Chapter 3: Keceplosan

584 77 0
                                    

"EH, ada Mas Fatah juga." Edwin menyengir ke arah Luna, setibanya dia di barisan penonton dan bertos ria dengan teman-temannya.

"Mas Fatah?"

"Ya, kan Lucinta Luna."

Belum sampai lima detik setelah Edwin mengatakan kalimat tersebut, lelaki itu meringis kesakitan ketika Luna menginjak kakinya sebagai bentuk kekesalan. Edwin hanya bisa mendengus sebal, berbungkuk untuk mengelus punggung kakinya sambil meringis.

"Kenapa, sih?" tanya Edwin. "Main injek aja."

"Lo bilang apa barusan?" Luna bertanya balik.

"Mas Fatah," jawab Edwin. "Kenapa, sih? Gue seneng sama Kak Lucinta. Dia cantik, baik, menghibur, apa masalahnya?"

Luna hanya diam, terlalu malas untuk merespon apapun lagi. Perempuan itu lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Berantem mulu, dah," celetuk Dira. "Lo jadi beli makanan gak, Lun? Mumpung rame ada anak cowo juga, kita jagain tempat lo di sini biar ga diambil orang."

"Lah? Lo jagain tempat gue, terus gue beli makanannya sendirian?" tanya Luna.

"Dih, lagian deket. Mumpung penontonnya belom rame. Ntar kalo udah rame, lo jadi susah nerobos jalan ke barisan depan," kata Dira, menoleh ke arah para laki-laki. "Eh, lo ada yang mau beli makanan, gak? Biar sekalian bareng Luna."

"Gue."

Luna menatap malas ketika sahutan itu datang dari Edwin. Lelaki itu pun menoleh ke arah Luna, menunggu perempuan itu berjalan bersamanya untuk keluar dari gedung studio ini. Luna menghela napasnya. Ah, melihat wajah Edwin saja sudah membuatnya sebal. Edwin dan Luna pun berjalan keluar dari gedung studio ini tanpa mengatakan apapun. Keduanya berjalan beriringan dan tak satupun di antara mereka tertarik untuk memulai obrolan.

"Lo mau beli apa?" tanya Edwin, akhirnya. "Gue mau ke ujung sana, beli pisang madu."

"Yaudah, sana," ujar Luna. "Gue ke arah yang berlawanan."

"Hah? Beli apaan?"

"Ya suka-suka gue."

"Yaudah, gue temenin," ucap Edwin. "Di tempat serame ini, kalau gak ketemu lagi gimana? Toh, gue juga yakin bocah alay kaya lo gak berani balik ke gedung studio sendirian."

Luna ingin sekali menyangkal ucapan Edwin, tapi yang dikatakan Edwin ada benarnya. Jika dia dan Edwin terpisah karena keramaian, itu artinya takkan ada yang menemaninya untuk kembali ke barisan penonton. Edwin dan Luna pun berjalan ke arah stan yang Luna pilih.

"Eh, ini masih lama? Antriannya panjang banget," komentar Edwin, tampak mulai sebal. "Udah, lo cari stan siomay yang lain aja. Ini antriannya panjang banget, anjir."

"Ih, apaan, sih. Justru karena antriannya panjang, tandanya siomaynya enak," kata Luna. "Lagian, baru juga ngantri semenit udah ngomel."

"Ya, bisa-bisanya gue jadi repot perkara siomay busuk."

"Berani-beraninya lo ngehina jajanan favorit gue."

"Ya, lagian kok bisa ada orang demen siomay. Lembek-lembek, idih. Dokter Eddie gak bakalan mau sama cewek pecinta siomay."

"Sstt! Lo ember banget, sih. Kalau ada yang denger gimana? Lagian, apa hubungannya siomay sama Dokter Edー"

Luna spontan menghentikan ucapannya ketika seorang pria di depan mereka menoleh ke arahnya. Pria itu tampak sedikit kaget dan menatap canggung usai mendengar kalimat yang Edwin lontarkan barusan. Luna hanya bisa mematung. Seketika, dia dapat merasakan pipinya memanas dan jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya. Edwin yang ada di sebelahnya pun tampak kaget dan mengatupkan bibirnya, mulai merasa menyesal setelah melontarkan kalimat itu di depan orangnya langsung. Dokter Eddie tepat di depan mereka.

TaoreruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang