Chapter 28: Kontrak yang Hancur

305 53 0
                                    

HARI ini, Edwin tidak datang ke kampus. Namun, tidak seperti waktu itu, Edwin sudah memberitahu alasan ketidakhadirannya kepada Dito, selaku ketua angkatan mereka. Edwin juga sengaja memilih hari yang tidak memiliki jadwal praktikum ataupun tutorial agar tidak memberatkan anggota kelompoknya. Namun, entahlah, Dito sempat berkata bahwa dia akan tetap mengisi absen Edwin dengan keterangan hadir.

Hari ini, Edwin memutuskan untuk pergi ke Bandung bersama Asta, Endro, dan Kemal. Empat lelaki itu berniat untuk mendatangi Winx Records, pihak yang waktu itu membuat kontrak dengan Trapnest. Sudah lebih dari tiga bulan, tak ada informasi lanjut ataupun kepastian mengenai hal tersebut dan jujur saja, hal itu membuat Edwin resah.

"Gue ada koleksi film 18+ baru. Nobar gak, besok?" tanya Endro, sembari mengunyah cemilannya.

"Ogah. Lo demennya Jepang. Si Edwin aja yang hikikomori males nonton film 18+ Jepang," balas Asta, membuat Edwin menatap galak.

"Bangsat, hikikomori lo bilang?" Edwin mengulurkan kedua tangannya dari kursi belakang, memukul kedua pipi Asta, yang duduk di kursi kemudi.

"Nonton yang western, deh," ujar Kemal. "Gas kalau gitu."

"Tau, apaan banget yang dari Jepang. Cowonya kicil-kicil."

"Dih, ngapain liat cowoknya? Orang yang penting ceweknya."

"Si paling gede."

"Anjer."

"Lo gak masalah nih, Win?" tanya Asta, mengubah arah pembicaraan mereka. Lelaki yang sedang menyetir itu menatap Edwin dari pantuan cermin di mobilnya. "Lo ada kuliah kan, hari ini?"

"Ya, sama kaya lo semua. Lo juga harusnya kuliah kan hari ini?" kata Edwin. "Lagian, gue udah izin, kok."

"Kita mah gampang. Gak ada praktikum, tutorial, atau hal ribet lainnya. Lo kan susah," ujar Endro. "Lo juga, Bang. Gapapa hari ini bolos kuliah? Mana udah semester delapan."

"Udahlah, santai aja," ujar Kemal dengan mata yang fokus ke layar ponselnya. "Sebelum gue beneran koas, gue mau kontrak kita jelas."

Sama seperti Edwin, Kemal adalah mahasiswa kedokteran gigi dan berstatus sebagai kakak tingkat mereka. Namun, tak seperti Edwin, Kemal tak berniat untuk memberikan seluruh dirinya demi musik. Musik hanyalah opsi kedua baginya. Sesuatu yang dia cintai. Apalagi, dia sudah bermain bass sejak SMP, itulah kenapa dia setuju ketika Edwin menawarkannya untuk masuk ke dalam band mereka.

"Menurut lo, keputusan kita bakalan berhasil?" tanya Endro. "Untuk sejenak, gue ngerasa takut."

Edwin mengerti apa yang Endro katakan. Dia pun seperti itu. Secinta apapun dirinya ke musik, bahkan jemarinya penuh bekas luka karena gitar, hal itu justru tak membuatnya percaya diri untuk melangkah lebih jauh. Hal itu justru membuatnya tambah pusing, takut, dan khawatir. Bukannya membuatnya semakin semangat, ambisi yang besar itu justru memaksanya memikirkan banyak hal buruk. Bagaimana jika begini dan bagaimana jika begitu. Semuanya menguap di kepala, membuat Edwin gelisah.

"Kalau kita gak berhasil, entah muka gue mau ditaro dimana," ujar Edwin, menghela napasnya. "Gue sampe rela nyetujuin omongan nyokap gue untuk gak balik sebelum gue nyerah sama mimpi gue."

Asta, Endro, dan Kemal hanya diam. Mereka yang biasanya mungkin akan langsung melontarkan candaan kasar dan mengejek Edwin. Namun, kali ini, suasana di dalam mobil ini benar-benar datar. Dingin. Semuanya sibuk dengan isi kepala masing-masing, meskipun hal yang mereka pikirkan itu sama.

Padahal, tadi sebelum membicarakan ini, mereka masih bisa bercanda dan saling ledek. Sejujurnya, salah satu alasan dari pesimisnya mereka mengenai kontrak ini adalah karena pihak Winx Records sama sekali tidak menghubungi mereka dan perjalanan mereka menuju Bandung saat ini adalah inisiatif mereka sendiri. Itu tandanya, jika mereka jauh-jauh ke Bandung hanya untuk menerima pernyataan buruk ataupun pembatalan, rasanya akan sangat menyakitkan.

TaoreruWhere stories live. Discover now