Chapter 16: Khawatir

350 64 0
                                    

HARI ini, Edwin pergi ke kampus seperti biasa, meskipun ada drama pada jam kuliah pertama karena dia tak bisa tidur di malam hari dan akhirnya telat bangun pada pagi hari. Edwin berkali-kali beradu pandang dengan Luna, apalagi mereka ada di kelas yang sama pada tutorial, tapi Luna selalu berusaha menghindari Edwin.

Tutorial dalam kedokteran adalah diskusi kelompok yang dibimbing oleh dosen dan bertujuan untuk menganalisis kasus pasien dalam suatu skenario yang mengandung bidang ilmu yang saling terkait. Biasanya, Edwin dan Luna sama-sama mengisi bagian hipotesis sementara, tapi hari ini, Luna justru mengisi bagian mekanisme. Bahkan, untuk hal sekecil itupun, Luna tak ingin sama dengan Edwin dan sepertinya, perempuan itu benar-benar kesal kepada Edwin.

Hal itu membuat Edwin semakin merasa bersalah. Edwin bukannya baru merasa bersalah sekarang. Sejak tadi malam, setelah Luna pergi dari rumahnya, Edwin tak bisa berhenti memikirkan Luna. Dia benar-benar merasa bersalah membuat Luna merasa marah, sedih, dan nilai Luna pun jadi jelek karena keegoisannya. Bahkan, Luna tak melupakan permintaan Edwin yang berkedok candaan mengenai cokelat Valentine. Luna sengaja membuat cokelat putih karena Edwin pernah bilang, lelaki itu lebih menyukai cokelat putih. Edwin tau, Luna adalah orang yang baik, meskipun cenderung tampak galak dan bermulut tajam. Namun, Luna kerap memperlihatkan perhatian dalam konteks pertemanan melalui tindakannya.

Rasanya, hal ini sedikit mirip dengan kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika Edwin keceplosan di depan Dokter Eddie dan Luna jadi marah padanya. Ah, tapi kali ini, apa yang harus Edwin lakukan?

Edwin menenggelamkan kepalanya di meja. Dia benar-benar lelah. Seharusnya, rasa lelahnya setelah seharian kemarin memiliki kesibukan, mengantarkannya kepada tidur yang nyenyak dan mimpi yang indah. Namun, alih-alih tidur nyenyak, kepala Edwin dipenuhi oleh rasa bersalah dan dia ingin pagi hari segera tiba, agar dia bisa meminta maaf kepada Luna. Namun, bahkan setelah duduk di dekat Luna karena berada dalam kelompok yang sama, Edwin justru tak tau harus bagaimana. Lebih tepatnya, Edwin tak tau permintamaafan apa yang pantas untuk menebus keegoisannya kemarin.

Meskipun Edwin sudah menemui Dokter Elin secara personal, menjelaskan semuanya dengan rinci, dan wanita itu mau mengerti serta menerima laporan hasil praktikum mereka, tapi tetap saja, Edwin masih merasa bersalah. Apalagi, tadi malam, Edwin ikut meninggikan suaranya dan malah berbicara mengenai mimpi. Padahal, seharusnya dia tau, tak hanya dirinya yang memiliki mimpi di dunia ini. Orang lain pun punya mimpi, termasuk Luna.

"Kita cukupkan hari ini. Besok di pertemuan kedua, tolong lampirkan jawaban beserta referensi yang jelas, ya," ujar dosen pembimbing mereka, berjalan keluar dari ruangan ini setelah merapikan barang-barangnya.

"Luna."

Luna menoleh ke arah sumber suara. Edwin menelan salivanya ketika dia melihat tatapan mematikan dari Luna. Ah… kelar sudah, sepertinya perempuan ini benar-benar marah.

"Gue udah bilang ke Dokter Elin soal kemarin dan beliau mau nerima laporan hasil praktikum kelompok kita," ujar Edwin, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Jadi, lo bisa kasih kertas laporannya ke gue sekarang, biar gue bisa kasih ke Dokter Elin, habis ini."

Luna mengangguk, lalu mengeluarkan kertas laporan tersebut dari tasnya. Setelah itu, Luna pun pergi meninggalkan Edwin tanpa menjawab apapun. Edwin hanya bisa tersenyum kecut, memandangi punggung perempuan itu meninggalkan kelas ini dengan datar. Baiklah, jika orang segorila Luna bisa mendadak jadi sekalem itu, tandanya dia benar-benar marah.

