Chapter 39: Obrolan di Tengah Kartun

333 54 0
                                    

"JADI, kayanya akhir-akhir ini, Edwin sibuk banget, makanya bisa sampe tidur di kelas lagi," ujar Dokter Eddie, menekan kata 'lagi' di akhir kalimatnya.

Luna menoleh ke belakang. Perempuan itu hanya bisa tersenyum kecut melihat Edwin yang tertidur dengan model yang sama seperti waktu itu. Luna mendengus sebal. Hasratnya untuk mengggeplak laki-laki itu sudah meronta-ronta. Padahal, Luna sudah pernah memperingatkan Edwin bahwa Dokter Eddie selalu memosting foto mahasiswa yang ketahuan tidur di media sosialnya, tapi Edwin tetap tak mengubah kelakuan anehnya itu.

"Hadeh," Dira menepuk jidatnya. "Tuh orang udah semester tua, tapi tetep gak berubah."

Setelah berhasil mengambil foto seperti waktu itu, Dokter Eddie pun kembali berjalan menuju mejanya. "Oke, kelas kita cukupkan sampe di sini, ya."

"Jadi, ada yang mau bangunin Edwin?" tanya Dito, menyengir kuda.

"Udah, biarin aja tinggal sendirian," jawab Luna sambil meraih tasnya, kesal. "Lagian, udah diperingatin jangan tidur kalau Dokter Eddie yang ngajar, tuh kunyuk tetep aja gak ngerti."

"Jadi, siapa yang mau bangunin?" tanya Dira, terkekeh. "Kasian banget kalau bangun-bangun udah kosong."

Dito, Dira, dan Luna pun saling pandang. Dua sejoli itu tersenyum lebar penuh arti ke arah Luna, membuat Luna yang merasa tertodong, hanya bisa tersenyum paksa bercampur sebal. Sepersekian detik, perempuan itupun berjalan dengan langkah gusar menuju meja Edwin. Luna terdiam sejenak, tampak mengumpulkan tenaganya.

"WOI, BANGUN!"

Edwin spontan mengangkat kepalanya dengan kaget, lalu menoleh ke depan. Lelaki itu mendengus kesal ketika dia menemukan wajah galak Luna di hadapannya. "Bangke lo, ya. Ngebangunin orang udah kaya ngeden berak."

"Eh, ini udah jam pulang. Lo mau tidur sampe kapan?" tanya Luna, melipat kedua tangannya di depan dada dengan galak. "Capek banget, kelakuan busuk lo ini gak udah-udah."

"Kelakuan busuk?" tanya Edwin, tak terima. "Lo, ya, padahal kemarin gue udah traktir lo martabak."

"Ah, malah ngebahas yang itu. Udah, lo pulang apa kagak?"

"Lo nyatet materi gak tadー"

"Gue gak mau liatin catetan."

"Gue aja belom selesai ngomong, setan."

Dira dan Dito hanya bisa tersenyum pasrah melihat kedua temannya tersebut. Pemandangan ini sudah tak asing bagi mereka. Setelah membereskan peralatan tulisnya, Edwin pun segera meraih tasnya dan berjalan beriringan dengan Luna, Dira, dan Dito. Sepanjang perjalanan menuju gerbang depan kampus, Edwin hanya bisa mendengus sebal karena tiga temannya itu menceramahinya tanpa henti, terutama Luna, orang yang memiliki mulut terpedas di antara dua orang temannya yang lain. Luna memang tak tanggung-tanggung jika mengomeli Edwin dan Edwin hanya bisa menahan kejengkelannya karena semua yang Luna katakan itu benar.

Seminggu berlalu sejak kejadian malam itu. Mereka berkuliah seperti biasa, mengingat bahwa hari ini pun termasuk weekdays apalagi awal minggu yang sudah pasti memuat jadwal yang lebih padat daripada biasanya.

Malam itu, setelah Edwin menceritakan apa yang dia alami kepada Luna dan Luna berusaha menenangkan Edwin, Luna pun pulang ke apartemennya kembali. Malam itu, rasanya seperti mimpi. Edwin melihat Luna pada malam itu sebagai seseorang yang berbeda. Luna berhasil mendobrak sesuatu di dalam dadanya yang membuat Edwin mengurungkan niatnya untuk menyerah. Meskipun sudah seminggu berlalu, tapi Edwin masih belum bisa melepaskan pikirannya dari kejadian malam itu. Sesungguhnya, dia bersyukur memiliki teman seperti Luna. Entah dia akan jadi seperti apa tanpa keberadaan Luna malam itu.

TaoreruOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz