2·2

15 5 0
                                    



Aku mengerjapkan mataku berulang kali, kembali fokus pada kuah soto dan es tehku. Berusaha membujuk benakku agar tak mengenang lagi kejadian enam tahun yang lalu tersebut. Mengapa kenangan buruk itu harus terlintas saat jam makan siang, saat aku hendak melepas penat? Namun saat aku hendak kembali menyuap sotoku, seorang gadis dengan tubuh tinggi semampai, rambut kecoklatan, bulu mata lentik, beserta ciri yang menggambarkan definisi cewek sempurna secara fisik, datang ke mejaku yang dengan segera menurunkan selera makanku.

"Lo lusa ada orkestra musik sama klub musik lo gak sih?" Jesslyn, gadis yang duduk di hadapanku sekarang, menumpu dagunya dengan salah satu tangannya.

Aku hanya mengangguk, menatap bayanganku yang terpantul pada kuah soto.

"Gue boleh minta tolong gak...Lo bilang ke Reiga kalau lo batal ikut orkestra itu. Terserah lo deh alasannya, ngarang alasan kalo lo ada acara keluarga, atau apa gitu.."

Aku menyeruput es tehku sambil menatap Jesslyn heran, "Kenapa lo nyuruh gue ngelakuin itu?"

Jesslyn menghela nafas, "Gue tahu, Reiga bakal nonton orkestra lo. Padahal gue gue udah duluan buat janji sama Reiga di hari yang sama, tapi dia malah mutusin buat hadirin orkestra lo. Otomatis janji gue sama Reiga batal dong"

"Tapi keputusan Reiga buat datengin orkestra gue dan batalin janji lo, itu kan urusan dia. Lo ngapain ikut campur sampe nyuruh gue ngelakuin hal kekanakan kayak begini?" ujarku kesal dan beranjak pergi pindah ke meja lain, meninggalkan gadis jurusan komunikasi itu seorang diri.

Jesslyn dengan segera bangkit dan mencegat langkahku.

"Lo-"

"Emang lo janji apa sama Reiga? Sepenting itu?" Aku memotong ucapannya sebal.

"Buat gue janji itu penting! Dan lo gak perlu tau!" Jesslyn berseru tak kalah ganas.

Beberapa orang melirik ke arah sumber keributan, mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Sebagian yang lain memutuskan abai, melanjutkan makan siangnya yang sempat terjeda beberapa detik.

"Jess, jangan ngajak ribut. Ini tempat umum-"

Terlambat, Jesslyn sudah terlanjur mendorong tubuhku hingga soto yang kubawa tumpah mengenai pakaianku. Tak cukup sampai disitu, Jesslyn juga merampas es tehku dan meminumnya, seakan es teh itu adalah miliknya.

"Lo belum tahu ya, siapa Jesslyn di kampus ini?" Jesslyn dengan lagak jumawanya menarik rambutku di ubun-ubun kepala, membuat kontak mata diantara kami semakin dekat.

Namun seseorang telah menjauhkan tangan Jesslyn dari ubun-ubun kepalaku, membuat kontak mata diantara kami terputus karena masing-masing netra kami langsung tertuju pada seseorang yang berada di ditengah-tengah, diantara kami berdua.

"Lo Jesslyn Chalesthane, cewek selebgram, anak komunikasi, anak direktur tambang, yang udah buat keributan di kantin" suaranya yang mengintimidasi membuat Jesslyn merinding dan hanya bisa mengepalkan tangannya sebagai bentuk luapan emosinya.

Tak ingin beradu debat lagi, Reiga segera menarik tanganku menjauh dari area kantin. Aku dibawanya ke belakang gedung kampus psikologi, tempat favoritnya untuk menyendiri.

"Nih, buat lo"

Reiga memberikan sekotak ayam bakar dan air mineral - mungkin sebelum dia menyelamatkanku dari Jesslyn, dia sempat membeli nasi ayam bakar itu di warung dekat kampus. Reiga juga menyertakan tissue basah setelahnya, sebagai isyarat agar aku mengelap pakaianku yang kotor karena tumpahan soto.

"Tapi lo dah makan siang belum?"

"Gapapa, gampang" Reiga berkata enteng sambil mengambil minuman goodmood rasa lemon dari dalam ranselnya.

Aku tahu sebenarnya sekotak nasi ayam bakar itu adalah jatah makan siang Reiga, yang justru malah diberikan kepadaku. "Terus lo makan siangnya gimana?"