"Kenapa lo?" tanya Dito, mengacak rambut Edwin, membuakkan tatapan kesal dari lelaki tersebut. "Kantung mata gede, penampilan berantakan, muka lesu. Tinggal nyimeng aja nih yang belom."

"Bangsat," balas Edwin, menepuk jidat Dito, berhasil membuat lelaki yang berstatus sebagai ketua angkatan itu meringis kesakitan.

"Lagian, penampilan lo kenapa gitu, sih? Udah rocker banget, emangnya?" tanya Dira, terkekeh mengejek. Edwin hanya bisa memutar kedua bola matanya malas, tak ingin buang-buang tenaga untuk merespon dua sejoli yang kompak ini.

"Lo gak balik bareng Luna, Dir?" tanya Edwin, memiting kepala Dito. "Mau ngebucin dulu sama nih kunyuk?"

Dira menyengir kuda, menggaruk kepalanya, canggung. "Habisnya, besok kita mau jalan."

Edwin mengernyitkan dahinya. "Jalan? Bolos kuliah, gitu?"

"Apaan, sih. Besok kan tanggal merah," balas Dito. "Jangan bilang lo gak tau."

Edwin menyengir kuda. Besok? Tanggal merah? Bagaimana mungkin orang seperti dirinya sampai tidak tau kalau besok adalah tanggal merah? Padahal biasanya, sebulan sebelum tanggal merah saja dia sudah tau.

Namun, tunggu. Jika besok adalah tanggal merah, bukankah Edwin jadi menderita lagi sampai besok? Maksudnya, dia akan terus-terusan merasa bersalah. Soalnya, meskipun dia sering berdebat dan saling ledek dengan Luna, itulah tanda bahwa mereka akur dan tak bisa dipungkiri, Luna adalah salah satu teman dekatnya di angkatan. Selain itu, meskipun Luna sudah tau bahwa Edwin sudah bertanggung jawab mengenai nilai kelompok ke Dokter Elin, perempuan itu tetap marah padanya.

"Lagian, Luna juga hari ini mau balik ke Bogor," tambah Dira. "Ke rumah bokap nyokapnya."

Edwin mengangguk halus, mengerti.

"Lo kenapa lagi?" tanya Dira, mengernyitkan dahinya. "Berantem sama Luna?"

"Masa, sih?" Dito menaikkan sebelah alisnya. "Kamu tau darimana?"

"Ya, kalau mereka gak saling ledek sehari aja, tandanya berantem beneran," jawab Dira, tertawa. "Lagian, semalem Luna pulang malem, sih. Lo ngobrolin apa sama dia dari jam tujuh? Habis itu, malah diem-dieman. Aneh banget."

Edwin tertegun. Luna menunggunya dari jam tujuh? Perempuan itu menunggu Edwin pulang selama tiga jam?

"Gue gak ngobrolin apapun sama dia," jawab Edwin. "Gue baru sampe rumah jam sepuluh. Kita berantem karena gue gak dateng kemarin pas praktikum dan hampir bikin nilai kelompok kacau."

Dira mengernyitkan dahinya, tampak sedikit kaget. "Dia bela-belain nungguin lo sampe tiga jam gitu?"

Edwin mengangguk, menghela napasnya pasrah. "Kayanya dia sekesel itu sama gue, sampe nungguin tiga jam cuma buat ngasih tau gue soal nilai kelompok itu."

Dira terdiam sejenak, saling pandang dengan Dito. Sepersekian detik, Dira menepuk-nepuk bahu Edwin. "Gue tau lo bego dan gak peka, tapi lo bisa bedain gak, cewek yang lagi marah sama cewek yang lagi khawatir?"

Edwin menautkan alisnya. "Apa?"

"Dia gak bakalan buang waktu sampe tiga jam cuma karena dia pengen marahin lo perkara praktikum," sambung Dito menghela napasnya, sedikit gerah dengan temannya yang benar-benar lemot ini. "Dalam artian lain, dia sebenernya khawatir sama lo karena lo ngilang seharian."

Taoreruحيث تعيش القصص. اكتشف الآن