Chapter 8: Tentang Voli

423 64 0
                                    

"BESOK lo jalan sama Kak Kevin," Dira melebarkan senyumannya. "Edwin baik banget, loh. Mungkin, mulai sekarang, lo jangan marah-marah mulu sama dia, Lun. Orang dianya baik banget gitu."

Luna yang berjalan beriringan dengan Dira menelusuri pusat perbelanjaan ini hanya bisa terdiam, cukup lama. Benar. Edwin baik sekali sampai mengorbankan tiketnya untuk Luna, hanya agar Luna bisa dekat dengan Kevin. Yah, sebenarnya, dari dulu, dia tak pernah membenci Edwin. Mereka hanya sering berdebat dan saling ledek, itu juga karena Edwin yang selalu mencari gara-gara.

"Lo sendiri gimana?" tanya Luna, mengalihkan pembicaraan mereka. "Masih berantem sama Dito?"

Senyuman Dira memudar. "Ah, ya gitu, deh. Tuh monyet kaga ada pekanya sedikit pun, gue gedeg banget."

Luna hanya bisa menyengir kuda. Sejak semester awal, Dira sudah berpacaran dengan Dito, ketua angkatan mereka yang tegas dan bertanggung jawab. Dito juga cukup rajin dan satu-satunya mahasiswa laki-laki yang selalu mendapat nilai di atas C pada tiap mata kuliah. Meskipun begitu, bukan berarti dia adalah lelaki yang membosankan seperti kutu buku yang banyak dibicarakan orang. Dito adalah orang yang seru dan nyambung tiap kali diajak ngobrol, itulah kenapa Dira menyukainya. Luna juga senang berteman dengan Dito.

Namun, masalahnya, Dito bukanlah orang yang peka dan terkadang tak menyadari letak kesalahannya sehingga sering membuat Dira merasa kesal. Di sisi lain, Dira adalah perempuan sensitif yang gampang ngambek. Bahkan, hari ini, mereka perang dingin hanya karena Dito yang lupa memberi kabar dari pagi sampai siang karena lelaki itu harus menghadiri rapat ketua angkatan di kampus.

Kekesalan Dira akibat kesalahan lelaki itulah yang membuat Luna dan Dira saat ini berada di pusat perbelanjaan, semata-mata untuk menaikkan mood Dira dengan senjata andalan kebanyakan wanita, yaitu berbelanja. Luna dan Dira pun memasuki salah satu store yang menjual beragam aksesoris. Dira berbinar senang. Luna paham sekali, Dira yang memang menyenangi dunia fashion itu selalu bersemangat jika melihat aksesoris dan hal lainnya yang berkaitan dengan fashion.

Kedua mata Luna tak sengaja menangkap sesuatu yang dipajang di dekat kasir store tersebut. Beraneka gantungan kunci di situ benar-benar menyita perhatiannya. Luna mengukir senyumannya. Dia selalu menyukai gantungan kunci, bahkan mengoleksi itu di rumahnya. Namun, yang menarik perhatian Luna saat ini adalah gantungan kunci yang berbentuk gitar kecil berwarna hitam, sama persis dengan gitar milik Edwin yang lelaki itu gunakan di atas panggung, pada malam festival kampus.

Luna berjalan menuju meja kasir, lalu meraih gantungan kunci itu. Luna terdiam cukup lama, berpikir keras. Apakah dia harus membeli gantungan kunci ini untuk Edwin? Gantungan kunci ini benar-benar menggemaskan. Dia ingin Edwin memilikinya. Selain itu, dia juga merasa bahwa dia perlu berterimakasih kepada Edwin yang berusaha membantunya untuk bisa dekat dengan Kevin.

Pada akhirnya, Luna membeli gantungan kunci itu untuk Edwin. Sebenarnya, dia bisa membayangkan wajah menyebalkan Edwin yang meledek gantungan kunci pemberian Luna. Dia juga bisa membayangkan wajah menyebalkan Edwin yang kegeeran dan menuduh Luna menyukainya. Untuk membayangkannya saja sudah membuat Luna kesal sendiri. Namun, bukan berarti dia membenci Edwin. Dia tak pernah membenci Edwin, meskipun mereka selalu saling ledek.

"Lo duluan aja ke apartemen, Dir," ucap Luna, merogoh tasnya dan meraih ponselnya. "Gue mau ketemu Edwin dulu. Gue mau bilang makasih sama dia, sekalian nanya-nanya soal voli. Gue gak mau keliatan bego banget di depan Kak Kevin, besok."

Dira mengukir senyuman jahilnya. "Manis banget."

"Gak usah aneh-aneh. Mana mungkin gue sama Edwin," ucap Luna, memutar kedua bola matanya malas karena dia mengerti maksud teman dekatnya itu.

TaoreruWhere stories live. Discover now