Chapter 19: Perasaan

349 56 2
                                    

TAK terasa, semester lima pun berakhir. Sekali lagi, mereka berhasil melewati rintangan yang semakin naik, semakin banyak tanjakan. Luna bersyukur bahwa tak ada nilainya yang di bawah B sehingga dia tak perlu mendaftar remedial. Namun, nasib buruk untuk Edwin, lelaki itu harus mengikuti beberapa remedial, meskipun kali ini dia tak harus ikut semester pendek, seperti biasanya.

Drrt. Drrt.

Luna yang masih memejamkan matanya di atas tempat tidur, lantas terbangun dan meraih ponsel yang berdering di sebelahnya. Luna melirik arloji yang menempel di dinding kamarnya, lalu membuka matanya yang masih berat karena mengantuk, membaca nama yang tertera di layar ponsel tersebut.

Edwin jelek is calling…

Luna menekan tombol hijau yang ada di layar tersebut, lalu menempelkan ponselnya di telinga.

"Eh, Lun, bantuin gue."

Luna mengernyitkan dahinya, mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menetralkan pandangan. "Hah? Kenapa?"

"Bantuin gue."

Luna mengubah posisinya menjadi duduk, mulai sedikit panik dengan kalimat yang Edwin lontarkan dari seberang sana dan menurutnya sedikit ambigu. "Lo kenapa?"

"Ini… bantuin gue jawab soal remedial."

Luna tersenyum kecut. Luna pun bisa mendengar suara kekehan lelaki itu yang terdengar menyebalkan di telinganya.

"Gue tutup teleponnya."

"Hah? Jangan."

"Lo tau ini jam berapa?" tanya Luna, sebal. "Jam tujuh lewat, itu tandanya lo baru mulai ujian, tapi lo udah minta bantuan, bangke."

"Ya, mau gimana. Gue emang gak bisa banget di ujian teori," jawab Edwin, cengengesan. "Padahal, waktu itu, gue bantuin lo praktikum. Bantu nyempurnain hasil akhir lo. Lo bukannyaー"

"Iye, udah. Mana soalnya? Coba bacain," potong Luna, beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan untuk membuka gorden kamarnya.

Luna mengikat rambutnya, lalu duduk di dekat jendela kamarnya untuk mendengarkan soal yang Edwin bacakan dengan berbisik, barangkali takut ketahuan dosen pengawas. Lagipula, siapa dosen pengawas mereka saat ini sampai beliau tidak menyadari bahwa ada mahasiswanya yang sedang menelepon Luna? Padahal, ini masih pukul tujuh pagi. Sejujurnya, Luna berharap dia bisa bangun siang untuk hari pertama libur semester ini dan menikmati waktu istirahatnya dengan tenang. Namun, laki-laki ini seenaknya mengganggu tidurnya. Ah, yang benar saja, kenapa Luna bisa menyukai lelaki seperti ini?

"Eh, lo kaya gini, emangnya gak ketahuan?" tanya Luna, ketika dia sudah selesai membantu Edwin menjawab lima soal berbentuk essay tersebut.

"Gak. Kan yang ngawas Dokter Eddie, rada bolot," jawab Edwin, datar. "Oh ya, nanti malem lo dateng, kan?"

Luna terdiam sejenak. Oh ya, mereka, satu angkatan, sudah berjanji ingin mengadakan movie night di kampus. Ini adalah ide yang mungkin bisa membuat mereka berada di ambang kematian jika ketahuan, tapi mereka sudah sepakat untuk menyelinap masuk ke ruangan yang biasa mereka gunakan dan mengadakan movie night.

Rencana itu bukannya dipikirkan sekedarnya dan mentah-mentah tanpa memikirkan dampak setelahnya. Namun, karena saat ini libur semester, apalagi tak mungkin ada warga kampus yang datang malam-malam ke kampus dan melakukan pengecekan dadakan, itulah kenapa semuanya menyetujui ide yang dicetuskan oleh Dito, ketua angkatan mereka tersebut.

"Dateng."

"Anjir, Dokter Eddie ke sini. Udah, gue tutup dulu."

Luna menahan tawanya. Di satu sisi, dia berharap Edwin bisa melewati ujiannya dengan baik. Di sisi lain, dia berharap Dokter Eddie menangkap kelakuan busuknya yang baru saja menelepon pada saat ujian berlangsung.

"Siapa?" tanya Dira, membuka pintu kamar Luna dengan handuk di kepalanya.

"Edwin," jawab Luna, singkat. Perempuan itu pun berjalan keluar kamar, lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang terletak di ruang tengah. "Nanti malem lo ikut, kan?"

Luna menyengir kuda. Sepertinya, dia salah melemparkan pertanyaan. Tentu saja, Dira ikut, mengingat bahwa movie night di kampus adalah ide dari pacarnya sendiri. "Udah, gak usah dijawab."

Dira terkekeh kecil, lalu duduk di lantai dan menyalakan hairdryernya. Sepersekian detik, perempuan itu mulai sibuk mengeringkan rambutnya dan menciptakan suara yang berisik bagi Luna.

"Jadi, kapan lo confess ke Edwin?" tanya Dira, membuat Luna yang tengah menuangkan susu ke sebuah gelas, lantas tanpa sengaja menumpahkan susu tersebut, melenceng dari gelas. "Gugup banget, Bu Haji."

"Ngapain gue confess ke dia?" Luna bertanya balik, berusaha mengontrol ekspresinya agar tidak menjadi bahan olokan bagi Dira.

"Ya, habisnya, kalau lo berharap dia yang confess, kayanya bakalan susah," Dira menaikkan kedua bahunya. "Lo tau, Edwin selemot apa."

Luna terdiam cukup lama, mencerna ucapan Dira dengan baik. Dira benar. Mereka sudah berada di kelas yang sama selama lima semester dan lelaki itu memang cukup lemot dan tidak peka terhadap banyak hal. Isi kepalanya pun hanya dipenuhi oleh musik dan berbagai hal yang dia suka sehingga menurut Luna, entah masih ada ruang untuk Luna di pikiran dan hatinya.

"Tapi, gimana kalau ternyata dia nolak gue, terus kita jadi canggung dan gue gak bisa temenan lagi sama dia?" tanya Luna, halus. "Gue juga gak mau kehilangan temen kaya dia."

Dira terdiam sejenak, melipat kedua tangannya di depan dada dan berpikir keras. Sepertinya, sebelum Luna mengambil langkah yang lebih jauh seperti menyatakan perasaan atau semacamnya, Luna harus tau sedikit dari setidaknya mengenai hubungan asmara melalui sudut pandang Edwin. Maksudnya, seperti perempuan seperti apa yang Edwin sukai dan semacamnya. Selain itu, sepertinya Edwin juga tak pernah menyinggung hal semacam itu di depan mereka.

Luna menahan tawanya. Apa jadinya kalau dia menyukai Edwin, ternyata lelaki itu malah homo?

"Oke, gak ada waktu untuk ketawa dan bersantai, Lun," ujar Dira, menegakkan tubuhnya dengan ambisius. "Lo harus tau tipe cewek kaya gimana yang Edwin suka. Lo gak mau kan, dia diambil cewek lain?"

"Jangan gitu," gumam Luna. "Gue juga masih belom yakin sama perasaan gue sendiri."

Namun, tak bisa dipungkiri, perkataan Dira ada benarnya. Ada banyak perempuan, terutama adik tingkat yang tertarik pada Edwin, apalagi sejak pertandingan voli beberapa bulan yang lalu.

TaoreruWhere stories live. Discover now