ADAPTATION - 30

6.7K 463 31
                                    



Gista tahu bahwa hamil itu memang sangat berat dan melelahkan.

Dia sering mendengar cerita dari maminya, dari mama mertuanya, dari Seira, Yura dan juga teman-temannya yang telah lebih dulu mengandung bahwa akan ada banyak rasa, gejala serta hal-hal yang terjadi saat sedang dalam masa kehamilan. Terutama di kehamilan trimester pertama. Dan mereka mengatakan semuanya akan mulai normal dan membaik lagi di kehamilan trimester kedua hingga menjelang melahirkan. Itupun dengan catatan jika sang ibu tidak mengalami stress berlebihan. Setidaknya itu yang Khansa katakan karena dia sendiri sering mengalami pendarahan saat sedang mengandung Kiana.

Tapi ternyata mengandung anak kembar itu mempunyai rasa dan gejala yang sangat berbeda. Gista menjadi sangat mudah lapar, mudah lelah, sering buang air kecil dan mengalami sesak nafas saat akan tidur. Rasa mual serta gejala muntah-muntah yang dialami Harya pun berpindah ke dirinya saat kehamilannya memasuki usia 6 bulan. Gista juga menjadi jauh lebih sensitif daripada biasanya karena itu tak jarang dia sering menangis diam-diam di malam hari.

Dan sekarang hal itu terjadi lagi. Di usia kehamilannya yang mulai menginjak 7 bulan, Gista menjadi semakin sensitif dan mudah emosi. Beruntung Harya selalu sabar menghadapinya dan selalu ada disampingnya setiap waktu. Harya bahkan tak segan-segan untuk langsung meluncur ke rumah ketika Gista memintanya untuk pulang, tidak peduli jika pekerjaannya akan terbengkalai nanti.

Harya terbangun begitu dia mendengar isakkan samar Gista yang sedang duduk bersandar di headboard kasur mereka. Pria itu bergerak untuk mengusap kepala sang istri yang masih berusaha untuk mengatur nafasnya dengan benar.

"Sesak nafas lagi ya?" tanya Harya lembut.

Gista tidak menjawab namun tak lama setelahnya dia mulai merintih. Merasa sangat sesak, lelah dan lemas sekali. Harya menatapnya dengan sorot sedih dan tidak tega sementara tangannya mulai bergerak dengan lembut di atas perut besar Gista.

"Agis, are you okay? Mau coba bobo lagi?" tanya Harya lagi.

Gista menggelengkan kepalanya lalu kemudian menatap Harya dengan air mata berlinang.

"Har, aku gendut banget." lirih Gista membuat Harya langsung termangu di tempatnya. Gista menunjuk cermin di meja riasnya. "Tadi aku liat di kaca. Pipi aku jadi besar, badan aku makin lebar dan muka ku kusam banget. Aku jelek banget, Har. jelek banget."

Nafas Gista langsung naik-turun tak beraturan bersamaan denga kedua tangannya yang bergerak untuk meremas rambut di kedua sisi kepalanya sendiri. Rasa sesak di dada, pegal di sekitaran pinggang serta sepasang matanya yang berat dan perih karena air mata benar-benar sukses membuat pikirannya kacau. Harya tersenyum penuh arti seraya meraih kedua tangan Gista yang masih terus meremas-remas rambut panjangnya sendiri.

"Hei, hei, Agis. Istighfar sayang." ucap Harya sabar sambil mengusap-usap kedua bahu Gista dengan sangat lembut dan penuh kasih.

"Terus aku juga mulai ada stretch mark di beberapa bagian badan aku, terutama di paha sama lengan. berat badanku juga naik 2 kali lipat lebih besar daripada temen-temenku. Kak Yura sama Lila aja nggak sampe segitunya, Har, tapi kenapa aku malah kayak gitu? Kenapa cuma berat badanku aja yang naiknya drastis kayak gini? Aku—"

"Agista." Harya memotong ucapan Gista lalu kemudian menangkup kedua pipi sang istri agar tatapan mereka bisa saling terkunci. Pria itu menghela nafas lalu tersenyum lagi. "Calm down, okay? You're fine. You always fine. Don't worry about it."

"Bohong." Gista menggelengkan kepalanya dan kembali menangis lagi. "Kamu pasti malu kan punya istri yang gendut dan jelek kayak gini? Kamu pasti jijik juga kan untuk nyentuh aku? Kamu pasti—"

ADAPTATION (✔)Where stories live. Discover now