak Bondan.

"Gak kok, Pak. Kita gak ngerasa direpotin sama sekali," balas Edwin, tersenyum ringan. "Kita justru berterimakasih karena Bapak udah tertarik sama kita."

Pak Bondan tersenyum, mengangguk kecil. "Saya denger banyak banget cerita tentang kalian dari anak saya. Dia pun suka musik, bahkan dia bisa main gitar. Ketika saya tanya dia belajar darimana, dia bilang Edwin yang mengajarkannya."

Edwin terkekeh canggung. "Itu bukan apa-apa kok, Pak. Kita punya mimpi yang sama. Itulah kenapa saya jadi deket sama Roby."

"Saya denger kalau kalian berniat nyanyiin lagu bergenre rock dan menggunakan bahasa Jepang sebagai liriknya?" tanya Pak Bondan. "Saya belum pernah denger ada musisi Indonesia yang memasarkan musik dengan gaya itu."

TaoreruWhere stories live. Discover now