Lelaki jurusan teknik nuklir itu menyenderkan punggungnya pada pohon akasia di belakang gedung, menenggak setengah minuman goodmoodnya. "Tinggal beli lagi. Lo juga tinggal makan apa susahnya?"

Aku menghela nafas, memutuskan mengalah dan melahap pemberiannya.

"Lo ada janji sama Jesslyn?"

"Kok tahu?"

"Gueau janjian sama Jesslyn ketemuan di mall deket opera hall jam 9 malem Minggu nanti, tapi katanya dia udah ada janji duluan sama lo" Aku 'terpaksa' berbohong untuk memastikan jika Jesslyn berbohong dan Reiga memang benar akan datang ke orkestra musikku yang akan dimulai pukul 19.30 hingga pukul 21.00 malam. Meskipun kebohongan ini terdengar konyol karena aku dan Jesslyn tak pernah akur, tapi semoga Reiga tak menyadari kejanggalan tersebut.

Raut wajah Reiga nampak sedikit berubah, "Bukannya gue udah chat dia ya, soal jadwal janjiannya diundur jadi hari Minggu? Apa Jesslyn belum baca chat gue? Tapi kayaknya udah dibaca deh sejam lalu"

Aku hanya balas mengangguk kecil,enolak kesimpulan bahwa Jesslyn memang benar berbohong dan Reiga kemungkinan besar akan datang ke orkestra musikku.

Hingga sepuluh menit kedepan, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku yang sibuk menghabiskan makan siangku dan Reiga yang sibuk bermain ponselnya.

Lelaki itu tabiatnya memang sedikit berbeda dengan kebanyakan lelaki di luar sana. Reiga terkadang suka menyendiri di tempat kami sedang duduk berdampingan saat ini. Terkadang ia mengerjakan tugas disini, di saat mahasiswa lain memilih tempat di sebuah cafe dengan jaringan WiFi. Terkadang hanya sekedar berdiam diri sambil berteduh, memikirkan banyak hal. Atau saat makan siang, terkadang dilakukannya di bawah pohon akasia ini. Malah kata Pak Satpam kampus, disaat mahasiswa lain memilih bersembunyi di balik selimut pada hari Minggu pagi, Reiga malah datang ke kampus, melangkahkan kaki ke pohon akasia di belakang gedung jurusan psikologi ini. Dia bermain basket sendirian disana, entah bagaimana ia telah memasang ring basket sendiri di sana. Aku tak paham dengan jalan pikir lelaki itu, mengapa ia tak memilih lapangan basket yang jelas lebih memadai daripada harus terhalang dahan pohon akasia disini. Yang bisa kulakukan hanya meng-iya-kan ide aneh lelaki itu. Justru sesekali aku juga ikut bermain basket bersamanya, ikut merasakan bagaimana sensasi shoot bola ke arah ring basket yang tertancap pada batang pohon.

 Justru sesekali aku juga ikut bermain basket bersamanya, ikut merasakan bagaimana sensasi shoot bola ke arah ring basket yang tertancap pada batang pohon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Dia adalah "Putra" versi tanpa skateboardnya.

"Gue duluan ya. Makasih buat makan siangnya" Aku bangkit dari posisi dudukku.

Reiga ikut menyudahi bermain ponsel, lalu bangkit dan segera menyamakan langkahnya dengan langkahku menuju parkiran.

"Lo pakai gojek? Bukannya lo ada motor ya?" Reiga bertanya kala melihatku mendatangi seorang bapak berseragam jaket hijau. Namun ia kembali terdiam, saat ternyata aku menerima bungkusan makanan dari sopir gojek.

"Lah, bukannya lo dah makan siang?"

"Ini bukan buat gue, tapi buat lo. Gue tahu lo belum makan siang. Tapi maaf, minumnya air putih bukan goodmood rasa lemon" ujarku sambil menyerahkan sebungkus bento dan air mineral yang kupesan.

Reiga sempat tertegun sejenak, kemudian menerima bungkusan bento tersebut diiringi kekehan kecil, "Yaudah, thanks"

Aku pamit undur diri dari hadapannya, pergi menuju motorku yang tak jauh dari tempat kami semula berdiri

Entah sejak kapan, lelaki itu masuk ke dalam kehidupanku:
Reiga Affandra Gyan.

.
.
.
.
.

Welcome to new season💫

Memeluk Bintang JatuhWhere stories live. Discover now