Chapter 24: Vending Machine

309 55 0
                                    

TIGA hari berlalu sejak kejadian waktu itu. Edwin dan Luna pun sudah tidak berbicara selama itu pula. Bukan karena Edwin yang tidak ingin menyapa Luna, tapi perempuan itu selalu menghindar tiap kali Edwin mendekatinya atau mengajaknya berbicara, sekalipun itu menyangkut materi perkuliahan. Hal itu membuat Edwin cukup kewalahan karena seperti biasa, mereka berada di kelompok yang sama dalam praktikum, tutorial, dan pleno.

Tak hanya itu, Dira dan Dito yang memerhatikan hubungan Edwin dan Luna yang malah merenggang pun ikut merasa kebingungan. Namun, di samping semua itu… bagaimana dengan perasaan Edwin setelah mengetahui bahwa Luna menyukainya?

Jujur saja, Edwin pun merasa kebingungan. Yang benar saja, lelaki yang Luna sukai adalah dirinya? Padahal, dari awal, mereka bisa sedekat ini pun karena Edwin mengetahui fakta bahwa Luna menyukai Dokter Eddie dan Kevin. Bahkan, Edwin membantu Luna untuk mendekati Kevin, lelaki yang pernah perempuan itu sukai. Namun, sekarang, apa ini? Perempuan itu menyukai Edwin?

Meskipun Edwin merasa sedikit terhina karena dia ingat, Dira dan Luna pernah bilang bahwa Luna sengaja menurunkan standarnya demi lelaki yang Luna sukai itu. Yah, mau dilihat dari manapun, Edwin dan Luna memang berbeda sekali. Pemikiran, hal yang disukai, ambisi, apapun. Edwin pun tak mengerti, kenapa perempuan itu bisa menyukainya? Lalu, yang lebih penting saat ini, bagaimana caranya dia bisa berkomunikasi seperti biasa dengan Luna? Mengingat bahwa perempuan itu terus-terusan menghindarinya. Bukankah Edwin belum menjawab apapun perihal ungkapan perasaan Luna waktu itu?

"Eh, lo berdua, temen lo tuh mau ngejauhin gue sampe kapan?" tanya Edwin, duduk di tengah-tengah Dira dan Dito yang sedang makan bersama di kantin, membuat dua sejoli yang sedang bercengkrama itu menatap bingung. "Dikira gue setan kali ya, tiap kali ketemu gue malah kabur."

"Itu wajar, sih," Dito menyengir. "Perasaannya lagi campur aduk sekarang. Malu, takut, bahkan kesel."

Edwin terdiam sejenak. "Oh ya, kesel. Apa sebenernya dia marah sama gue?"

Dira menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"

"Ya, habisnya, dia tiba-tiba nyatain perasaan waktu itu karena gue yang gak peka," ujar Edwin, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bahkan, sebenernya, dia udah nyatain perasaan waktu hari ulang tahunnya, di rumah gue waktu itu, tapi gue tetep gak peka."

"Hah? Luna bahkan udah nyatain perasaannya waktu itu? Kenapa dia gak cerita?" kata Dira, melebarkan matanya.

"Yah, tapi gue malah ngira ungkapannya itu cuma sekedar ungkapan terima kasih karena hadiah gueー"

Plak!

Geplakan itu mendarat mulus di jidat Edwin, membuahkan ringisan dari lelaki tersebut. Edwin mendengus kesal, menatap Dira yang baru saja menepuk jidatnya dengan keras, tanpa aba-aba. "Sakit, anjir!"

"Ya, lo bego banget," omel Dira, berkecak pinggang. "Lo gak mikirin perasaan yang Luna tanggung karena keogeban lo itu?"

Edwin terdiam, cukup lama. Dito, yang bernotabene sebagai teman dekatnya di kampus dan seharusnya membelanya pun, mengangguk setuju terhadap ucapan Dira barusan.

"Gue gak habis pikir. Kenapa Luna bisa suka sama orang yang punya otak udang kaya lo?" Dira memijit-mijit dahinya, kesal. "Dan jangan bilang lo bahkan gak nganggep perasaan Luna yang sekarang ini sebagai hal yang serius?"

"Gak mungkin gue gak nganggep itu sebagai hal yang serius," ujar Edwin, menghela napasnya. "Gue bahkan gak bisa tidur semaleman, hari itu. Sejujurnya, gue pun gak tau harus bersikap gimana ke Luna, tapi di sisi lain, gue juga gak mau kehilangan Luna sebagai temen gue."

Hening sejenak. Edwin menganggap Luna sebagai teman yang berharga. Jika tidak, tak mungkin dia sampai pergi ke Bogor hanya untuk meminta maaf kepada Luna ketika Luna pulang ke rumah orang tuanya. Lalu, hal lainnya seperti meminta band Trapnest melangsungkan konser dadakan hanya untuk Luna, padahal jadwal mereka sudah mepet malam itu. Edwin benar-benar menghargai setiap waktu yang dia habiskan bersama Luna. Edwin merasa terhibur ketika dia mengganggu Luna, Edwin merasa senang ketika dia berdebat dengan Luna, Edwin merasa wajah marah Luna adalah sesuatu yang lucu. Namun, sebelumnya, Edwin tak pernah memikirkan Luna dengan cara lain, seperti konteks hubungan asmara.

Edwin menenggelamkan kepalanya di atas meja kantin. Kelas akan dimulai. Untung saja, hari ini hanya penyampaian materi kuliah biasa, bukan praktikum ataupun tutorial yang harus melibatkan Edwin dan Luna dalam kelompok yang sama.

"Gue mau beli minuman dulu," ujar Edwin, bangun dari posisinya dan berjalan keluar dari kantin. Edwin menelusuri koridor kampus dengan langkah gontai. Rasanya, perasaan Luna kepadanya itu membuat hati dan pikirannya kacau. Dia merasa lelah.

Baru saja Edwin tiba di mesin minuman otomatis dan hendak memasukkan uangnya, dia tertegun ketika Luna baru saja tiba, terlonjak kaget ketika melihat Edwin.

Edwin hanya bisa nyengir. "H-hai."

Ah, tidak. Sapaan aneh macam apa itu?! Edwin mengatupkan bibirnya rapat, merutuki dirinya sendiri yang menyapa Luna dengan cara aneh dan membuat situasi ini semakin canggung. Sejak kapan dia menyapa Luna dengan sesopan dan sekaku itu?

Namun, tunggu, kali ini, Luna tidak menghindari Edwin?

"Sapaan jelek macem apa itu," komentar Luna. "Buruan. Gue juga mau beli minuman."

Edwin tersenyum kecut. Lihat, kan? Meskipun mereka sedang canggung satu sama lain, perempuan ini tetap melemparkan kalimat menyebalkan seperti biasanya.

"Lo gak ngehindar, kali ini?" tanya Edwin, menekan salah satu tombol untuk memilih kopi.

Luna hanya diam, tak membalas apapun.

"Jadi, gueー"

"Ah, jangan ngomong apapun," potong Luna, menutup telinganya. "Udah, diem, ogeb."

"Hah, ogeb?! Lo ya, bahkan di kondisi kaya gini pun masih bisa ngucapin sesuatu yang bikin kesel," Edwin mendengus sebal. "Gue bahkan belom ngomong apa-apa, odong."

"Apa? Orang yang lebih goblok kaya lo gak pantes nyebut gue odong."

"Lebih goblok, lo bilang?" Edwin mendengus sebal. "Dengerin gue. Ada sesuatu yang perlu gue pastiin."

"Kapan-kapan aja."

"Apaan, sih? Gue bener-bener harus mastiin ini. Jadi, dengerin gue," Edwin memberi jeda. Wajahnya berubah menjadi serius. "Bentar aja."

Luna membuka telinganya. Dia pun tak merespon apapun lagi, apalagi memberontak. Luna memilih untuk menunggu ucapan Edwin selanjutnya.

"Cowok yang lo suka tuh beneran gue?"

"HAH? Bisa-bisanya lo tiba-tiba bahas itu!" Wajah Luna memerah. Lelaki yang di hadapannya ini benar-benar tak bisa membaca situasi sama sekali. Bagi Luna, pertanyaan Edwin barusan bagaikan senjata api yang baru saja membombardir dirinya dan Luna tak paham, kenapa dia bisa tiba-tiba menanyakan hal memalukan itu di sini.

"Ya, emangnya lo ngarepin pertanyaan apa lagi selain itu?" tanya Edwin.

"Ya apa, kek. Ujian minggu depan kek, praktikum kek, tugas video kek."

"Apa? Ngapain juga gue nanyain itu, bangke. Gak penting banget," Edwin memutar kedua bola matanya sebal. "Gue perlu mastiin. Lo cuma perlu jawab dengan jujur."

Edwin hanya ingin memastikan. Apakah lelaki yang Luna sukai itu benar-benar dirinya?

"Ya."

Edwin tertegun. Jawaban singkat Luna itu membuatnya tak tau harus membalas apa lagi. Hening sejenak. Luna menghela napasnya. Perempuan itu memasukkan uangnya dan menekan salah satu tombol. Setelah meraih minuman yang keluar, dia pun menusuk bagian atas susu pisang itu dengan sedotan.

"Udah, gue mau ke kelas."

"Lo mau dijawab atau enggak?" Edwin menghela napasnya, berjalan mengikuti Luna, yang berjalan mendahuluinya. Tujuan mereka sama, yaitu ruangan di lantai dua yang menjadi kelas perkuliahan mereka setelah ini.

Hening lagi. Mereka hanya mendengar suara derap langkah mereka yang berjalan seirama.

"Lo mau dijawab atau enggak?"

"Ya."

Jawaban Luna barusan terdengar halus, benar-benar berbeda dengan Luna yang biasanya. Luna yang biasanya, mungkin akan melontarkan jawaban yang memancing kekesalan Edwin dengan wajah tengil menyebalkannya. Meskipun, beberapa menit yang lalu, mereka tetap berdebat dan perempuan itu masih menyebalkan seperti biasanya, tapi, saat ini, Luna benar-benar tampak sedikit berbeda.

TaoreruWhere stories live. Discover now