Chapter 38: Angel

311 58 0
                                    

"UDAH, cukup. Kita bisa beneran hancur kalau gini terus," Asta menengahi mereka berdua, mendorong kedua dada mereka agar mundur satu sama lain. "Ndro, kita tukeran. Malem ini, lo sekamar sama Bang Kemal. Biar gue sama Edwin."

"Gue pulang aja," ujar Edwin, meraih gitar dan kunci mobilnya. "Sori, gue udah kasar sama lo, Ndro. Gue cabut dulu."

Tak ada satupun yang membalas ucapan Edwin barusan. Sepertinya, sama seperti Edwin, suasana hati Asta, Endro, dan Kemal pun jadi berantakan akibat topik obrolan tadi. Namun, bagi Edwin, dia tak bisa melarang keinginan Kemal. Dia tak punya hak apapun atas hati dan tujuan Kemal. Dia pun tak mau memberatkan Kemal, mengingat bahwa Edwin, Asta, dan Endro memiliki tujuan dan mimpi yang sama, tapi Kemal tak sejalan dengan mereka. Itulah kenapa, Edwin pikir, hal itu hanya akan memberatkan Kemal.

Edwin meremas stir mobilnya dengan penuh amarah. Tanpa dia sadari, matanya mengembun. Dia benar-benar merasa marah, sedih, dan takut, semuanya bercampur aduk menjadi satu sampai dadanya terasa sakit. Dia merasa marah kepada semuanya. Dia marah kepada ibunya yang mengatur kehidupannya dan tak membiarkannya untuk memiliki mimpi sendiri. Dia marah kepada ibunya yang benar-benar membenci musik sampai rela mengusirnya.

Dia marah kepada pihak rekaman yang berniat menghancurkan identitas bandnya dengan cara berniat mengubah genre, lirik lagu, agar target pendengar tercapai. Dia marah kepada pihak rekaman yang menawarkan kontrak kepada mereka hanya karena visual dan usia mereka yang masih muda. Dia marah kepada Kemal yang tak jujur kepada mereka dari awal mengenai musik melalui sudut pandang lelaki itu. Dia marah kepada Endro yang justru menyalahkan keputusan Edwin untuk membatalkan kontrak dengan pihak rekaman waktu itu. Dia marah kepada semua orang yang membuatnya jadi kehilangan arah, meskipun dia sudah tau tujuannya sejak awal.

Drrt. Drrt.

Edwin melirik ke arah ponselnya yang berdering di kursi sebelahnya. Edwin meraih ponsel tersebut, lalu membaca nama yang tertera di sana. Cukup lama berselang, Edwin hanya membiarkan ponsel itu berdering. Perasaannya campur aduk dan membuatnya bingung apakah dia harus mengabaikan telepon itu atau justru mengangkatnya. Untuk satu sisi, dia merasa takut amarahnya terlampiaskan kepada perempuan itu. Namun, di sisi lain, dia merasa...

Dia ingin mendengar suara Luna.

Setelah ponsel itu akhirnya berhenti berdering, Edwin pun meraih ponselnya kembali, lalu menekan kontak Luna, menelepon balik perempuan itu. Setelah mendengarkan nada sambung beberapa detik, telepon itupun diangkat.

"Halo."

"Lama banget ngangkatnya."

"Iya."

Luna terdiam sejenak. "Lo kenapa?"

"Apanya?"

"Gak kaya biasanya," ujar Luna. "Lo lagi sakit?"

Edwin tersenyum nanar. "Ya."

"Sakit apa?" tanya Luna. "Lo bisa ngampus, besok? Kalau gak bisa, mending kasih tau Dito, terus bikin surat keterangan sakit."

"Gue boleh ketemu lo, gak?" tanya Edwin. Dia tau, mungkin pertanyaan ini membuat Luna merasa geli atau semacamnya. Namun, dia ingin menceritakan segalanya kepada Luna. Luna selalu mendengarkannya dengan baik, apapun itu. Musik, voli, serta segala hal yang Luna tak mengerti, tapi perempuan itu selalu mendengarkan semua yang Edwin berikan dengan tulus.

"Kenapa mendadak banget?" Luna bertanya balik. "Boleh, kok. Lo butuh obat atau apapun, gak?"

"Gak," Edwin memberi jeda. "Yaudah, gue ke apartemen lo, oke."

"Gak usah aneh-aneh, nyet. Udah tau lagi sakit, malah segalaan mau ke sini," ujar Luna. "Gue aja yang ke rumah lo. Udah, gue tutup, ye. Bye."

Edwin mematikan layar ponselnya setelah telepon itu terputus. Setelah berkendara cukup lama dan tiba di rumahnya, Edwin pun memarkirkan mobilnya. Namun, setelah dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan rumahnya, dia tertegun ketika dia melihat Luna yang sudah berdiri di depan pintu dengan jaket hitam sambil memegang sebuah kantung berisi sesuatu yang Edwin tak tau apa itu.

TaoreruOnde histórias criam vida. Descubra agora