Devotion 25 : Memory

2.6K 391 177
                                    

Kembali ke masa sekarang, rapat anggota UN kembali diadakan, namun tidak seperti biasanya, kali ini tidak membahas tentang isu lingkungan.

Hari ini, ratusan persona negara lain menghadiri sebuah rapat di sebuah gedung pertemuan, Indonesia menjadi tuan rumah bagi mereka karena kali ini pertemuan akan diadakan di Indonesia, untuk kota yang dipilih adalah kota Palembang, dan yang dibahas adalah para imigran ilegal yang bermukim di negara negara netral ketika perang dunia ketiga, terutama Indonesia yang banyak sekali mendapatkan imigran illegal yang berasal dari beberapa bagian benua eropa dan asia timur.

Beberapa persona negara yang hadir diantaranya adalah China, America, Russia, India dan beberapa negara lain yang ikut dalam peperangan, sisanya adalah negara negara netral yang ikut merasa terganggu karena imigran yang berasal dari negara yang ikut serta dalam peperangan.

Lampu pun dimatikan, tidak lama kemudian muncullah sebuah hologram yang berpijar diantara lampu yang bersinar dengan terang, hologram itu menunjukkan sebuah grafik berisi jumlah para pengungsi illegal dan jumlahnya yang terus bertambah dari hari ke hari.

"Baiklah, karena semuanya sudah hadir maka saya sebagai tuan rumah akan membuka rapat kali ini..."

Indonesia berjalan maju, menetralkan rasa takutnya, rasa trauma yang jadi racun dalam dirinya membuatnya ingin memuntahkan apa yang dia makan pagi ini, begitu pahit dan seolah mencekik dirinya dari dalam.

Tangannya gemetaran, keringat dingin turun dari dahinya, paru paru pemuda itu seolah ditimpa sesuatu yang sangat berat, membuatnya kesusahan untuk bernafas dengan lancar barang satu tarikan nafas.

Dia mencengkram dadanya yang terus bergemuruh dengan kencang, rasanya dia terjebak diantara hidup dan mati, kesannya agak berlebihan, tapi itulah yang memang dia rasakan.

"Hah... Hah... Hah... sial, rasanya aku mau mati saja, aku tidak sanggup menahan rasa sakit ini, tapi jika aku berhenti, mereka akan menyebutku sebagai seorang pengecut..."

Batinnya terus bersuara, dia tidak mau lagi menjadi seorang pengecut yang bersembunyi dibalik anak anaknya, namun disisi lain rasa sakit yang dialaminya terus mencoba untuk memukulnya mundur.

Airlangga menatap ayahandanya itu dengan perasaan khawatir, terlihat sekali jika Indonesia sedang memaksa dirinya sendiri untuk melakukan yang terbaik, dan itu membuatnya merasa sangat tertekan karena kondisi Indonesia yang sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan rapat yang akan sangat panjang ini.

"Pak, bagaimana ini?"

Aceh angkat suara, dia tidak tega melihat Indonesia yang tengah berjuang mati matian melawan rasa takutnya demi reputasi negara.

"Ayah... apakah dia akan sanggup?"

Surabaya merasa khawatir, Malang yang berdiri di dekatnya mengelus bahu statehumans itu, mencoba menenangkan meskipun dirinya juga ikutan merasakan khawatir pada kondisi Indonesia yang sekarang ini tidak bisa dibilang baik.

"Arrgght aku tidak tahan lagi! ayo batalkan saja rapat ini!"

Papua yang merasa jengkel bercampur tidak tega melihat ayahnya berada dalam kondisi tidak enak menyahut dengan nada tinggi, membuat statehumans yang lain bertambah kekhawatirannya.

"Jangan! Kalau kita melakukan itu, reputasi ayah akan menjadi semakin buruk lagi di mata internasional!"

Kalimantan segera menghentikan Papua yang berusaha mengacaukan keadaan, meskipun dia agak kesusahan karena statehumans yang satu itu lebih kuat dari dirinya.

"Teman teman, kita tidak boleh bertengkar, ayo kita mendukung ayah agar bisa memulihkan traumanya!"

Malang menyahut, sepertinya tadi dia diam untuk menemukan solusi agar bisa menghadapi masalah ini.

DevotionWhere stories live. Discover now