Chapter 15: Mimpi Edwin, Mimpi Luna

408 72 0
                                    

EDWIN mengendarai mobilnya dengan tenang, walaupun dengan isi kepala yang kusut. Meskipun satu hari ini dihabiskan dengan kesibukan dadakan seperti mereka berhasil berbicara dengan pihak Winx Records dan menandatangi kontrak, tapi ternyata, hal itu membekaskan perasaan tak nyaman di hati Edwin. Meskipun hari ini dia merasa lelah karena pagi-pagi buta sudah harus pergi kesana kemari untuk mengurus banyak hal yang berkaitan dengan kontrak tersebut, tapi rasanya… perasaan tak nyaman ini tak datang dari rasa lelah tersebut. Perasaan tak nyaman ini datang dari kekhawatirannya terhadap banyak hal.

Bagaimana jika setelah sejauh ini, dia tetap tak bisa menggapai mimpinya sebagai musisi? Bagaimana jika setelah sejauh ini, mimpinya justru semakin jauh dicapai? Bagaimana jika begini dan bagaimana jika begitu, semuanya mengepul di kepala dan membuat Edwin merasa tak nyaman. Lalu, yang terpenting, bagaimana jika ibunya tetap tak menyetujui mimpinya? Bagaimana cara Edwin memberitahu ibunya mengenai kontrak ini? Mengingat wanita itu tak pernah menyukai mimpi Edwin untuk menjadi musisi.

Sejak dulu, ibunya selalu melarang Edwin bermain musik. Ibunya hanya ingin Edwin menjadikan itu sebagai hobi semata, bukan pekerjaan. Bukan karena wanita itu tidak menyukai musik. Namun, ada banyak hal yang membuat rasa suka itu menjelma menjadi luka dan kesedihan, mengingat bahwa ayah Edwin pun bernotabene sebagai musisi dan rasa cinta ibu Edwin yang sebesar itu kepada ayahnya sehingga tiap kali wanita itu mendengarkan musik, dia merasakan luka.

Selain itu, ayah Edwin meninggal di perjalanan menuju konsernya yang terakhir.

Edwin mengulurkan tangan kirinya, memutar musik.

Hapsari, Marry Me! - Prabu.

Edwin tersenyum ringan ketika melodi yang terdengar sederhana dan ringan di telinga itu memenuhi atmosfir mobilnya. Lagu itu adalah salah satu lagu dari sebuah album yang ayahnya ciptakan khusus untuk ibunya. Lagu itu berirama menyenangkan, bahkan Edwin bisa membayangkan ekspresi ayahnya ketika pria itu menulis dan menyanyikan lagu tersebut. Lagu itu ditulis dalam bahasa Jepang, tapi Edwin masih bisa mengerti tiap bait lirik yang lagu itu katakan, mengingat ayahnya begitu fasih berbahasa Jepang dan ilmu itu sempat tersalurkan kepada Edwin, meskipun tak banyak.

Beritahu aku, Hapsari
Berapa banyak pelampung yang harus aku miliki
Agar aku tidak tenggelam dalam keindahan matamu?

Melodi gitar dan harmonika dari lagu itu memanjakan telinganya, melemparkannya ke suatu malam dimana biasanya ibunya memutar lagu itu dan berdansa dengan ayah di ruang tengah.

Namun, jika kau bersedia menikah denganku, Hapsari
Aku rela tenggelam
Dan kita akan bangun gubuk kecil di dalam lautan bersama

Edwin meremas stir kemudinya. Apakah tak apa-apa jika Edwin memiliki mimpi yang sama dengan ayahnya? Apakah tak apa-apa jika pilihan terbaik ibunya bukanlah pilihan terbaik baginya? Edwin merasa takut akan masa depannya.

Edwin memarkirkan mobilnya di dalam garasi rumahnya. Sepersekian menit, setelah lelaki itu turun dan mengunci mobilnya, Edwin tertegun ketika dia melihat Luna tengah duduk di tangga kecil menuju pintu depan rumahnya, memeluk lutut. Perempuan itupun mengubah posisinya menjadi berdiri ketika dia melihat Edwin dan mereka saling pandang sejenak.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Edwin mengernyitkan dahinya, lalu melirik jam tangannya. "Ini udah jam sepuluh malem."

"Lo kemana aja seharian?" Luna bertanya balik, berjalan mendekati Edwin. Tanpa Luna tanya, seharusnya perempuan itu tau jawabannya setelah melihat tas gitar yang Edwin sandang di punggungnya.

"Bukan urusan lo," Edwin menghela napasnya. "Kenapa sih pasang ekspresi serius gitu? Langka banget. Gue videoin, yaー"

"Kenapa lo gak dateng ke kampus?" potong Luna. Edwin yang awalnya berniat hendak meledek Luna, lantas mengernyitkan dahinya. Ekspresi serius yang Luna berikan sedikit membuatnya kebingungan dan takut dalam waktu yang bersamaan, terutama karena dia tau bahwa perempuan ini tak pernah benar-benar marah kepadanya. "Lo tau kan, hari ini penilaian hasil praktikum?"

"Gue tau," jawab Edwin. "Gue gak dateng… itu pilihan gue."

"Pilihan lo?" Luna memberi jeda. "Jadi, laporan hasil praktikum kita gak diterima sama PJ pun pilihan lo?"

"Kenapa lo jadi bentak-bentak gini?" tanya Edwin, mulai kehilangan kesabaran. "Lo tau apa tentang gue? Tentang hari ini dari sudut pandang gue?"

"Kenapa lo gak coba mikirin sudut pandang gue juga tentang hari ini?" bentak Luna. "Berkat lo, nilai kita jelek dan gue tau lo gak bego. Sebelum lo pergi, lo udah tau kalau itu bakalan berisiko buat gue, buat Mery, buat anggota kelompok kita yang lain, tapi lo tetep lakuin."

"Udah, Lun, gue lagi capek. Gue gak mau kelepasan dan jadi keliatan kasar," ujar Edwin, berjalan menuju rumahnya. Namun, baru saja Edwin hendak melangkahkan kaki menaiki anak tangga menuju pintu depan rumahnya, Luna meraih lengan lelaki tersebut.

"Lo tau apa yang terjadi hari ini?" tanya Luna, tajam. "Lo bikin nilai kita ikutan berantakan, kaya nilai lo."

"Lo tau apa soal mimpi gue?" Edwin meninggikan suaranya. Luna melepaskan pegangannya. Baru kali ini, dia melihat Edwin mengeluarkan suara setinggi itu. Edwin yang biasanya selalu bercanda dan mengejeknya… kali ini Luna berhasil membuat Edwin tampak berbeda.

Alih-alih merasa takut, Luna justru mencengkram kerah baju Edwin, menatapnya penuh emosi. Edwin tertegun ketika dia bisa melihat air mata yang mengembun di kedua mata perempuan tersebut, memperlihatkan ekspresi sedih sekaligus marah dalam waktu yang bersamaan.

"Lo sadar kalau lo baru aja ngancurin mimpi orang lain demi mimpi lo sendiri?" bentak Luna. "Hal sekecil itu mungkin gak berguna bagi lo, tapi bagi gue, itu berharga. Karena… jadi dokter gigi adalah mimpi gue dan gue udah menaruhkan semuanya untuk bisa masuk ke fakultas itu, tapi lo seenaknya ngeliat itu sebagai hal yang sepele."

Luna melepaskan cengkramannya. Edwin dapat melihat tangan perempuan itu bergetar, menahan amarah yang menggelegak. Sepersekian detik, perempuan itu melemparkan bungkusan kecil transparan berisi beberapa buah cokelat putih berbentuk bulat yang diikat dengan pita merah.

Itu adalah cokelat Valentine yang Edwin minta kepada Luna, kemarin. Edwin terdiam cukup lama, memandangi cokelat itu. Luna bahkan membuat cokelat putih kesukaan Edwin, seperti yang pernah Edwin katakan ketika mereka ke toko kue bersama.

"Percuma gue khawatir sama lo seharian ini," gumam Luna, berjalan keluar dari perkarangan rumah Edwin. "Padahal lo cuma mikirin diri lo sendiri."

TaoreruKde žijí příběhy. Začni objevovat