Chapter 27: Ibu Edwin

285 51 0
                                    

"EDWIN, kamu udah makan?"

Edwin yang semula duduk di sofa ruang tengah sambil memainkan gitarnya, lantas menoleh ke arah sumber suara. Wanita dengan pakaian berwarna cokelat itu menaikkan alisnya, beradu pandang dengan anak pertamanya, menunggu jawaban lelaki tersebut.

"Belum," jawab Edwin, singkat. "Ibu makan duluan aja."

Hari ini adalah hari Minggu. Tak hanya itu, hari ini adalah hari ulang tahun ibu Edwin. Itulah alasan kenapa Edwin memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya dan bermalam di sini, sebelum kembali ke rumahnya sendiri, besok subuh.

Ibu Edwin yang memiliki nama Sari itu pun duduk di sebelah Edwin, memerhatikan jemari Edwin yang memetik senar gitar dengan halus. Wanita itu mendengarkan melodi yang gitar Edwin ciptakan dengan sabar, sampai Edwin berhenti memainkan gitarnya, menatap bingung ke arah ibunya.

"Kenapa?" tanya Edwin, bingung. "Ibu tau lagu yang aku mainin?"

Ibu mengangguk, tersenyum. "Lagu yang sering Ayah mainin."

Edwin menghela napasnya. Sejujurnya, meskipun dia bisa melihat senyuman yang tersungging di bibir Ibu, dia tau kalau ada luka yang wanita itu tutup dengan rapat. Lagu yang baru saja Edwin mainkan adalah lagu dari Dainisekai, band ayahnya.

Sebelas tahun bukanlah waktu yang singkat. Edwin masih mengingat dengan jelas ketika dia baru saja pulang sekolah dan menerima berita bahwa ayahnya kecelakaan menuju konser terakhir band mereka. Ayah Edwin, Prabu, berniat untuk mengadakan konser terakhir untuk band mereka, di Indonesia. Meskipun penggemar mereka yang Indonesia tak sebanyak penggemar mereka asal Jepang, tapi kamera bahkan sudah disiapkan dimana-mana pada hari itu dan ayah Edwin sudah memberikan persetujuan bagi mereka untuk menayangkannya di televisi dan radio. Namun, hari itu, alih-alih sebagai konser terakhir bagi ayahnya, ternyata hari itupun adalah hari dimana Edwin bisa melihat ayahnya.

Rasa sakit itu membekas di hati Ibu, bahkan sampai sekarang. Itulah alasan Edwin jarang pulang ke rumah ini. Dia tak tega jika harus bermain ataupun mendengarkan musik di depan ibunya. Sejak kejadian waktu itu, ibunya tak pernah menyukai musik lagi. Ibunya pun tak pernah berusaha untuk berdamai dengan kejadian waktu itu, bahkan menolak ketika Edwin mengajaknya ke psikiater.

Baginya, alasan dari kepergian suaminya adalah musik. Sekalipun dia adalah seorang dokter gigi yang hebat dan cukup disegani di PDGI, wanita tegas dan pintar, tapi dia akan menjadi wanita yang memiliki pemikiran paling keruh jika sudah membahas alasan dari kematian suaminya.

"Edwin suka banget sama musik, ya," ujar Ibu, mengelus jemari Edwin yang memiliki banyak bekas luka karena senar gitar. "Tangan kamu sampe luka gini."

Edwin hanya diam, membiarkan Ibu mengelus jemarinya. Kedua bola mata itu menyimpan kesedihan yang mendalam, sepertinya Edwin berhasil membangkitkan kenangan yang sampai kapanpun akan selalu berhasil membuat Ibu sedih.

"Ayah juga selalu duduk dan main gitar sampe tangannya luka," sambung Ibu. "Tapi, dia gak peduli."

Edwin mengelus punggung tangan Ibu, lalu menggenggam tangan itu dengan erat. Jari manis itu masih mengenakan cincin pernikahan yang setau Edwin, tak pernah Ibu lepas sejak dulu. Sedalam itu rasa cintanya kepada Ayah.

