ADAPTATION - 12

5.6K 488 52
                                    

"Kalian berdua hati-hati ya di rumah? Kalau ada apa-apa langsung telepon mami aja." ucap Sandrina pada Gista dan Harya yang kompak tersenyum lebar padanya. "Harya nya diurusin dengan baik ya Gis, kasih makan yang banyak biar dia gemuk. Kamu kan udah jago tuh masaknya."

"Iya mi," jawab Gista patuh sedangkan Harya melemparkan senyum mengejek padanya. "Lagian Harya bisa bikin sendiri kok, dia kan jago juga masaknya."

"Ya tapi kan beda kalau istri yang bikinin, iya nggak Har?" Arvan melirik Harya yang langsung mengangkat tangannya untuk mengajak sang ayah mertua melakukan high five.

"Bener banget pi!" Harya mengacungkan kedua jempolnya seraya melemparkan senyum mengejek pada Gista.

Mami tertawa kecil lalu kemudian dia mencium kedua pipi sang putri dan memeluk menantunya dengan penuh kasih sayang. Berat rasanya harus meninggalkan pasangan pengantin baru itu namun yang namanya pekerjaan tidak akan semudah itu bisa ditinggalkan. Terlebih lagi sang suami adalah seorang diplomat senior yang masih harus pergi-pergi ke berbagai negara untuk dinas. Dulu mami sangat khawatir karena harus meninggalkan Gista sendirian di rumah, pasalnya anak gadisnya itu sama sekali tidak ingin bersekolah di luar negeri untuk mengikuti tugas sang papi, jadi dia terpaksa harus tinggal di Indonesia seorang diri dibawah pengawasan para om-tante serta keluarga Harya yang tinggal berdekatan dengan rumah mereka.

Dan mami adalah orang pertama yang merasa sangat bahagia saat Gista dan Harya memutuskan untuk menikah setelah sekian lama berteman dan sering kali dijodohkan oleh kedua keluarga mereka masing-masing. Prinsip mami saat itu adalah, tidak peduli mau sama yang mana, yang penting putri cantiknya itu bisa menikah dengan salah satu dari ketiga bersaudara itu.

"Sekarang mami sama papi bisa lega ninggalin Gista sendirian di Indonesia," ucap mami sembari merapikan rambut Gista yang masih berantakan akibat bangun tidur. "Soalnya udah ada Harya yang bisa nemenin. Dan nemeninnya nggak cuma beberapa hari doang, tapi setiap hari."

"Ih mami mulai deh mellow nya." ledek Gista membuat maminya langsung tertawa dengan mata yang berkaca-kaca.

"Intinya mami seneng kalian berdua udah bersatu. Harusnya mah dari dulu-dulu aja kan ya jadinya kalian nggak perlu balapan buat ngoleksi mantan."

"Wah parah pi, mami buka kartu aku sama Gista nih, pi!" Harya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Mimik wajahnya yang konyol berhasil membuat ayah dan ibu mertuanya tertawa bersamaan.

"Ya sudah, sudah. Ayo mi kita berangkat, bakalan repot nanti urusannya kalau kita sampai ketinggalan pesawat. Jarak dari Jakarta ke Brussel kan nggak deket," papi merangkul bahu sang istri setelah dia mencium puncak kepala Gista dan memeluk Harya. "Kami pergi dulu ya? baik-baik di rumah. Pokoknya begitu kami pulang, kalian harus udah ngasih test pack garis 2 ke kami ya."

"Papi ih!"

Tak peduli dengan wajah Gista dan Harya yang sudah memerah, baik mami maupun papi pun melenggang masuk ke dalam mobil sambil tertawa meledek. Tapi jujur saja, mereka sama sekali tidak bercanda soal permintaan mereka yang tadi itu sebab sudah lama sekali keduanya menginginkan seorang cucu. Pasangan paruh baya itu melambaikan tangan mereka sekali lagi sebelum akhirnya mobil Range Rover hitam yang akan membawa keduanya ke bandara itu menghilang di tikungan.

Harya dan Gista terpaksa tidak bisa ikut mengantar sebab hari ini mereka harus bekerja dan keduanya sama-sama memiliki jadwal rapat yang harus dihadiri, jadi tugas mengantar orang tua mereka pun diserahkan pada supir keluarga.

"Jadi, mau ngapain nih kita?" tanya Harya yang kini sedang memeluk Gista dari belakang dan mengikuti langkah wanitanya itu menuju meja makan.

"Mandi, sarapan terus kerja." jawab Gista kalem.

ADAPTATION (✔)Where stories live. Discover now