Devotion 31 : Child of The Fall

1.3K 248 93
                                    

Siang itu, udara terasa begitu dingin, meskipun pemanasan global tengah berlangsung di luar sana, tampaknya Indonesia tidak menyadarinya.

Tangan yang kecil nan halus miliknya berdansa dengan indah bersama pulpen yang terselip diantara jari yang seolah tak pernah tersentuh.

Personifikasi negara itu tersenyum, meskipun banyak orang tau, dibalik raut wajahnya yang tenang dan tak berbahaya, kenyataan berkata lain, dirinya sangat berbahaya, dan akan membahayakan siapapun juga.

Personifikasi negara itu menatap ke arah kalender, matanya tampak jeli menatap satu demi satu rentetan angka di atasnya, lalu menoleh ke arah jendela kaca, menatap langit yang mendung, berhias butiran uap air yang sebentar lagi jatuh ke bumi.

Sudah beberapa bulan sejak sebagian kecil dari anak anaknya dialihkan ke Pulse, wilayah Indonesia yang dibuat melayang di atas wilayah lain, itu semua untuk mengakali kondisi geografis Indonesia yang semakin lama semakin memburuk saja.

Sejak perang berakhir, pemanasan global berjalan seolah tiada henti, membuat banyak negara di dunia terdampak kehancuran, termasuklah Indonesia, negara yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peperangan yang terjadi.

Beberapa wilayah di Indonesia mulai tenggelam, pulau-pulau mungil nan indah yang dulunya dia banggakan kini telah hilang, menyatu bersama dengan dingin dan dalamnya lautan.

Sekarang dia tidak punya pilihan lain, selain mengeluarkan lebih banyak uang untuk mempersiapkan keadaan yang lebih buruk, dia tidak mau lagi berunding dengan personifikasi negara lain, dia akan menyelesaikan semua masalahnya sendirian, sebagai negara terkuat di muka bumi ini.

Indonesia buruk dalam membuat keputusan, dia mengakui semua itu, bukannya berterus terang tentang betapa sulitnya kondisi di negara dan meminta bantuan, dia lebih memilih untuk diam dan memendam semua yang dirasakan olehnya sendirian.

Namun setidaknya dia masih bisa bersyukur, karena anak anaknya yang dia cintai kini tumbuh sebagai sosok yang siap memajukan negara, semua itu terbukti dengan betapa majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini berkembang di Indonesia.

Yah, meskipun begitu Indonesia seolah bersembunyi, dia jarang sekali keluar dari istana negara, sehingga tidak banyak yang tahu seperti apa penampilan fisik Indonesia dan apa yang kini sedang dirinya lakukan.

Drrtt... Drrtt...

Ponsel hologram diatas mejanya berbunyi, itu ternyata adalah telepon dari Palestine, teman yang dulunya dekat dengannya, namun sekarang sejak dirinya memutuskan untuk menjauh perlahan dan Palestine yang sibuk sebagai negara merdeka baru, mereka sangat jarang berinteraksi.

Itu semua sudah terjadi sejak begitu lama, namun Indonesia belum melupakan sakit hatinya terhadap tindakan Palestine di masa lalu.

Dia masih ingat bagaimana Palestine meninggalkan dirinya, bergabung di sisi Iran dan Russia, demi berjuang mengalahkan Israel, meskipun kini semua itu kini hanyalah catatan yang ada di buku sejarah, namun sebagai seorang makhluk imortal yang telah mengalami semua hal menyakitkan itu, dia masih dihantui oleh trauma.

Dengan perasaan berat dihatinya, Indonesia kemudian menutup telepon itu, bersamaan dengan hatinya yang semakin mendingin dari hari ke hari, dia semakin tak tersentuh, surat yang dikirimkan oleh perwakilan negara lain untuknya tak pernah dibaca lagi, sejak rapat antar perwakilan negara yang berakhir tidak menyenangkan itu, Indonesia tidak pernah lagi tampil untuk menunaikan kewajiban yang dimilikinya, misteri tentang Indonesia simpang siur di luar sana, namun dirinya pun tak peduli.

"Ayahanda, kau baik baik saja?"

Airlangga menepuk bahu sempit ayah sekaligus penciptanya itu, membuat Indonesia tersentak sesaat kemudian menoleh, pria itu tersenyum meski dia penasaran apa yang telah terjadi pada ayahnya yang dia cintai itu.

DevotionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang