15

16 0 0
                                    

Suara dering ponsel metalik yang tergeletak di atas meja nakas samping tempat tidur cukup untuk membuat Cassie terbangun dengan kepala pusing. Ia menggeliat sebentar sebelum mematikan alarm yang telah diaturnya dua hari terakhir. Terbiasa dibagunkan oleh para peri rumah selama tinggal di rumah mereka sendiri membuat Cassie selalu terkejut tiap kali mendengar nada alarm ponsel yang meraung-raung.

Hari masih gelap, salju turun dengan lebat di luar sana.

Di sisi lain ranjang besar itu, masih terbaring Kelly yang sama sekali tak terganggu dengan jeritan alarm yang mampu membangunkan seisi menara Gryffindor. Rambut pirang platina nya menyembul di ujung selimut tebal bermotif bunga-bunga lavender. Di kediaman Chatsworth yang memiliki dua puluh kamar tidur, sebenarnya Cassie dan Kelly tak perlu berbagi kamar. Kamar-kamar yang ada pun memiliki luas yang lebih dari cukup, seperti kamar-kamar di Malfoy Manor.

Setelah sepenuhnya tersadar dan rasa pening di kepalanya sudah terkendali, Cassie menyingkap selimutnya lalu memutuskan untuk turun dari ranjang. Tumpukan hadiah natal terlihat di depan perapian yang kini hanya menyisakan bara api. Hadiah-hadiah itu terbungkus dalam kertas yang memantulkan cahaya berkilauan tertimpa lampu kristal besar yang tergantung di tengah kamar.

Sesaat Cassie tergoda untuk mulai membuka hadiah-hadiah natalnya, tapi ia memutuskan untuk menuju ke kamar mandi dan menghilangkan sisa kantuknya.

Tubuhnya terasa segar setelah berendam dalam air hangat yang telah disiapkan oleh pelayan. Dengan mengenakan gaun satin putih yang ia temukan di dalam lemari, Cassie memutuskan untuk keluar kamar, meninggalkan si tukang tidur Aquila Malfoy di dalam kamar.

Kakinya berjalan perlahan menuju ruang rekreasi yang berada di ujung tangga ganda lantai tiga. Suara samar pembaca berita pagi hari terdengar dari sebuah televisi layar plasma berukuran delapan puluh inch yang terpajang di dinding salah satu sisi ruang rekreasi. Edward sudah terlihat duduk dengan serius di sebuah sofa panjang di depan benda elektronik itu, menyesap secangkir minuman hangat - yang dari baunya sepertinya teh chamomile dengan tambahan cream.

"Selamat natal, Ed." Sapa Cassie yang mendudukkan dirinya di tempat sebelah Edward.

Pria muda itu melihat ke arah Cassie dan tersenyum samar. Iris matanya yang berwarna biru gelap memancarkan aura aristokrat yang kental, apalagi ditambah dengan rambut pirang gelapnya yang ia dapatkan dari garis keturunan sang ayah.

"Selamat natal, Cassie." Katanya dengan suara yang dalam yang terdengar menyenangkan. Sosoknya mengingatkan Cassie pada Anthonio, hanya saja Edward terlihat lebih ramah dan lebih murah senyum.

Cassie jadi teringat jika ia tak pernah melihat Anthonio tersenyum selain ketika mereka menghabiskan waktu bersama.

"Sudah membuka hadiah natalmu ?" tanya Edward membuyarkan lamunan Cassie.

Cassie menggeleng. Perhatiannya tertuju pada berita kriminal yang sedang ditayangkan di televisi. "Aku agak malas melakukannya."

Edward terkekeh pelan. Ia meletakkan cangkir teh-nya di atas meja rendah di depan sofa. Pemuda itu kini dengan cekatan menuangkan teko berisi teh itu ke dalam cangkir keramik baru lalu memasukkan dua sendok gula dan creamer setelah menawarkan pada Cassie. Cassie menerima dengan senang hati teh yang masih mengepulkan asap hangat itu.

"Em, Ed ?" Cassie membuka kedua matanya setelah menikmati aroma harum chamomile di tangannya, matanya lalu memandang ke arah sepupunya itu, yang dibalas dengan tatapan bertanya dari Edward. "Perasaanku saja atau memang rambutmu terlihat lebih gelap ?"

Edward menyeringai lebar, mengusap-usap rambutnya yang berwarna pirang gelap, hampir kecoklatan. "Bagaimana menurutmu ? Aku baru mewarnainya kemarin." Katanya sambil tersenyum jahil. "Aku ingin tampil sedikit berbeda dengan Papa. Banyak orang yang mengira aku adalah dia. Aunt Catherine bahkan memanggilku 'Andrew' dan memukul tanganku karena tak mampir ke rumahnya saat berada di Sommerset."

The False CurseWhere stories live. Discover now