Edwin bangun dari posisinya, lalu berjalan menuju turntable yang ada di sudut ruang tengah. Edwin pun bersimpuh, memilih piringan hitam untuk dipasang di atas benda tersebut. Setelah meletakkan piringan hitam pilihannya, musik itupun mengalun pelan. Edwin tersenyum ringan, mengulurkan tangannya ke arah Ibu. Ibu membalas senyuman Edwin, menerima tangan Edwin, lalu berdiri sejajar dengan Edwin.

Beritahu aku, Hapsari
Berapa banyak pelampung yang harus aku miliki
Agar aku tidak tenggelam dalam keindahan matamu?

Mereka berdansa mengikuti irama dari musik tersebut. Ini adalah musik dan dansa yang dulunya selalu diputar oleh Ayah dan Ibu, di ruang tengah. Mereka saling mengukir senyuman, sedangkan Edwin dan adik-adiknya akan menonton tarian mereka dengan antusias.

Saat ini, Edwin yang jauh lebih tinggi dari ibunya, hanya bisa ikut menahan kesedihannya ketika dia bisa merasakan kepedihan yang ibunya rasakan. Namun, ini dia lakukan untuk mengobati rasa rindu yang Ibu miliki kepada Ayah. Selain wajah dan perawakan yang mirip, setidaknya keberadaan Edwin bisa mengobati hati Ibu, meskipun ibaratnya menempelkan plester kecil di atas luka yang membentang luas.

"Kamu bener-bener cinta sama musik," gumam Ibu. "Ibu gak bisa nemuin perbedaan kamu sama Ayah. Sama sekali."

"Ayah pasti ikutan sedih kalau liat Ibu terus-terusan sedih, ujar Edwin. "Kenapa Ibu gak coba berdamai sama kepergian Ayah?"

"Andai Ibu tau caranya."

Edwin terdiam sejenak. "Bu."

Ibu mendongakkan kepalanya, menatap Edwin.

"Mimpi Edwin adalah menjadi musisi," ujar Edwin. Meskipun hanya kalimat singkat, tapi sejujurnya, dia bersusah payah untuk mengumpulkan keberanian yang besar demi mengatakan hal itu. "Itulah faktanya dan Edwin tau, Ibu tau itu."

Ibu terdiam sejenak, cukup lama. "Kamu udah semester enam, Win."

"Bukan berarti Edwin mau keluar dari fakultas kedokteran gigi, bukan gitu. Edwin bakalan tetep lanjutin," kata Edwin. "Tapi, izinin Edwin untuk hidup dikelilingi oleh musik juga. Izinin Edwin untuk bermain musik di atas panggung. Keinginan Edwin cuma sebatas itu, Bu."

"Ibu gak ngerti jalan pikir kamu," Ibu memberi jeda. "Padahal, Ayahー"

"Ayah adalah Ayah dan aku adalah aku. Kita beda."

"Ibu gak ngerti. Jelas-jelas kamu cuma meniru mimpi Ayah," ujar Ibu. Edwin berhenti dari dansanya. Sejujurnya, dia tau jawaban Ibu akan seperti ini lagi. Namun, rasanya tetap sakit. "Ayah adalah Ayah dan kamu adalah kamu. Kamu bahkan gak tau apa yang kamu pengen. Apakah kamu terobsesi sama Ayah atau semacemnya?"

"Aku gak niru," bantah Edwin. "Apakah salah kalau aku punya mimpi yang sama kaya Ayah?"

"Entah sejauh apa kamu berani melangkah untuk wujudin mimpi itu," Ibu tersenyum. "Ibu gak mau nerima berita buruk lagi mengenai orang yang meninggal di perjalanan menuju konser. Bahkan, Ibu gak mau bayangin itu."

"Gimana kalau ternyata aku mati di perjalanan pulang dari rumah ini?" tanya Edwin, mulai kehilangan kesabaran. "Apakah musik juga yang salah?"

"Kamu berani ngelawan Ibu?"

"Ibu nanya, sejauh apa aku berani melangkah untuk wujudin mimpi itu?" Edwin meraih gitarnya. "Perjanjian kontrak untuk band. Itu yang berani aku lakuin sejauh ini."

Ibu terdiam sejenak, cukup lama. Wanita itu menunduk, menahan amarahnya. "Jangan balik lagi ke rumah ini... sampe kamu nyerah soal musik."

TaoreruWhere stories live. Discover now