123.68 Too much

27 8 0
                                    

Harris menatap kosong ke arah ponselnya. Sudah dua hari berlalu, Klaras tak membalas pesannya, tak ada di rumah maupun apartemennya. Saudaranya itu seperti hilang tanpa jejak. Yang Harris temukan saat menginjakkan kaki di rumah hanyalah papanya yang tengah mabuk dengan sekitar yang sangat berantakan.

Harris keluar susah payah setelah empat jam terkurung dalam rumahnya dengan papanya yang setiap menit melayangkan pukulan dan makian.

'Saya menyesal membiarkan anak tidak berguna seperti kamu tetap hidup.'

'Bajingan tidak tau diri seperti kamu bisanya hanya merepotkan dan menghabiskan uang saya.'

'Kamu tidak berguna, sejak kecil sakit sakitan, setelah dewasa lebih tidak berguna lagi, membuang buang uang untuk konsultasi sampah yang kamu akui sebagai perbaikan mental.'

'Tidak berguna. Saya harap kamu segera mati. Kamu anak yang tidak pernah saya harapkan kehadirannya.'

"Harris!"

Harris tersentak, terbangun dari lamunannya. Matanya mengerjap beberapa kali lalu menatap ke sumber suara. Itu Aksa, dengan dua perempuan yang Harris kenal.

Aksa melangkahkan kakinya dengan lebar ke arah Harris yang duduk di teras basecamp dengan muka penuh luka gores dan lebam keunguan. Aksa menghela napas pelan, hal buruk jika dua perempuan di belakangnya tau penyebab kenapa Harris terluka.

Harris tersenyum kecil lalu melambaikan tangan. "Gue nggak bawa kunci cadangan Sa." Lalu kekehan Harris lolos tanpa beban.

"Kak Harris habis berantem?" Pandangan Harris yang tadinya terpaku pada Aksa kini berpindah pada salah satu gadis yang juga melangkah terburu buru ke arahnya.

Harris menampilkan cengiran lebar meskipun seluruh mukanya sudah terasa kebas dan perih. "Gue kena copet, Cantika. Dipukulin deh gue. Lo, ngapain kesini?"

Belum sempat Harris mendapatkan jawaban, bahunya dipeluk dan di tarik masuk ke dalam basecamp oleh Aksa.

"Kak Harris tuh lain kali kalau mau ke basecamp jangan jalan kaki sendirian, minimal ajak kak Segara tuh biar berasa punya bodyguard."

Harris terkekeh pelan lalu mengalihkan pembicaraan. "Lo sendiri ngapain kesini Sha? Ini kan basecamp abang lo sama abang abang yang lain, adek kecil punya basecamp nya sendiri."

"Laporan tugasnya Naresh ketinggalan disini, semalem dia ngerjain disini sama temen temen sekelompok nya."

Harris mendudukkan diri di sofa sementara Aksa sibuk mencari kotak p3k. "Ih Esha tukang numpang ih mirip abang nya banget."

Naresha melayangkan tatapan kesalnya pada Harris lalu mengadu pada Aksa. "Abanggg, kak Harris rese nihhh!" Harris tertawa, gemas sendiri setelah melihat muka Naresha yang tertekuk sebal.

Aksa mendengus lalu menjitak pelan kepala Harris setelah meletakkan kotak p3k. "Udah abang pukul sekarang lo cari laporan lo. Gue bantu, Cantika bisa tolong obatin Harris?"

Harris menggelengkan kepalanya, "gue bisa obatin luk--" ucapan Harris terpotong oleh Cantika. "Aku bantu kak." Harris tersenyum geli,"iya deh, kapan lagi ya kan diobatin orang cantik."

Harris mendekatkan kotak p3k di atas pahanya agar lebih mudah dijangkau Cantika yang ada di depannya. Harris menatap lamat Cantika, gadis itu tampak gugup sekali dan tidak sekalipun berkontak mata dengannya.

"Cantika telinganya merah, salting ya?" Harris tersenyum jahil sementara Cantika langsung buang muka. "Kak Harris diem dulu!"

Harris nyengir, "gue emang cakep sih, jadi semua cewek bisa salting kalau gue lihati-aduh!" Harris meringis saat Cantika menekan lukanya dengan muka merah total dan ekspresi muka sebal. Harris tersenyum geli, "sorry, cantik. Lo lucu jadinya gue isengin. Maaf ya Cantika?"

-00-

Harris mengetuk pintu apartemen Klaras beberapa kali setelah terdiam sepuluh menit disamping pintu apartemen Klaras.

"Ras? Lo udah pulang?"

Harris membulatkan mata ketika kenop pintu terputar dan pintu apartemen Klaras terbuka dan menampilkan gadis itu dengan keadaan berantakan dan satu tangan menggenggam botol wiski kosong.

Harris tersenyum kecil, "abang boleh masuk?" Klaras menyipitkan matanya, "abang? Abang nya Klaras?" Ekspresi muka Klaras menjadi mendung ketika Harris mengangguk.

"Kenapa abang harus hidup? Kenapa abang masih hidup tapi nggak bisa lindungin Klaras?" Harris menutup pintu apartemen perlahan lalu menatap mata Klaras yang sayu.

"Gue minta maaf."

Klaras menggeleng heboh dengan pipi makin memerah karena mabuk. "Enggak mau! Karena abang Klaras nggak bisa hidup normal! Klaras nggak bisa punya temen karena abang! Papa pukul Klaras tiap hari karena abang! Abang jahat! Klaras nggak mau lihat abang lagi selamanya! Abang pergi aja, yang jauh!"

Harris membiarkan pukulan Klaras mengenai tubuhnya. Mata Harris menatap lekat mata Klaras. Senyumnya timbul, tangannya tergerak mengelus pelan kepala Klaras dan membawa adik satu satunya itu ke pelukannya.

"Iya abang habis ini pergi, pergi yang jauhhh banget. Tapi tunggu sebentar, mau peluk Klaras dulu kayak ginii. Udah lama abang nggak peluk Klaras." Tangan Harris mengelus pelan rambut Klaras serta merapihkannya perlahan.

Klaras meremat ujung baju Harris setelah cegukan beberapa kali. Gadis itu bergumam parau. "Papa cuma berekspetasi ke abang, papa cuma sayang ke abang, papa cuma anggap Klaras pelampiasan emosi karena abang. Papa bilang dia nggak akan berhenti pukulin Klaras selama abang hidup. Klaras benci kenapa abang masih hidup dan klaras terus dapet pukulan. Klaras benci abang."

Orang bilang, kata-kata yang diucapkan ketika mabuk itu kejujuran. Kejujuran yang tidak sempat terucap dan terlanjur membusuk. Orang bilang, mendengarkan apa yang dikeluh kesahkan orang mabuk itu tidak sepenuhnya buang buang waktu. Banyak hal jujur yang terucap ketika mabuk.

Harris kira dia punya sedikit harapan, sedikit saja alasan untuk bertahan. Tapi jika dia bertahan lebih lama dia akan kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang ingin dia lindungi dengan cara tetap hidup dan ternyata caranya salah.

Harris menganggukkan kepalanya lalu mengeratkan pelukannya pada Klaras. Harris menghela napas lirih, "gue minta maaf Ras, maaf kalau sampai saat ini gue selalu gagal buat lindungin lo. Kasih gue satu kesempatan terakhir, abang janji ini yang terakhir. Gue mau lindungin lo, sekali ini aja."

"Klaras benci abang, abang ambil semuanya dari Klaras. Semuanya." Suara racauan Klaras makin pelan dan tidak terdengar oleh Harris. Harris mengangguk saja seraya tersenyum.

"Istirahat ya? Abang temenin."

Klaras menggelengkan kepalanya dan terus bergumam tidak mau tetapi tindakannya menuju sebaliknya. Jari-jari tangan Klaras menggenggam erat ujung baju Harris lalu menariknya menuju kamar.

Harris tersenyum kecil, mengikuti langkah Klaras dengan pandangan yang tak lepas dari Klaras dan gerak geriknya.

"Klaras dua hari belakangan ini kemana aja?"

Klaras tidur meringkuk di pinggir kasur, "sembunyi, Klaras takut, takut papa temuin Klaras." Harris mendudukkan dirinya di karpet bawah samping kasur dan satu tangannya mengelus pelan dahi Klaras.

Klaras menatap Harris dengan mata sayu seraya berbisik. "Abang, berkorban sekali aja buat Klaras. Bisa nggak?"

Harris tersenyum hangat, ditatapnya Klaras dengan mata berair diikuti dengan anggukan. "Apapun, apapun buat Klaras."

—00—

Menuju endingg

Tertanda,
Nalovzz
19-11-2022

Meredup [00line]✓✓Where stories live. Discover now